Sebagian masyarakat mengidap sebuah
“gangguan kejiwaan” berupa ilusi dan delusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), ilusi diartikan sebagai: “sesuatu yang ada hanya dalam angan-angan atau
hayalan; pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; tidak dapat
dipercaya; palsu”. Singkatnya, ilusi adalah persepsi yang salah terhadap
sesuatu. Sedangkan delusi adalah “pikiran atau pandangan yang tidak berdasar
atau pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataan”. Ilusi dan delusi disebut
“penyakit” atau “gangguan” kejiwaan karena jika terus dipelihara di dalam
pikiran maka akan berbahaya dan merusak “akal sehat” (rasionalitas)
Belakangan kedua penyakit itu sedang
menjangkiti sebagian masyarakat. Yang terbaru masyarakat dihebohkan dengan tanda
palu arit yang ada di lembaran uang kertas terbitan BI (Bank Indonesia). Mereka
menganggap kemunculan palu arit (lambing PKI) ini adalah pertanda bangkit
kembalinya PKI (partai komunis Indonesia). Anehnya, kedua isu yang dibangun
berdasarkan ilusi dan delusi ini (lambang palu arit dan kebangkitan komunisme)
begitu cepat merebak di masyarakat dan segera ditanggapi pejabat BI dan pihak
kepolisian.
Kita tahu bahwa hologram pengaman
(rectoverso) pada uang kertas itu sebetulnya sudah ada sejak dulu. Itu sebagai
tanda pengaman uang agar tidak mudah dipalsukan. Sebelum muncul isu ini,
masyarakat didera isu kebangkitan komunis (PKI). Komunis(me) adalah salah satu
ideologi terlarang di negeri ini. Ideologi yang melahirkan Partai Komunis ini
telah beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap Negara, tapi selalu gagal
dan berhasil dipatahkan. Terakhir rencana kudeta tahun 1965 dan berakhir
tragis: pembantaian besar-besaran terhadap pengikut partai ini dan akhirnya
dilarang pemerintah (Orba).
Belakangan, korban 1965 yang dituduh
PKI atau simpatisan PKI ini menuntut keadilan dan mengajukan kasus ini ke Pengadilan
Internasional di Denhag – Belanda. Mereka menuntut ganti rugi dan dipulihkan
nama baiknya. Mereka tidak melakukan pemberontakan. Mereka hanyalah korban dari
situasi dan pertarungan politik saat itu. Setidaknya, itulah beberapa alasan
mereka menuntut keadilan dan “pembersihan sejarah”.
Mungkin, oleh beberapa kalangan,
peristiwa ini dimaknai sebagai kebangkitan kembali komunisme. Mereka ingin
kembali hadir dan diakui di negeri ini. Kekhawatiran ini muncul terutama di
kalangan TNI dan rival politik PKI waktu itu (kelompok/ormas islam). Ini
semacam “dendam lama” yang tumbuh kembali. Kita tahu bahwa dalang pembantaian
PKI diduga kuat dimobilisir oleh TNI (angkatan darat) dengan memanfaatkan orang-orang
muslim yang sejak lama berseteru dengan PKI (pertarungan ideologi).
Benarkah PKI bangkit kembali? Inilah
delusi yang menghinggapi sebagian masyarakat kita. Sejak runtuhnya Uni Soviet,
komunisme nyaris bangkrut dan kehilangan pengikut. Negara-negara satelit yang
berkiblat pada Uni Soviet mulai “banting setir” atau merubah orientasi ideologi
politiknya. Begitu juga di negeri kita, sejak dibantai habis Orba, keberadaan
komunisme antara hidup dan mati. Sebagai sebuah paham atau “isme”, komunisme di
negeri ini sudah mati. Hanya saja hantunya masih bergentayangan menghantui
orang-orang yang dulu memusuhinya. Nah, hantu inilah yang menciptakan delusi
tentang kebangkitan PKI dan munculnya ilusi lambing palu arit di uang kertas.