Sabtu, 24 April 2010

TRAGEDI PRIOK: Rasionalitas vs Irasionalitas



Tahun 1926 — sejumlah ulama membentuk sebuah perkumpulan (Komite Hijaz) guna membendung penetrasi Wahabi di Tanah Suci Makkah yang hendak menghancurkan situs-situs bersejarah dan makam-makam keramat di sana.

Pemerintah kita pun, baru-baru ini, akan melakukan hal serupa (cara-cara Wahabi), yaitu hendak menggusur makam Mbah Priuk — sebutan untuk Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad — yang sudah berumur ratusan tahun itu.

Namun, rencana tersebut mendapat perlawanan sekelompok masyarakat. Mereka, dengan alat seadanya, menghalau pasukan Satpol PP yang dibekali peralatan lengkap dan bulldozer yang hendak meratakan tempat tersebut. Tiga orang dikabarkan tewas, ratusan orang terluka, puluhan kendaraan dibakar. Kita patut menyayangkan insiden tersebut. “Perang” memang selalu menyisahkan duka dan kesedihan.

Para ulama dan habib berkumpul untuk menyikapi kejadian tersebut. Sejumlah petinggi Negara, termasuk SBY, “ketakutan” karena persoalan ini sudah mengarah dan menyulut sentimen keagamaan, yang jika dibiarkan berlarut-larut akan membesar dan bisa mengganggu kekuasaan. Dan, bisa dipastikan ledakannya akan melebihi Century yang “menyeramkan” itu.

Padahal, apa yang dilakukan Satpol PP merupakan hal biasa dan memang “pekerjaannya”: meratakan bangunan-bangunan liar dan kumuh, “menertibkan” PKL, merazia waria, WTS, anak jalanan, dan orang-orang miskin. Mereka, seperti kata Iwan Fals, “seperti peluru, tinggal tekan picu”.

Tetapi, tampaknya, persoalan kali ini bukan semata berurusan dengan persoalan “perut”. Yang dihadapi aparatus Negara, satuan Polri dan Satpol PP, bukan segerombolan “orang lapar” yang akan diam asalkan perut mereka diisi penuh.

Mempertahankan makam berkait-erat dengan “keyakinan” — sesuatu yang berumur purba dan yang menghujam kuat di bawah lapisan “kesadaran”. Mungkin, bagi sebagian orang, mempertahankan kuburan dan tempat-tempat yang (di)keramat(kan) adalah aneh dan irasional.

Di zaman semakin modern seperti sekarang ini, yang semuanya harus diukur, dinilai, dan ditimbang dengan akal dan ilmu pengetahuan, hal-hal yang dianggap “irasional” harus disingkirkan jauh-jauh, tidak boleh diberi tempat, bila perlu dimatikan dan dihilangkan.

Termasuk, misalnya, menyingkirkan kuburan yang dianggap tidak “rasional”. “Lebih baik dibuat pangkalan Petikemas yang nyata-nyata bernilai ekonomis”, begitu kira-kira logika mereka. Di sinilah pangkal persoalannya.

Sebaliknya, mengunjungi makam orang-orang salih —apalagi ia seorang wali — diyakini akan mendapatkan “barokah”, “karomah” dan “syafaat” para wali. Makam Mbah Priok, khususnya di hati masyarakat Betawi dan sekitarnya, memiliki tempat istimewa, yang tentunya tidak hanya bernilai sejarah, melainkan sekaligus sebagai tumpuan dan tempaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual mereka. Bukankah Priok sendiri secara bahasa berarti “tempat menanak nasi”? Itu artinya ia memberi “makan” bagi yang “lapar” secara sepiritual.

Yang jelas, peristiwa Priuk merupakan tamparan sekaligus peringatan buat pemerintah yang seringkali bertindak sepihak dan sewenang-wenang dalam merebut dan merampas “sumber daya strategis” milik rakyat. Jangan-jangan ini adalah akumulasi dari kekecewaan dan kemarahan rakyat selama ini.

Sebab, seringkali, atas nama “pembangunan”, “penertiban”, “kesejahteraan”, dan sejuta “kesadaran palsu” lainnya — yang sebelumnya sudah “dirasionalisasikan” penguasa — bisa dianggap halal dan ilegal, meskipun dilakukan dengan menyakiti, membunuh dan mengadudomba rakyatnya.


Wallahu a’lam bi sawab.