Selasa, 09 Februari 2010

Pandangan Ulama Terhadap Seni Musik

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Membincangkan dinamika dan wacana kesenian dan kebudayaan dalam dunia pesantren seolah sepi dan tidak begitu diminati. tulisan dalam artikel ini mencoba mencoba untuk menghidupkan kembali wacana tersebut.


Salah satu ulama yang memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun opusnya, Ihya ulumuddin, al-Ghazali menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik

Dalam menghukumi musik, kata al-Gazali, para ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam Syafi’i, ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.

Bahkan, kata al-Syafi’i, memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat hukumnya makruh. Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca al-Qur’an. Al-Syafi’i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu jenis permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-permainan yang lain. “Dan saya”, tegas al-Syafi’i, “sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis permainan. Sebab permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri (muru’ah).” [1]

Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya, “Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id. [2]

Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.[3]

Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi dikalangan ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik. [4]

Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi. Al-‘Ata juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.

Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.” [5]

Antara bentuk dan isi


Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar [6].

Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.

Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).

Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst [7]. Penilaian seperti itu mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal.

Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.

Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqh dan tasawuf. Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (al-Quran dan al-Hadits). Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada substansinya dengan berpijak pada realitas kongkrit.

Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.

Dalam kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu).

Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi.

Musik “Islam” dan “non-Islami”


Sekarang ini muncul penilaian di sebagian kalangan masyarakat yang mengidentifikasi musik dan lagu tertentu sebagai “Islami” dan “non Islami”. Asalkan lirik lagunya “dibumbui” nama-nama Tuhan, maka disebut “Islami”.

Bahkan cenderung menyamakan Arabisasi dengan Islamisasi. Semisal, musik/lagu yang beraroma padang pasir (gambus/berbahasa Arab) dianggap musik Islam sementara lainnya dicap bukan dari Islam.

Penilaian tersebut tidak hanya keliru, melainkan menyebabkan kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Keislaman bukan terletak pada bentuk dan penampilan (ekspresi) melainkan substansinya.

Juga muncul keinginan sebagian orang yang ingin “menundukkan” kesenian di bawah agama dengan memasukkan pesan-pesan keagamaan ke dalam kesenian tertentu. Contohnya dengan menaburi lirik-lirik lagu dengan “pesan-pesan keagamaan”.

Menurut Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antar keduanya. Agama mencoba menundukkan kebudayaan melalui proses legitimasi. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang sesuai atau bertentangan dengan agama. Dengan ini, yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sementara yang lain tidak [8].

Sebetulnya, tidak tepat menghadap-hadapkan antara agama dan kesenian (termasuk musik). Keduanya memiliki independensi masing-masing. Terkadang hubungan keduanya bersifat mutualis-simbiosis. Juga tidak jarang keduanya saling serang dan menyerang. Dalam kehidupan, itu pasti terjadi, dan tidak perlu disesalkan. Tinggal bagaimana menempatkan keduanya pada proporsi masing-masing secara adil, bebas, dan merdeka. Wallahu a’lam bi sawab.

Tulisan ini pernah dimuat dalam www.nu.or.id


Endnotes

[1] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 267
[2] Mughni Al-Muhtaj, hal 2, vol 3
[3] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[4] Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad, Kaf al-Ria’, hal 273
[5] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[6] Mohammad Nawawi, Syarh Sulam al-Taufik, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 75
[7] Mohammad bin Salim, Is’adu al-Rafik wa Bughyatu al-Syiddiq, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 106
[7]Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, cetakan 2