Kamis, 19 November 2009

PEMERINTAHAN SYARIAT

Salah satu diskursus penting yang tidak pernah kering diperbincangkan banyak ulama adalah: bagaimana bentuk pemerintahan dalam Islam? Jawaban dari pertanyaan ini tidaklah tunggal. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan pendapat berbeda-beda.

Ini menunjukkan betapa kaya dan beragam khazanah keilmuan yang dimiliki dunia Islam.

Di antara banyak ulama yang mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328) dalam risalahnya “al-Siyasah al-Syariyyah” (pemerintahan syariat).

Dalam kitabnya ini, Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa tujuan kekuasaan adalah memperbaiki agama manusia dan mengatur urusan dunia yang tanpanya agama tidak sempurna [1].

Bahkan, lanjut Ibnu Taymiyah, agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan. Membangun dan mendirikan kekuasaan adalah kewajban agama yang paling luhur. Tujuannya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Agama dan negara, kata Ibnu Taymiyah, ibarat sekeping uang logam yang sisi-sisinya saling melengkapi. “Qawwamu al-din bi al-saef wa al-mushaf,” tegas Ibnu Taymiyah. Maksudnya, agama tidak akan bisa tegak kecuali dengan mushaf (al-Quran dan al-Hadits) dan pedang (kekuasaan) [2]

Dari sini bisa dipahami bahwa kekuasaan (baca: negara) dalam pandangan Ibnu Taymiyah semacam alat/eksekutor untuk memuluskan kepentingan dan tujuam agama, mulai dari persoalan-persoalan privat, seperti salat, haji, zakat, dsb, hingga urusan publik, seperti hudud, pajak, hingga menyangkut pertahanan dan keamanan negara (Jihad).

Ibnu Taymiyah masih belum mengenal pembagian kekuasaan dalam negara, semisal yang ditawar Jhon Locke dan Montesque yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bagian: legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyyah), eksekutif (al-Sulthah al-tanfidziyyah), dan yudikatif (al-sulthah al-qadlaiyyah). model pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terpusatnya kekuasaan hanya pada satu orang (penguasa otoriter). Ia hanya mengenal seorang pemimpin yang memiliki otoritas tunggal, seperti yang terjadi pada masanya.

Karena itu, seorang pemimpin (Imam al-A’dzam) yang dikenal Ibnu Taymiyah adalah seorang yang kuat, tegas dan berani. Juga seorang yang cerdik-pandai dalam mengatur strategi dan siasat perang, piawai dalam menggunakan alat-alat perang, memiliki kekuatan untuk memaksa dan melaksanakan hukum sesuai al-Quran dan al-Hadis [3].

Pikiran maupun gagasan Ibnu Taymiyah dibentuk dan dipengaruhi zamannya. Ia adalah anak zamannya. Ia hidup ketika peradaban Islam sedang mengalami kemunduran. Invasi Mongol menyebabkan banyak kerajaan Islam yang hancur dan kalah. Ketika berumur enam tahun ia harus hidup dalam pengungsian. Namun demikian, ia tergolong ulama yang kritis terhadap penguasa, sehingga erkali-kali masuk penjara. Dua tahun terakhirnya ia habiskan waktunya dipenjara untuk menulis [4].

Pasca Ibnu Taymiyah

Proyek intelektual Ibnu Taymiyah tentang pemerintahan syariat kemudian di lanjutkan oleh pengikut-pengikutnya, seperti al-Maududi (1903-1979), Hasan al-Bana (1906-1949), Sayyid Qutb (1906-1966), dll----untuk menyebut beberapa tokoh.

Abu al-Ala al-Maududi, misalnya, berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan Tuhan. Dalam persoalan politik dan kenegaraan, kedudukan manusia hanyalah sebagi khalifah yang melaksanakan segala yang diperintahkan al-Quran dan al-Hadis.

Karena itu, al-Maududi menolak keras model pemerintahan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Menurut pemikir asal India ini, asas negara harus berlandaskan pada agama (Kingdom of God). Al-Maududi merujuk pada masa khulafa al-rasyidin sebagai model pemerintahan ideal dalam Islam [5].

Hal senada dikemukakan Hasan al-Bana. Menurutnya Islam adalah agama, politik dan negara. Islam tidak hanya berkutat pada persolan ibadah, juga ikut mengurusi persoalan politik. Karena itu, Hasan al-Bana bercita-cita menghimpun negara-negara muslim untuk bersatu dalam payung negara khilafah [6].

Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Hasan al-Bana dan kawan-kawannya mendirikan Ikhwanul Muslimin. Melalui organisasi ini, mereka berobsesi membentuk kekhalifahan yang terdiri dari negara-negara muslim yang merdeka dan berdaulat. Kekhalifahan ini harus sepenuhnya didasarkan pada ajaran al-Quran dan al-Hadis.

Bibit-bibit pemikiran yang ditanamkan ketiga tokoh tersebut membiak di Indonesia melalui gerakan Islam Trans Nasional, seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbu Tahrir Indonesia), FUI (Forum Umat Islam), FPI (Front Pembela Islam), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan masih banyak lagi. Mereka yang selama ini gencar memperjuangkan Perda-Perda Syariat, Piagam Jakarta, dan berambisi membentuk “negara syariat”.

Yang mengeram dalam kepala mereka adalah bagaimana agar “syariat Islam” menjadi bagian dan ikut mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka berkeyakinan bahwa “syariat Islam” dapat membawa perubahan dan sekaligus sebagai solusi bagi problem yang dihadapi umat Islam. Sebagaimana yang tersurat dalam jargon mereka “al-Islam hua al-hallu” (Islam adalah solusi).

Yang paling menonjol dan terang-terangan adalah HTI (Hizbu Tahrir Indonesia). “Khilafah Islamiyyah” adalah salah satu proyek besar organisasi yang didirikan Taqiyuddin al-Nabhani ini. Mereka ingin menghadirkan kembali “Khilafah Islamiyyah” yang pernah dipraktikkan Khulafa al-Rasyidin.

Negara (Islam) Indonesia

Lantas, bagaimana dengan Bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada Pancasila dan UUD 45? Apakah Indonesia perlu “di Islamkan” dengan mengganti ideologi dan dasar negara dengan “syariat Islam”? Atau bila perlu membentuk “negara khilafah” seperti yang dianjurkan HTI?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui terlebih dahulu maksud yang terkandung dalam istilah “negara Islam”, “syariat Islam”, dan “khilafah Islamiyyah”. Ketiga istilah tersebut rawan dibajak dan dimanipulasi oleh kalangan tertentu hanya untuk memuluskan dan memuaskan tujuan serta kepentingan politik mereka.

Seolah-olah mereka memperjuangkan dan menegakkan “syariat Islam”. Padahal, kenyataannya, Islam hanya dijadikan topeng dan kendaraan politik semata.

Istilah “negara Islam” sebetulnya tidak pernah dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Fakta historis menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak pernah mendirikan sebuah negara. Bahkan Nabi sendiri menolak diangkat sebagai raja ketika ditawari oleh kaum Quraisy [7].

Dalam al-Quran sendiri tidak pernah disebut istilah al-daulah yang berarti negara. Kata al-daulah memang pernah tersurat dalam QS. 59:07 tetapi bukan dalam makna negara. Istilah tersebut dipakai untuk menyebut peredaran dan perputaran harta kekayaan [8].

Nabi SAW juga tidak meninggalkan wasiat siapa yang bakal menggantikan sepeninggal beliau. Persoalan politik sepenuhnya diserahkan pada ijtihad para sahabat sendiri. Sehingga tidak aneh apabila pola pergantian kepemimpinan (suksesi) pada masa sahabat tidak sama. Abu Bakar diangkat melalui mekanisme al-ikhtiar (pemilihan) ahlul hilli wal aqdi. Sementara Umar bin Khattab dipilih berdasarkan wasiat dari Abu Bakar (wilayatu al-‘ahdi).

Pola pergantian kepemimpinan seperti ini kemudian baru diteorisasikan oleh al-Mawardi dalam magnun opusnya “al-Ahkam al-Sultoniyyah”. Al-Mawardi menyebutkan bahwa pergantian kekuasaan (suksesi) hanya bisa dilakukan melalui dua cara: pertama melalui pemilihan ahlu al-hilli wa al-aqdi dan kedua melalui mekanisme penunjukkan pemimpin sebelumnya (wilyatul al-‘ahdi). Pendapat ini diamini AbuYa’la, Abu Hasan al-Bashri, dan al-Juwaini [9].

Jadi, Islam sendiri sebetulnya tidak memiliki konsep pemerintahan yang definitif. Apalagi sampai menganjurkan untuk mendirikan “negara Islam”. Yang diperlukan adalah ketertiban yang memungkinkan orang Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Dalam kaidah fiqh dinyatakan bahwa tertib sosial politik menjadi prasyarat bagi terwujudnya tertib agama (nidzamu al-dunnya syart li nidzam al-din).

Sehingga wajar jika dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin, 9 Juni 1935, NU telah memberikan status hukum “Negara Islam” terhadap Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh kolonialisme Belanda. Ini diambil dari “Bughyatul al-Musytarsyidin” yang mengatakan: “Inna ardla Betawi wa ghalibu ardli Jawa daaru Islamin listilaail muslimina alaiha qabla al-kuffar” (sesungguhnya Betawi [Jakarta] bahkan seluruh Pulau Jawa adalah Negara Islam karena pernah dikuasai Islam [Demak-Mataram], meskipun setelahnya dikuai orang kafir (kolonialisme Belanda).

Lantas, kalau memang sudah Islam, mengapa harus di-Islamkan lagi? Wallahu a’lam bi sawab.



End note

[1] Taqiyuddin Ibnu Taymiyyah, al-Siyasayh al-Syariyyah: Fi Ishlahi al-Ra’i wa al-Raiyyah, (Libanon: Dar al-Ma’rifah: 1969), h. 121
[2] ibid, h. 26
[3] ibid, h. 16-17
[4] Antony Black, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini, (Jakarta: Serambi, 2001), h. 288
[5] Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqh Siyasah: Konsep, Aliran dan Tokoh-Tokoh Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 90-91
[6] ibid, h. 98-99
[7] Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 64
[8] Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghozali, Relasi Agama dan Negara, dalam Istiqra Vol 04, No 01 2005, h. 152
[9] Said Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 69

Jumat, 11 September 2009

BOM BUNUH DIRI dan CITRA ISLAM

Oleh Jamaluddin Mohammad

Indonesia kembali diguncang bom bunuh diri. Kali ini sasarannya adalah hotel JW Marriott dan Ritz Cartlon. Puluhan orang tewas dan luka-luka dalam insiden ini.

Banyak muncul dugaan mengenai siapa pelaku di balik insiden yang menewaskan 12 orang ini. Ada yang menghubung-hubungkan dengan pemilu, kedatangan MU, hingga jaringan teroris internasional. Namun, dugaan kuat berdasarkan penyidikan kepolisian, aktornya adalah “pemain lawas” yang masih ada rentetannya dengan aksi-aksi bom sebelumnya.

Memang, semenjak persitiwa 11 September yang melululantakkan menara kembar WTC dan gendung pertahanan Pentagon, Amerika Serikat, banyak aksi bom bunuh diri yang terjadi di negara-negara muslim--- termasuk Indonesia--- selalu dikaitkan dengan jaringan terorisme internasional, bertendensi agama, dan sasarannya adalah Amerika dan Negara-Negara Barat.

Terorisme selalu dilekatkan pada mereka yang memiliki pemahan keislaman yang “keras dan radikal”, yang menganggap Amerika dan Barat sebagai “musuh Islam”. Akibat ulah mereka yang mengatasnamankan Islam, Islam menjadi agama tertuduh. Ia dianggap agama barbar, liar, intoleran, dan tidak mengenal kemanusiaan. Islam juga dituduh telah mengajarkan doktrin kekerasan terhadap pemeluknya, yaitu “Jihad”.

Sehingga, untuk “mengurangi” dan “meminimalisir” aksi-aksi kekerasan yang dilakukan segelintir umat Islam itu, pemahaman Islam tentang Jihad harus “diluruskan” dan “dibenarkan penggunaannya”. Sehingga —— melalui Ormas, LSM, dan lembaga-lembaga pendidikan —— mengalirlah program-program, paket pelatihan, hingga pentingnya membuat kurikulum tentang toleransi, bersikap inklusif, berwawasan terbuka, dst. Seolah-olah Islam tidak mengajarkan dan memiliki ajaran itu semua.

Di samping itu, banyak juga penulis-penulis Islam yang mencoba mengait-ngaitkan antara Islam dan Demokrasi, Islam dan HAM, toleransi beragama di dalam al-Quran, dll. Artinya, proses pencitraan itu tidak hanya diciptakan dan dimunculkan orang lain(the other), melainkan dipelihara, direproduksi, dan disebarkan oleh orang Islam sendiri.

Makna Jihad sepanjang sejarah
“Jihad” diambil dari akar kata “mujahadah” yang artinya “berperang demi menegakkan agama Tuhan” (al-muqatalah li-iqamati al-dien). Perintah Jihad baru dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Sebelumnya, umat Islam disuruh bersabar menerima perlakuan apapun dari orang-orang kafir.

Muhammad bin Qasim dalam “Fath al-Qarib” menjelaskan bahwa Jihad hukumnya fardu kifayah. Apabila “musuh” memasuki negara muslim, Jihad tidak lagi fardlu kifayah, melainkan fardlu ‘ain. Dalam konteks ini, Jihad dimaksudkan untuk “melindungi” dan “menjaga” umat Islam. Jihad ditunjukkan kepada mereka yang nyata-nyata menyerang dan memerangi umat Islam (kafir harb). Sebaliknya, Jihad tidak diarahkan kepada mereka yang memilih berdamai dan hidup rukun bersama umat Islam, semisal kafir dzimmi, kafir musta’man, kafir mu’ahad, dll.

Dalam konteks keindonesiaan, Jihad dalam arti berperang pernah dikumandangkan organisasi Nahdlatul Ulama dalam bentuk ”Resolusi Jihad” menghadapi Kolonialisme Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia pada 10 Nopember 1945. Ketika itu, para ulama, kiai, santri, dan masyarakat berbondong-bondong menuju medan pertempuran untuk berjihad, membela agama dan tanah air.

Namun, sebagaimana yang dikatakan Nabi SAW, Jihad dalam makna peperangan/memerangi “musuh Islam” tergolong Jihad kecil (Jihad asghor). Jihad sesungguhnya (Jihad akbar) adalah “memerangi hawa nafsu” (mujahadatu al-nafsi). Sebab, musuh yang nyata dan sesungguhnya adalah terdapat di dalam setiap orang, yaitu hawa nafsunya. Suatu ketika, sekembali dari medan pertempuran, Nabi SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Raja’na min al-jhad al-asghar ila al-jihad al-akbar” (kita baru saja kembali dari “jihad kecil” menuju “jihad besar”, yakni memerangi hawa nafsu).

Menurut Abu Bakar dalam “Ianah al-Tholibin”, Jihad (berperang) hanyalah sarana (wasail) untuk mencapai tujuan (maqasid), yaitu memberikan hidayah/petunjuk. Kata Abu Bakar, apabila tujuan tersebut bisa tercapai tanpa melalui jihad, maka itu lebih baik. Sehingga, Zainuddin al-Malibari dalam “Fath al-Muin” lebih tertarik mengelaborasi makna Jihad bukan hanya sebatas “berperang”. Katanya, “Daf’u dlararu al-Ma’sumin min al-muslimin wa dzimmiyyin wa musta’manin ja’i (mencukupi kebutuhan rakyat miskin, baik muslim, dzimmi, atau musta’man) termasuk kategori Jihad. Makna lebih luasnya adalah dengan memberikan jaminan sandang pangan, kesehatan dan pendidikan.

Inilah sebetulnya spirit dan makna Jihad yang sesungguhnya. Jihad yang benar adalah Jihad yang tidak didasarkan pada kebencian, permusuhan, dan bukan untuk menghancurkan kemanusiaan.

Nabi Muhammad SAW sebetulnya tidak suka cara-cara penyelesaian melalui peperangan. Dalam arti lain, berperang sebetulnya bukanlah tujuan Nabi SAW. Terbukti, dari delapan pertempuran yang diikuti Nabi SAW, hanya satu orang , Ubay bin Khalaf, yang mati ditangan beliau. Dan sebelum berangkat ke medan pertempuran, Nabi SAW selalu berpesan kepada bala tentaranya agar tidak membunuh para rahib-rahib yang tengah beribadah di kuil-kuil mereka, tidak boleh membunuh anak-anak, orang-orang berusia lanjut, mereka yang tidak terlibat dalam perang, merusak pohon dan membunuh binatang.

Pembajakan Makna Jihad

Akhir-akhir ini Jihad muncul dalam makna yang tunggal dan berkonotasi kekerasan. Citra Islam selalu dikaitkan dengan makna itu. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok teroris selalu dihubung-hubungkan dengan kata ini. Jihad seolah-olah hanya bermakna dan digunakan untuk membenci, memusuhi dan membunuh orang tanpa ampun.

Padahal, sudah sejak lama umat Islam mengenal dan akrab dengan kata ini. Jihad memiliki beragam makna dan penggunaan. Tergantung ruang dan waktu. Artinya, Jihad tidak selalu diartikan dengan “berperang di jalan Allah” (tentunya melalui cara dan metode yang benar seperti yang disebutkan di atas).

Jihad telah dibajak oleh segelintir orang untuk memenuhi ambisi politisnya. Mereka mengatasnamakan agama dan umat Islam untuk berperang dan melawan Barat. Padahal, mayoritas umat Islam lebih senang hidup damai, bersahabat, saling menghormati dan menghargai umat dan bangsa lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan kehidupan umat Islam di setiap negara-negara yang mayoritas beragama Islam. Hanya karena ulah segelintir orang, agama dan kehidupan umat Islam jadi ternodai.

Karena itu, untuk menetralisir kembali makna Jihad, umat Islam harus merebut kembali makna Jihad yang sebenarnya. Umat Islam tidak boleh terjebak pencitraan yang dilakukan “orang lain” (the other) terhadap makna ini. Juga harus bisa membuktikan kepada “orang lain” bahwa Jihad tidak untuk melakukan kekerasan apalagi memusuhi kemanusiaan. Caranya dengan memerangi dan membasmi terorisme, baik yang berada di luar maupun yang menggerogoti dari dalam.

Terorisme merupakan musuh bersama (common enemy) yang harus dibasmi secara bersama-sama pula. Tidak ada satupun agama yang memusuhi kemanusiaan. Agama yang anti kemanusiaan adalah musuh kemanusiaan itu sendiri. Wallahu a’lam bi sawab

Selasa, 30 Juni 2009

Melawan Kedzaliman Penguasa

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Suherni (40 tahun) meratapi tanahnya seluas sekitar 100 m2. Tak lama kemudian, kedua matanya menatap ke arah rumahnya. Rumahnya memang tidak besar, namun cukup nyaman untuk tinggal bersama keluarga.

Hampir tiap hari, wanita yang akrab dipanggil Erni, melakukan hal itu. Wajar, karena rumah dan tanahnya yang berada di Blok Atas, Desa/Kec. Ciwaringin Kab. Cirebon itu telah ditawar dengan harga yang cukup tinggi. Nilainya mencapai ratusan juta rupiah.

Rumah dan tanah Erni merupakan salah satu yang terkena gusur guna pembangunan ruas tol Cikampek-Palimanan (Cikapa). Tentu, tawaran harga yang tinggi membuat hati Erni berbunga-bunga. Jika uang ganti rugi sudah ada di tangan, seluruh kebutuhan dan cita-citanya segera terwujud.

Apa yang dirasakan Suherni, juga dirasakan 255 pemilik tanah di Desa Ciwaringin. Warga berharap pembayaran ganti rugi atas pembebasan tanah dapat cair bulan ini. (Mitra Dialog, 02/05)

***

Sengaja saya membuka tulisan ini dengan sebuah cerita yang saya kutip dari salah satu koran lokal yang ada di Cirebon. Saya akan bandingkan laporan tersebut dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat. Dalam laporannya, masyarakat——khususnya masyarakat Desa Ciwaringin Kec. Ciwaringin Kab. Cirebon——sudah menunggu dan menanti-nanti agar tanah dan rumahnya segera dibeli untuk pembangunan Tol Cikapa. Bahkan, mereka kecewa terhadap kinerja P2T (Panitia Pengadaan Tanah) yang dinilai lamban merespon keinginan masyarakat.

Desa Ciwaringin adalah salah satu Desa yang akan terkena projek jalan tol Cikapa. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Babakan yang sejak awal masyarakatnya menolak keberadaan mega projek ini. Saat ini pemerintah sedang gencar melakukan sosialisasi dan memperioritaskan pembebasan tanah di daerah ini.

Saya berkeyakinan, bahwa ini bagian dari strategi pemerintah untuk memaksa projek jalan tol. Meskipun ada desakan dari Pesantren Babakan agar jalur tol segera dipindah, karena akan membelah kawasan pesantren, pemerintah pasti akan keberatan. Nantinya, pemerintah akan beralasan karena banyak daerah sekeliling yang tanahnya sudah dibebaskan, sehingga tidak mungkin digeser atau dialihkan. Pola-pola militeristik masih digunakan pemerintah kita.

Pesantren Babakan sengaja dikepung dan diapit oleh dua Desa yang tanahnya (diperioritaskan) akan dibebaskan. Pemerintah menggunakan strategi “desa mengepung kota” untuk melumpuhkan Pesantren Babakan. Terbukti, di Desa Panjalin, Majalengka, ada sebagian tanah yang sudah dibebaskan.

Lantas, betulkah masyarakat Ciwaringin mendukung keberadaan projek ini? Sejak awal masyarakat Ciwaringin sudah diiming-imingi harga tanah yang tinggi. Mereka berharap bisa mendapatkan keuntungan lebih dari penjualan tanah dan rumahnya. Impiannya, dari uang tersebut, mereka dapat membangun rumah yang lebih bagus dari rumah sebelumnya. Jika uang tersebut`masih tersisa, mereka akan membeli kendaraan, sawah, atau bahkan naik haji. Sedari awal mereka sudah dijejali harapan dan lamunan yang menyentuh langit.

Di saat masyarakat sedang menikmati mimpinya dan berharap “ketiban pulung” (mendapatkan rezeki berlimpah secara tiba-tiba), pemerintahan Desa mengambil peluang dengan memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan pemerasan, penekanan, bahkan pemaksaan terhadap masyarakat. Misalnya, dengan menawarkan pembuatan akta tanah yang harganya berlipat-lipat (sebetulnya bukan akta tanah, tetapi semacam “legalitas” atau catatan kepemilikan tanah dari Desa yang ditanda tangani juru tulis). Bayangkan, setiap orang terkena biaya tiga juta sampai dua belas juta.

Sebelumnya, pihak Desa menakut-nakuti masyarakat yang tanahnya belum bersertifikat atau belum memiliki akta tanah, maka tanahnya akan dibayar murah, separuh harga, atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Pemerintah tidak segan-segan melakukan penggusuran paksa jika mereka menolak. Sehingga, bagi masyarakat kecil yang tingkat pendidikannya rendah dan tidak terbiasa dengan kekerasan, tidak ada pilihan lain kecuali pasrah terhadap keputusan apapun yang bakal mereka terima.

Malah berangsur-angsur situasinya dibuat terbalik: masyarakat yang pada awalnya tidak butuh menjual tanahnya, tidak mau terusir dari kampung halamannya, seolah-olah merekalah yang kebelet dan berharap banyak agar tanah dan rumahnya segera dibeli. Mereka dibuat tergantung terhadap projek ini. Meskipun nantinya meraka harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk mengorbankan tanah dan rumahnya demi memenuhi mitos “pembangunan untuk kepentingan umum” itu.

Menolak harga tanah
Namun, tiba-tiba mimpi itu buyar setelah masyarakat mengetahui daftar harga tanah yang disodorkan pihak P2T. Yang membuat mereka terperangah ternyata harga yang ditawarkan di bawah rata-rata harga pasaran. Pemerintah mematok harga di kisaran Rp. 83.000 sampai Rp. 100.000 per meter. Vareasi harga tergantung kualitas dan lokasi tanah. Padahal, berdasarkan harga pasaran, harga 1 meter tanah bisa mencapai 200-250 ribu. Akibatnya, sebanyak 170 pemilik tanah melayangkan protes ke pihak P2T.

Harga tanah yang ditaksir pihak P2T terlampau rendah, sebab berpatokan pada harga NJOP (nilai jual objek pajak) atau nilai nyata/sebenarnya, tidak merujuk pada harga pasaran. Bahkan, dalam menetapkan harga-harga tersebut, diduga kuat terdapat campur tangan broker dan spekulan tanah yang mengadakan “kongkalikong” dengan oknum pejabat pemerintah. Mereka menekan harga serendah mungkin guna maraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Terbukti, harga penawaran tanah di setiap Desa berbeda-beda. Misalnya, di Desa Galagamba, Ciwaringin, dan Desa Panjalin, Majalengka, harga tanah di sana rata-rata dipatok Rp. 25.000 sampai Rp. 27.000 m2.

Di samping itu, kecurangan juga terjadi pada saat pengukuran tanah. Tidak sedikit ukuran tanah yang tidak sesuai SPPT (surat pembayaran pajak tanah). Tanah milik Samsuri, misalnya, seharusnya berukuran 285 m2 tetapi ditulis 175 m2. Hal ini tidak saja merugikan masyarakat tetapi sekaligus membuka peluang dan kesempatan kepada aparat Desa untuk melakukan korupsi.

Kendatipun banyak terjadi kecurangan, manipulasi, bahkan tindakan kekerasan, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Aparat Desa di sana seringkali melakukan teror dan intimidasi terhadap masyarakat yang melakukan protes apalagi melawan. Tindakan represif pemerintah membuat masyarakat ketakutan dan lebih memilih bersembunyi dan membicarakannya di rumah mereka masing-masing. Hantu-hantu Orde Baru masih banyak bergentayangan di Ciwaringin.

Apa yang menimpa masyarakat Desa Ciwaringin juga terjadi di Desa-Desa lain. Bahkan, enam Desa di Kab. Majalengka sejak awal sudah menolak harga tanah yang disodorkan P2T. Ini akan menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Mereka tidak rela tanah mereka dirampas, hak-hak mereka dipangkas. Namun, saya pesimis mereka akan memenangkan dan mendapatkan hak-hak mereka. Di negeri ini, untuk mendapatkan keadilan ibarat mimpi di siang bolong

Bukan persoalan harga
Fenomena tersebut kontras dengan yang terjadi di Desa Babakan Kec. Ciwaringin Kab. Cirebon. Sebagian besar masyarakat di “kampung pesantren” ini menolak menjual tanahnya untuk pembangunan ruas jalan tol. Alasannya sederhana, tanah tersebut adalah tanah wasiat (tanah wakaf) yang hanya diperuntukkan untuk pembangunan pondok pesantren. Sehingga, berapapun harganya, mereka tidak akan melepas tanah tersebut. “Itu sudah harga mati,” kata Kiai Zamzami, salah satu kiai pesantren yang menolak menjual tanahnya kalau hanya untuk kepentingan pemodal.

Para kiai di Babakan Ciwaringin berkomitmen untuk tetap menjaga dan merawat wasiat para pendahulunya, sebagaimana mereka merawat dan menjaga tradisi secara turun-temurun. Bagi kiai-kiai pesantren, terutama kiai-kiai sepuh, proses membuat dan membangun pesantren tidaklah semudah seperti pengusaha atau orang-orang kaya membangun yayasan atau sekolahan. Asalkan ada uang, rencana dan keinginan tersebut dapat dengan mudah terealisasikan.

Namun, bagi kebanyakan kiai pesantren, uang saja tidak cukup, dan bukan satu-satunya ukuran keberhasilan mendirikan pesantren. Untuk membangun sebuah pesantren, tidak jarang seorang kiai harus tirakat, riadloh dan istikharah (meminta petunjuk kepada Allah SWT) terlebih dahulu: apakah tanah yang akan dibangun pesantren betul-betul “barokah”, bisa menambah manfaat dan kebaikan terutama bagi santri-santri dan masyarakat sekitarnya. Orientasi kiai membangun pesantren lebih didasarkan pada orientasi ukhrawi: investasi akhirat. Sehingga dibutuhkan keikhlasan, kejujuran, katwadluan, dst.

Unsur “barokah” (ziyadah al-khair) merupakan salah satu motivasi dan pertimbangan kiai dalam mendirikan sebuah pondok pesantren. Karena itu, tidak semua tempat mengandung “barokah” sehingga cocok dan layak dibuat pesantren. Maka, sangat wajar jika para kiai di Babakan menolak menjual tanahnya atau melakukan tukar guling, karena belum tentu mendapatkan tanah dengan kualitas dan nilai yang sama. Apalagi tanah tersebut sudah di-tirakati muassis (pendiri) pesantren.

Persoalan seperti ini tidak mungkin dipahami hanya dari kaca mata“orang luar” (outsider), melainkan harus masuk dan menyelami “kesadaran” dan “pandangan dunia” orang-orang pesantren. Sebab, yang dinamakan pesantren bukanlah semata bentuk fisik bangunan beserta penghuninya. Pesantren adalah sebuah subkultur yang memiliki karakteristik tersendiri berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya (Abdurahman Wahid, 2001).

Masyarakat pesantren memiliki cara hidup, sistem etik dan hirarki sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Juga menawarkan pandangan dunia tersendiri (alternative way of live) yang tidak dianut oleh bangsa ini. Maka, salah besar jika melihat dan menilai pesantren dari segi fisik bangunan belaka.

Sehingga, penggusuran terhadap pesantren——juga sebuah perkampungan——bukan semata penggusuran terhadap tanah dan bangunan, melainkan penggusuran terhadap budaya, tradisi, dan integrasi sosial yang sudah sekian lama melekat dan mengikat sesama anggotanya. Mereka harus berpisah dan membangun kehidupan baru yang tentunya tidak mudah dan membutuhkan adaptasi dalam waktu lama. Dampak sosial-budaya seperti ini yang hampir tidak pernah dipikirkan pemerintah.

Ini yang sampai sekarang gagal dipahami pemerintah ataupun pengembang. Mereka menduga penolakan kiai pesantren disebabkan adanya ketidakcocokan soal harga tanah. Demonstrasi yang dilakukan para santri juga dianggap sebagai bagian untuk melambungkan harga tersebut. Sesat-pikir pemerintah menyebabkan persoalan ini berlarut-larut.

Selama ini, pendekatan yang selalu dilakukan pemerintah adalah tawar-menawar harga, negosiasi dan kompromi melalui kompensasi. Padahal, para kiai tidak butuh itu——mungkin hanya satu dua kiai yang tingkat kezahidannya sudah luntur sebagai pengecualian. Kiai dan ulama Pesantren Babakan lebih memilih masa depan pesantren beserta seluruh kekayaan tradisi dan budayanya. Ini tidak bisa digantikan dengan uang miliaran bahkan triliyunan rupiah.

Pesantren merupakan benteng terakhir terhadap ketahanan tradisi dan budaya Nasional. Ancaman terhadap Pesantren Babakan juga menjadi ancaman bagi pesantren-pesantren lain. Apabila pemodal berhasil merampas, menggusur, dan mengambil alih lahan pesantren untuk kepentingan bisnis dan dagang (jalan tol), dan dengan mudah membeli kiai-kiainya dengan uang, maka mulai sekarang dan seterusnya tidak ada yang perlu kita banggakan dari pondok pesantren. Wallahu a’lam bi sawab.

Selasa, 05 Mei 2009

Negara Budak

Oleh Jamaluddin Mohammad

Indonesia adalah negeri budak
Budak di antara bangsa
dan budak bagi bangsa-bangsa lain
(Pramoedya Ananta Toer)

Sungguh tragis nasib yang menimpa model cantik Manohara Odelia Pinot. Setelah dipersunting pangeran Malaysia, Tenku Fakhry, kabarnya gadis belasteran Indonesia-Prancis itu bukannya menuai bahagia. Ia malah menerima perlakuan tidak manusiawi: sebelum dikawin, ia diperkosa; tubuhnya disayat-sayat dengan silet lantaran sang suami menderita kelainan seksual; ruang geraknya dibatasi; Ia ibarat hidup disangkar emas.

Melihat anaknya diperlakukan seperti binatang, sang ibu, Daisy Fajarina, melapor ke pihak kepolisian, mendatangi Kedubes, hingga mengadu ke Komnas HAM. Hasilnya nihil. Beberapa kali ia pingsan. Ia baru sadar air matanya tidak bisa berbuat apa-apa. Bangsa ini pengecut. Di negeri ini, kemanusiaan tidak ada harganya sama sekali.

Monahora hanyalah salah satu wanita Indonesia yang diperlakukan tidak adil oleh bangsa lain. Tidak sedikit wanita Indonesia yang diperkosa, dianiaya, dijual, bahkan dibunuh. Manohara masih diuntungkan karena dia artis, publik figur, yang segala sikap, prilaku, ataupun kata-katanya “layak jual”, marketable. Sehingga media massa tidak bosan-bosannya mengekspos persoalan yang menimpanya. Berbeda ketika kasus tersebut menimpa buruh migran. Kasusnya pasti akan mudah tenggelam bersamaan dengan status dan kelanjutan hukumnya.

Padahal, berdasarkan data yang dikeluarkan KOPBUMI pada tahun 2001 tercatat terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang. Perinciannya, 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang diPHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransi ,25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah

Sementara Migrant Justice mencatat, setidaknya setiap tahun ada 25 kasus kematian, 13 orang terancam hukuman mati, 7.500 orang dipenjarakan tanpa sebab yang jelas, 3.000 orang dideportasi, 1.000 orang jadi korban trafficking. Dari Konferensi ILO IPEC 2001 memperkirakan bahwa ada 1,4 juta Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indoneia, dan 23 persennya adalah anak-anak. Sementara dalam laporan Organisasi Perburuhan Indonesia (ILO) tahun 1998 memperkirakan bahwa ada sekitar 130.000-240.000 pekerja seks di Indonesia dan sampai 30 persennya adalah anak-anak di bawah 18 tahun. ICMC pada tahun 2003 menunjukkan bahwa ada sekitar 2,4 sampai 3,7 juta buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara, yang dipastikan lebih dari 70% adalah perempuan.

Di mana tanggung jawab negara?
Apakah hukum negara kita terlalu lemah sehingga tidak bisa melindungi warga negaranya? Atau negara kita yang sebetulnya tidak memiliki keberanian untuk melindungi hak-hak warga negaranya?

Dalam banyak kasus, negara terbukti tidak bisa berbuat apa-apa. Kasus-kasus yang menimpa buruh migran kerap kali menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan proses dan status hukumnya. Bahkan, negara terkadang malah cuci tangan, tidak berani berurusan dan berhadapan dengan bangsa lain.

Padahal, yang menimpa Manohara——begitu juga yang selama ini menimpa buruh migran—— tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi sudah menyangkut keadilan, kemanusiaan, dan harga diri sebuah bangsa. Negara seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyatnya. Tanpa ada jaminan perlindungan dan keamanan dari negara, buruh kita hanya menjadi budak bagi bangsa-bangsa lain.

Seperti yang terjadi di Arab Saudi baru-baru ini. Salah satu surat kabar di sana menginformasikan banyaknya TKW Indonesia yang dijadikan budak seks majikannya. Ironisnya, ulama di sana malah melegalkan tindakan tersebut. Dan lebih ironis lagi, itu terjadi di negara Islam yang mengaku berlandaskan syariat Islam—— yang sebetulnya bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri (http:www.alarabiya.net).

Di samping nasibnya yang kurang beruntung, kebanyakan buruh migran, terutama perempuan, kerap kali dipekerjakan di sektor-sektor yang sebetulnya “tidak menguntungkan", semisal pegawai rumah tangga, baby sitter, PSK, pelayan toko atau bar. Gaji yang mereka dapatkan pun, menurut ukuran negara tempat ia bekerja, sebetulnya terhitung kecil.

Sebetulnya, persoalan-persoalan yang menimpa buruh migran erat kaitannya dengan tanggung jawab negara selama ini, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab ekonomi dan pendidikan. Kebanyakan buruh migran adalah mereka yang secara ekonomi kurang mampu, di samping tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya, mereka hanya diterima disektor pekerjaan yang rendah. Harusnya, ketika negara tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap buruh migran, pemerintah menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan fasilitias pendidikan untuk rakyatnya. Dengan ini, minimal mereka yang bekerja di luar negeri mendapatkan pekerjaan yang layak, sbegaimana buruh negara –negara maju yang ada di Indonesia.

Akibat negara tidak mempu memberikan hak-hak dasar (ekonomi-sosial-budaya) kepada rakyatnya, banyak warga negara yang memilih menjadi buruh migran, mencari penghidupan di negara lain yang secara ekonomi mapan. Jadi, akar masalahnya sebetulnya ada pada negara kita sendiri yang tidak mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada warga negaranya. Padahal, tidak sedikit devisa yang dihasilkan buruh migran untuk negara ini.

Namun, yang sebetulnya lebih tragis lagi, ada satu hal yang hilang dari diri kita, yaitu harga diri sebagai bangsa. Selama ini, kita hanya menjadi budak di antara bangsa-bangsa lain. Ke depan kita butuh pemimpin yang bisa mengembalikan harga diri itu.

Selasa, 24 Februari 2009

PESTA DEMOCRAZY

SEBENTAR LAGI KITA MENGHADAPI “MUSIM PEMILU”: PEMILIHAN LEGISLATIF DAN PEMILIHAN PRESIDEN. SEPERTI BIASANYA, PADA MUSIM INI MATA KITA DISESAKI GAMBAR, POSTER, STIKER, BALIGHO “ORANG-ORANG GILA” (GILA JABATAN, GILA KEHORMATAN, GILA HARTA, DAN PENYAKIT GILA LAINNYA). TELINGA KITA JUGA DIJEJALI MIMPI, JANJI, DAN HARAPAN. SEMUANYA TERASA INDAH DAN MENGGODA.

NAMUN, SEPERTI BIASANYA――SETELAH MUSIM PEMILU BERLALU――MASYARAKAT AKAN KEMBALI TERSUNGKUR KE TANAH, YANG SEBELUMNYA DIANGKAT, DITINGGIKAN, DAN DIELU-ELUKAN. NASIB KITA TIDAK AKAN BERANJAK KE MANA-MANA. SEMENTARA MEREKA YANG ADA DI SANA, DI GEDUNG-GEDUNG MEWAH YANG LANTAI DAN TEMBOKNYA TIDAK BISA DISENTUH RAKYAT KECIL, TETAP TERSENYUM DAN BAHAGIA MELIHAT PENDERITAAN BANYAK ORANG, ORANG-ORANG YANG DULU MEMILIH DAN MENSUKSESKANNYA.

OLEH KARENA ITU, KOMUNITAS SENIMAN SANTRI (KSS) MENGAJAK DAN MENGHIMBAU KEPADA SELURUH LAPISAN MASYARAKAT PEMILIH UNTUK:

PERTAMA, SEBELUM KITA MENJATUHKAN PILIHAN POLITIK KITA, BUKA MATA HATI DAN MATA PIKIRAN KITA BAHWA SEORANG YANG LAYAK DISEBUT PEMIMPIN ADALAH MEREKA YANG “DIMINTA” (OLEH RAKYAT) BUKAN “MEMINTA” UNTUK MENJADI (CALON) PEMIMPIN.

KEDUA, TIDAK MEMILIH CALEG/CAPRES/CAWAPRES YANG TRACK RECORD-NYA BURUK, MELAKUKAN KORUPSI, TINDAKAN ASUSILA, DAN ATAU MELANGGAR HUKUM, APALAGI SUDAH TERUJI TIDAK BISA MENSEJAHTERAKAN RAKYAT.

KETIGA, JANGAN MUDAH TERTIPU JANJI-JANJI, HARAPAN ATAU IMPIAN, KLAIM-KLAIM POLITIK TERTENTU, JUGA YANG MENJADIKAN AGAMA SEBAGAI KENDARAAN DAN KOMODITAS POLITIK.

KEEMPAT, JANGAN MENERIMA SUAP/MONEY POLITICS DARI CALON/PARTAI APAPUN. APABILA ADA CALON /PARTAI YANG MELAKUKAN POLITIK UANG, MAKA WAJIB TIDAK DIPILIH, KARENA PERTANDA BURUK BAGI MASA DEPAN BANGSA DAN NEGARA.

KELIMA, MENGABAIKAN FATWA MUI YANG MENGHARAMKAN GOLPUT. GOLPUT MERUPAKAN “PILIHAN POLITIK” SEKALIGUS SEBAGAI ALTERNATIVE KETIKA TIDAK ADA SATUPUN PARTAI/CALON YANG DIANGGAP LAYAK UNTUK DIPILIH. DENGAN DEMIKIAN GOLPUT MERUPAKAN PILIHAN “WARAS” DI TENGAH KERUMUNAN DAN PROPAGANDA “ORANG-ORANG GILA”.


CIREBON, 20 PEBRUARI 2009