Sabtu, 29 September 2007

Myth and Meaning

Memaknai Mitos


“Asal segala sesuatu adalah air”, kata Thals, filsuf Yunani yang hidup sekitar 6 abad sebelum masehi. Mungkin, untuk saat ini, hipotesis Thals tidak menarik lagi untuk ditelusuri kebenarannya. Yang perlu kita catat adalah, bahwa pada saat itu Thals telah melampaui zamannya. Ia telah menggunakan pikirannya [baca: logos], meninggalkan jauh warisan-warisan mitologi yang kala itu mendominasi peradaban manusia. Dari sini mulai dipertentangkan antara mitos dan logos. Yang pertama “kebenarannya” sulit dimengerti dan dianggap tidak ilmiah, sedangkan yang kedua “kebenarannya’ dapat ditelusuri dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Disinilah awal perseteruan antara filsasafat dan mitos.

Orang sering membedakan antara mitos dan logos. Dua istilah ini sebenarnya hanya untuk membedakan antara hasil pemikiran primitif dan modern, antara yang rasional dan irasional. Padahal, keduanya sama-sama memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan manusia. Perbedaannya, yang pertama lebih didasarkan pada kepercayaan dan keyakinan, sedangkan yang kedua didasarkan pada proses penalaran dan bukti-bukti empiris.

Mitos dianggap sesuatu yang ilusif, tahayul, dan tidak memiliki makna. Pandangan seperti ini jamak kita temukan pada masyarakat modern. Implikasi pandangan seperti ini tidak sederhana. Manusia akan terjebak pada satu model pemikiran dan menolak pluralitas ‘kebenaran’. Manusia digiring pada satu aras pemikran tertentu yang justeru akan menjebaknya. Padahal kalau kita mau jujur bahwa “kebenaran” bisa datang dari mana saja, bergantung pada dasar pijakan proses berpikir kita.

Sebagai contoh klasik, bagi penganut empirisme, akal adalah tabula rasa. Ia ibarat kertas kosong yang ditulis oleh pengalaman-pengalaman kita. Sebaliknya, penganut idealisme menganggap bahwa pengalaman adalah copy dari ide-ide yang mengeram dalam alam bawah sadar kita. Perdebatan-perdebatan seperti itu terus mengalami dialektika dan perubahan seiring perkembangan pemikiran manusia. Sehingga tidak aneh apabila dalam filsafat muncul pelbagai aliran yang terkadang satu sama lain saling bertolak belakang, saling melengkapi dan saling mengisi kekurangan masing-masing. Tetapi kita tidak bisa mengklaim bahwa pemikiran/aliran tertentu benar dan yang lainnya salah.

Begitupun halnya dengan mitos. Tidak menutup kemungkinan bahwa mitos mengandung sebuah “kebenaran” yang sampai sekarang tidak terpecahkan oleh model pemikiran apapun. Bahkan kalau kita menerima kriteria Nietzsche bahwa “kebenaran” itu tidak ada, yang ada hanyalah penafsiran dan persepsi tentang dunia”. Artinya, bahwa yang selama ini kita lakukan hanyalah sebatas menafsiri dunia. Manusia hanya bisa merangkum lewat bahasa, sedangkan bahasa terlalu sederhana untuk merepresentasikan makna yang terdapat pada dunia. Menurut Nietzshe, klaim “kebenaran” adalah sia-sia dan “ilusi” belaka. Apalagi jika kita mereduksi “kebenaran” hanya pada akal (logos) semata.

Ini sebetulnya yang ingin dikatakan Claude Lévi-Strauss, Antropolog sekaligus bapak strukturalis, dalam bukunya “Myth and Meaning” (Mitos dan Makna). Buku kumpulan ceramah Lévi-Strauss ini mengungkapkan sekaligus membuktikan bahwa “mitos sesungguhnya punya logika dan kerumitannya sendiri yang baru bisa dibongkar justeru oleh sains modern”. Sebagai antropolog, Lévi-Strauss meneliti dan menelusuri kebudayaan-kebudayaan primitif, sekaligus meruntut kembali struktur yang membentuknya.

Selama ini kita menjauhi dan membelakangi peninggalan-peningalan kebudayaan primitif berupa mitos. Mitos seolah-olah hilang dari diri kita. Kita sudah beranjak jauh meninggalkan mitologi dan beralih pada pemikiran saintifik. Mitos dianggap tidak produktif dan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan, tuntutan dan kebutuhan manusia modern. Mitos sudah dimasukkan ke dalam museum kebudayaan layaknya barang antik. Padahal, menurut Lévi-Strauss, saat ini mitos kian mencoba mengintegrasikan dalam lingkup penjelasan saintifik.

Lévi-Strauss mengidentifikasi bahwa perpisahan riil antara mitos dan pemikiran saintifik mulai terjadi pada abad 17-18. Sebagai pioneer-nya adalah Bacon, Descartes, Newton, dll. Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan tokoh-tokoh ini mencoba melawan pemikiran-pemikiran mitis dan mistis, dan menganggap bahwa sains hanya bisa eksis dengan membelakangi jagat inderawi; dunia yang kita lihat, bau cercap, dan cerap. Indera adalah dunia yang delusif, sedangkan dunia nyata adalah dunia dengan ciri matematis yang hanya bisa ditangkap oleh akal dan yang sama sekali bertentangan dengan testimoni palsu indera. [hal. 4]

Tetapi sekarang, ketika lompatan sains semakin jauh, ada kecenderungan bahwa sains kian mendekati kesenjangan itu. Banyak data-data inderawi yang diintegrasikan kembali kedalam penjelasan ilmiah sebagai sesuatu yang mempunyai makna, punya “kebenaran”, dan bisa dijelaskan. Sebagai contoh adalah dunia pembauan. Kini ahli kimia bisa memberitahukan kepada kita bahwa setiap bau atau setiap rasa punya komposisi kimiawi tertentu. Mereka memberikan alasan mengapa secara subjektif beberapa rasa atau bau terasa ada kesamaannya bagi kita dan beberapa lainnya terlihat sangat jauh.

Kita bisa melihat bahwa sesuatu yang sebelumnya ditolak sains secara berangsur-angsur mulai mendekati/bisa dijelaskan oleh sains itu sendiri, seperti yang kita lihat pada contoh di atas. Begitupun halnya dengan pemikiran mitis atau mistis. Lama-kelamaan misteri yang terkandung di dalam pemikiran mitologis akan terkuak berkat pemikiran saintifik.

Memang, selama ini kita sudah ketelanjur mengatakan bahwa cara berpikir orang-orang primitif sebagai model pemikiran berkualitas rendah atau suatu jenis pemikiran yang secara fundamental berbeda. Malinowski, misalnya, mengatakan bahwa pemikiran orang-orang primitif sangat ditentukan oleh kebutuhan mereka pada saat itu. Sedangkan Levy-Bruhl menganggap bahwa perbedaan antara pemikiran primitif dengan pemikiran modern adalah bahwa yang pertama sepenuhnya ditentukan oleh emosi dan representasi-representasi mistik.

Anggapan-anggapan di atas ditolak oleh Lévi-Strauss. Sebetulnya Lévi-Strauss sendiri enggan menggunakan kata “primitif”. Ia lebih suka menyebutnya “nir aksara”. Perbedaan dalam penggunaan istilah jelas akan memengaruhi citra yang ditampakkan. Kata “primitif” akan berimplikasi merendahkan daripada kata “nir aksara”. Menurutnya, bahwa pemikiran-pemikiran primitif pada satu sisi tidak harus terkait dengan kebutuhan, dan pada sisi yang lain bisa bersifat intelektual. Artinya, pemikiran-pemikiran primitif tidak harus muncul karena didorong kebutuhan dasar mereka, seperti menghindari kelaparan, berjuang demi untuk bertahan hidup ditengah kekutan alam yang begitu dahsyat. Orang-orang “nir aksara” juga memiliki hasrat untuk memahami dunia seputar mereka, alam dan masyarakatnya. Dan untuk mencapai tujuan-tujuan itu dibutuhkan kerja intelektual.

Menurut Lévi-Strauss, perbedaan mendasar antara pemikiran primitif dengan pemikiran saintifik terletak pada prosedur dan tujuan pemikiran yang dihaslkan keduanya. Yang pertama cenderung bertujuan mencapai sesingkat mungkin untuk memperoleh pemahaman umum tentang alam semesta. Pemikiran primitif berambisi totalitas dalam mengetahui sesuatu. Ini sangat berbeda dengan pemikiran saintifik yang berproses setapak demi setapak, mencoba memberikan penjelasan pada fenomena secara terbatas, lantas memasuki fenomena yang lain dan seterusnya. Sehingga hasil yang diperoleh pun berbeda. lewat penalaran saintifik kita mampu menundukkan alam, memberikan banyak daya material kepada manusia. Sedangkan mitos hanya mampu memberikan manusia sebuah ilusi bahwa ia bisa memahami semesta dan sungguh-sungguh memahaminya, meskipun hanya ilusi.

Kendatipun secara fundamental kedua model pemikiran itu berbeda, namun bukan berarti bahwa kapasitas mental yang dimiliki orang-orang nir aksara dan modern berbeda. Setiap orang, kata Lévi-Strauss, memiliki kadar mental yang sama. Hanya penggunaannya saja yang berbeda. Orang-orang nir aksara punya pengetahuan yang luar biasa ihwal lingkungan mereka dan segenap sumber dayanya. Ini tidak dimilii oleh kita. Tetapi sekarang kita bisa mengendarai mobil, menonton televisi atau mendengarkan radio yang tentunya tidak dimiliki oleh masyarakat nir aksara. Karena itu, semua kembali pada penggunaan dan latihan kapasitas mental. Kalau saja orang-orang nir aksara memiliki tuntutan dan kebutuhan yang sama dengan kita niscaya mereka juga akan sama dengan kita. Hanya saja kebutuhan mereka berbeda sehingga kapasitas mental yang digunakannya pun berbeda.

Yang perlu kita waspadai sekarang adalah menjalarnya penyakit yang oleh Lévi-Strauss dinamakan “over komunikasi”, yakni sebuah penyakit keingintahuan secara pasti budaya apa saja yang ada di dunia lain sembari mengkonsumsi budaya itu secara mentah-mentah. Sehingga masyarakat yang terjangkit penyakit ini akan kehilangan orisinilitas budayanya. Padahal, menurut Lévi-Strauss, agar semua budaya benar-benar menjadi dirinya sendiri dan menghasilkan sesuatu, maka budaya tersebut dan anggotanya harus yakin akan orisinilitasnya, bahkan sampai taraf tertentu, akan superioritasnya di atas yang lain.

Perkawinan Mitos dan Pemikiran Saintifik
Nah, sekarang kita beralih pada korelasi antara mitos dan saintifik. Dalam buku ini, Lévi-Strauss mencomot sebuah mitos Kanada Barat tentang ikan pari yang berhasil menaklukkan atau mendominasi Angin Selatan. Konon, kisah ini terjadi sebelum ada manusia di muka bumi ini. Pada masa itu antara manusia dan hewan tidak sepenuhnya berbeda. Makhluk hidup adalah separuh hewan dan separuhnya lagi manusia; “menusia-hewan”. Saat itu manusia-hewan sangat terganggu oleh kehadiran angin yang selalu berhembus setiap hari. Sehingga mereka tidak bisa beraktivitas seperti mencari makan, memancing ikan, dll. Dalam kondisi seperti ini ikan pari turut andil. ia menangkap angin dan berjanji untuk tidak melepaskannya sebelum angin itu berjanji untuk tidak berhembus sepanjang hari. Angin menuruti permintaan ikan pari, sehingga ia hanya berhembus pada waktu-waktu tertentu saja dan dalam waktu senggang itu hewan-manusia bisa menjalankan aktivitasnya tanpa ada hambatan dari angin.

Dari sudut pandang logika saintifik, mitos di atas jelas-jelas absurd, tidak masuk akal, dan hanya ilusi belaka. Tetapi kita tidak hendak memakan mentah-mentah makna mitos itu. Mari kita telusuri bahan-bahan yang digunakan dalam mitos itu. Mengapa ikan pari? Dan mengapa angin selatan? Ada dua karakteristik yang dimiliki ikan pari. Pertama, ia adalah ikan sebagaimana ikan-ikan ceper lainnya. Ia memiliki perut licin dan punggung kasar. Kedua, yang memungkinkan pari lolos saat berkelahi dengan hewan lainnya adalah tubuhnya sangat lebar bila dipandang dari atas atau bawah, dan luar biasa tipis ketika dipandang dari samping. Dan ketika busur panah dibidikkan persis ke arahnya, seketika itu pari menggelesot dan yang tampil hanya profilnya saja.

Maka, sebagai alasan mengapa harus ikan pari yang digunakan dalam mitos ini adalah bahwa hewan ini mampu memberikan jawaban “ya” atau “tidak”, seperti yang biasa digunakan dalam istilah sibernetika. Ikan pari mampu berada dalam posisi berseberangan; negatif dan positif. Manfaat yang dibubuhkan dalam mitos ini sama seperti unsur-unsur dalam komputer modern yang biasa digunakan untuk memecahkan permasalahn sulit dengan menambahkan serangkaian jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Kendatipun dari sudut pandang empiris bahwa ikan pari bisa menundukkan angin jelas-jelas mustahil. Tetapi, kata Lévi-Strauss, dari sudut pandang logis, kita bisa memahami mengapa imaji-imaji yang dipinjam dari pengalaman itu bisa dimanfaatkan. Ikan ini bertindak sebagai “operator biner” yang mempunyai hubungan dengan problematika yang juga problematika biner. Jika saban hari angin berhembus niscaya manusia tidak akan bisa menjalankan aktivitasnya. Namun jika ia berhembus dua kali dalam sehari---“ya” dalam sehari, “tidak” pada hari kemudian---maka dimungkinkan ada kompromi antara kebutuhan manusia dan kondisi alam yang dihadapinya. [hal 21-22]

Secara harfiah kisah itu tidak mungkin ada. Tetapi, kita bisa memaknai mitos itu bukan dalam arti harfiahnya. Setidaknya ada keterkaitan erat antara ikan pari dan masalah yang berusaha dipecahkan oleh mitos ini. Misteri yang terbungkus dalam mitos ini baru bisa kita pecahkan setelah kita memasuki era sibernetika dan komputer yang memberikan kita pemahaman tentang operasi biner. Maka, sebetulnya tidak ada perceraian antara pemikiran mitis dengan pemikiran saintifik. Perbedaannya hanya pada soal waktu.

Dalam bab “Bibir Sumbing dan Anak Kembar: Mitos Terbelah Dua”, Lévi-Strauss juga mencoba mencari keterkaitan antara mitos bibir sumbing, anak kembar, dan anak yang lahir sungsang [lahir kaki terlebih dahulu]. Setelah Lévi-Strauss meneliti pelbagai mitos yang tersebar di kalangan masyarakat nir aksara, ternyata ada semacam keserupaan antara bibir sumbing, anak kembar, dan orang yang lahir sungsang. Untuk itu, mari kita bandingkan beberapa mitos yang berkembang di Benua Amerika.

Diantara suku Tupinamba (Indian kuno, pesisir Brazil), sama persis yang ada pada kalangan Indian Peru, ada sebuah mitos seorang wanita yang digoda oleh lelaki miskin dengan cara licik. Wanita itu melahirkan anak kembar; yang satu dari benih lelaki miskin, dan satunya lagi dari benih suaminya yang sah. Karena berasal dari benih yang berbeda, sifat kedua anak kembaran itupun berbeda; yang satu pemberani, satunya lagi pengecut; yang satu pelindung kaum Indian, satunya lagi pelindung kulit putih, dan seterusnya.

Mitos serupa berkembang di kalangan suku Kootenay yang tinggal di Pegunungan Rocky, Kanada. Cuma kembaran dalam versi ini terlahir dari satu benih, yang satu jadi mentari, sedangkan satunya lagi jadi rembulan. Sedangkan mitos yang berkembang di antara orang Indian British Columbia dari rumpun linguistik Salish (suku Indian Thomson dan Okanaga) adalah ada dua perempuan kakak-beradik yang keduanya sama-sama dikelabui oleh dua lelaki yang berbeda. Masing-masing melahirkan anak laki-laki. Kedua anak ini tidak kembar karena lahir dari ibu yang berbeda. Namun, karena dilahirkan dalam situasi yang sama, setidaknya dari sudut pandang moral dan psikologis, sehingga setara dengan anak kembar.

Dari sekian mitos-mitos yang disebutkan tadi, kesemuanya akan menuju pada ending yang sama. Anak kembar atau yang diyakini kembar, seperti dalam versi Kootenay, akan mengalami petualangan dan sifat-sifat berbeda yang nantinya akan membelah sisi kembar mereka. Dan perbedaan antara dua pribadi yang awalnya dihadirkan sebagai kembaran ini, entah benar-benar kembar atau ekuivalen dengan kembar, adalah ciri dasar seluruh mitos yang berkembang di benua Amerika.

Anak kembar juga sering diidentikkan dengan orang yang berbibir sumbing dan yang lahir sungsang. Dalam mitos versi Salish, yang sebagian sudah disebutkan di atas, bahwa ada dua perempuan bersaudara yang mencari suami. Neneknya memberitahukan bahwa mereka akan menemukan suaminya dengan ciri-ciri tertentu. Namun, ditengah perjalanan kedua perempuan tadi bertemu dengan dua Penyaru yang mengakui sebagai suaminya. Sehingga mereka berdua menghabiskan malam bersama dengan kedua Penyaru tadi yang sebetulnya bukan suaminya. Pada akhirnya masing-masing melahirkan anak lelaki.

Keesokan harinya, sang kakak dari kedua perempuan naas itu pulang dan menemui neneknya. Sang nenek adalah seekor kambing gunung sekaligus seorang penyihir. Neneknya tahu bahwa cucuknya akan datang, sehingga dia menyuruh seekor terwelu untuk menyambut kedatangan sang gadis. Terwelu sembunyi di bawah sebuah batang pohon yang tumbang di tengah jalan. Ketika sang gadis mengangkat kaki untuk menyeberangi kayu tadi, terwelu itu melihat kemaluan sang gadis dan melontarkan sejenis gurauan yang tidak pantas. Sang gadis marah dan memukul terwelu tadi dengan galah sehingga hidungnya robek. Itu sebabnya kelinci atau terwelu memiliki hidung dan bibir agak terbeleh, yang pada manusia disebut sumbing. Dengan kata lain, bahwa gadis telah membelah tubuh hewan itu. Sehingga bila pembelahan itu sampai selesai maka akan mengubah hewan itu menjadi kembar.

Selanjutnya ada juga mitos yang berkembang di Indian Kwakiutl, kepulauan Vancouver. Mitos ini bercerita tentang gadis cilik yang dibenci semua orang karena bibirnya sumbing. Suatu ketika muncul wanita kanibal supranatural dan menculik semua anak-anak termasuk gadis cilik berbibir sumbing. Anak-anak itu dimasukkan ke dalam keranjang untuk dibawa pulang dan dimakan. Si gadis cilik berbibir sumbing berada di posisi paling bawah dan berhasil membelah keranjang dengan kerang yang ia kumpulkan di pantai. Gadis sumbing itulah yang pertama kali kabur. Dia keluar kaki terlebih dahulu.

Posisi gadis sumbing ini cukup simetris dengan posisi terwelu dalam mitos yang tadi disebutkan---meringgkuk di bawah si gadis saat sembunyi di bawah batang kayu. Dalam hal ini terwelu tersebut berada dalam posisi yang sama persis seperti sedang terlahir dari si gadis dan yang keluar kaki terlebih dahulu. Jadi, kita bisa melihat bahwa dalam semua mitologi ini ada kaitan aktual antara anak kembar di satu sisi dengan lahir sungsang atau posisi-posisi yang secara metaforis identik dengannya disis lain. Hal ini jelas menjernihkan kaitan awal kita tadi tentang hubungan antara anak kembar, orang yang lahir sungsang, dan orang yang berbibir sumbing.

Dan dalam proses kelahiran pun, ada kaitan erat antara anak kembar dan yang lahir sungsang. Dalam rahim sang ibu, anak kembar seakan-akan bertarung siapa diantara mereka yang akan lahir terlebih dahulu. Keduanya saling beradu cepat, dan tidak jarang salah satunya mengambil jalan pintas dengan merobek perut ibu (operasi caesar, misalnya). Maka, baik anak kembar maupun kehamilan sungsang merupakan tanda persalinan berbahaya. Begitu pun halnya dengan terwelu [yang dalam hal ini sering diidentikkan dengan anak kembar]. Dalam semua mitologi yang berkembang di Amerika, terwelu dianggap sebagai dewa yang memiliki watak ambigu: a) sesosok dewa tunggal yang murah hati pada manusia; dan b) kembaran, yang satu baik dan satunya jahat.

Pada bab 4 [empat], Lévi-Strauss menjelaskan proses transformasi mitos menjadi sejarah, dan pada tataran tertentu justeru sejarah telah menggantikan peranan dan fungsi mitos.

Seperti yang dikatakan Lévi-Strauss dalam buku ini bahwa bahan-bahan mitologi yang berkembang di seluruh penjuru dunia mengambil dua bentuk. Pertama, berupa cerita yang utuh dan koheren. Dan kedua, berupa penggalan-penggalan cerita yang tidak bersambung. Keduanya memiliki makna yang berbeda: yang pertama merupakan kondisi primitif [kondisi awal], sedangkan yang kedua sudah mengalami keretakan atau disorganisasi. Atau sebaliknya, yang tak bersambung merupakan kondisi awal, kemudian diurutkan oleh orang-orang cerdik dan pandai.

Bahan-bahan mitologi yang sampai kepada kita adakalanya disusun oleh orang sendiri [pribumi] dan adakalnya disusun oleh orang luar [antropolog]. dan belakangan keduanya menjadi sejarah, sejarah tanpa arsip, tak ada dokumen-dokumen tertulis, hanya tradisi lisan yang kemudian diklaim sebagai sejarah.

Lantas, apakah ada perbedaan bahan mitologi yang disampaikan orang luar dan orang dalam? Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa setiap klan atau kelompok memiliki sejarah [mitos], tujuan dan watak yang berbeda-beda. Dan terkadang data-data yang dikumpulkan antropolog justeru menyesatkan. Mereka membuat semacam gado-gado yang disusun dari tradisi dan kepercayaan milik banyak kelompok sosial yang berbeda-beda.

Dan pada akhir buku ini dijelaskan titk kesamaan antara mitos dan musik. Sebagai bagian dari kebudayaan modern, musik memiliki kesamaan dengan mitos, baik dari sisi similaritas maupun kontiguitas. Dari aspek semiliritas, keduanya tidak bisa dipahami kecuali secara totalitas. Memahami musik tidak seperti membaca buku, novel ataupun berita dalam koran; yakni dari atas ke bawah, kiri ke kanan, dari paragraf ke paragraf yang lain. Makna musik akan bisa didapatkan setelah kita mendengarkan secara totalitas dan utuh. Demikian pula dengan mitos. Mustahil kita memahami mitos sebagai sekuens yang runut. Makna mitos hanya akan bisa kita temukan pada bundelan peristiwa, sekalipun peristiwa-peristiwa itu tampil pada saat yang berbeda-beda.


***

Yang jelas, Lévi-Strauss tidak hendak mengajak kita untuk mundur kebelakang, mempercayai kembali mitos-mitos warisan peradaban nir aksara. Lévi-Strauss hanya ingin membuktikan bahwa mitos, dalam aras tertentu, memiliki nilai “kebenaran”. Dan justeru “kebenaran” mitos bisa diungkapkan ketika pemikiran saintifik memperoleh kematangannya. Secara tidak langsung, Lévi-Strauss hendak menggugat “mitos” yang diusung pemikiran positivistik yang menganggap bahwa “kebenaran” hanya bisa bermakna apabila sesuai dengan pengamatan-pengamatan secara empiris [observasi]. Padahal tidak demikian, kata Lévi-Strauss, bahwa “kebenaran” memiliki masanya sendiri-sendiri, diproduksi oleh zamannya, dan bagian dari kebudayaan pada saat itu.

Sebagai penganut setrukturalis, Lévi-Strauss banyak dipengaruhi oleh Ferdinan de Saussure, seorang pakar bahasa dan semiotika. Lévi-Strauss memandang mitos sebagai teks atau sistem tanda yang menghasilkan makna. Makna-makna itu ditemukan lewat susunan simbolik antara petanda dan penanda. Artinya, bahwa makna [petanda] yang direpresentasikan mitos [penanda] tidak harus merujuk pada realitas.

Yang menarik dari buku ini adalah ajakannya untuk memikirkan kembali sesuatu yang terkadang sudah kita tinggalkan dan kita lupakan, memaknai kembali sesuatu yang selama ini sudah kita anggap tidak bermakna lagi. Saya menangkap dari buku ini berupa ajakan Lévi-Strauss untuk tidak terpaku pada satu sistem pemikiran. Karena kalau kita hanya terpaku pada satu sistem maka jangan harap kita akan menemukan makna yang utuh dan holistik. Lévi-Strauss juga berusaha untuk merangkai dan mencari keteraturan dibalik penampakan yang semerawut dan tidak beraturan. Ia mengaitkan satu fenomena dengan fenomena yang lain, dan berusaha mencari titik temunya. Dan lepas dari kekurangan yang terdapat pada buku ini, buku ini layak untuk dibaca terutama bagi mereka yang terlalu “mendewakan” satu sistem pemikiran.

Kamis, 27 September 2007

Sejarah Hukum Poligami




Oleh Jamaluddin Mohammad

Akhir-akhr ini wacana tentang poligami kembali menyeruak. Ini terkait dengan rencana pemerintah SBY merevisi Peraturan Pemerintah (PP) no 45/1990 tentang izin perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta Pejabat Negara. Pemerintah juga bertekad memperketat aturan mengenai poligami bagi masyarakat luas.

Karena itu, sebelum poligami jadi/tidak jadi diundang-undangkan, alangkah baiknya kita menengok kembali sejarah hukum poligami pada masa Nabi-Nabi. Ini penting, sebab sejarah hukum selalu terkait dengan kondisi sosio-kultur masyarakat pada zamannya. Seperti yang dikatakan kaidah fiqh, “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wuhudan wa ‘adaman” (keberadaan hukum selalu terkait dengan illat [sebab] yang melatarbelakanginya).

Ketentuan seperti ini berlaku pada setiap hukum (syariat). Dinamika hukum selalu berjalin-kelindan dengan gerak sejarah yang terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah hukum poligami. Setiap Nabi memiliki perspektif sendiri-sendiri dalam memandang poligami.

Sejarah hukum poligami
Menurut Ibnu Abdu al-Salam (Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, juz II hal. 93), syariat Nabi Musa (alaihi al-salam) tidak melarang laki-laki beristeri lebih dari satu. Bahkan, pada waktu itu, laki-laki sangat dianjurkan berpoligami. Ini terkait dengan jumlah laki-laki yang sedikit dibanding populasi perempuan yang terus meningkat. Sebagaimana yang diceritakan al-Qur’an, Fir’aun, penguasa pada saat itu, melakukan pembunuhan besar-besaran setiap bayi laki-laki yang lahir, sementara bayi perempuan terus dibiarkan hidup. (QS al-Baqarah [02]: 49)

Era “kebebasan” laki-laki berakhir pada masa kenabian Isa (alaihi al-salam). Syariat Isa hanya membolehkan monogami. Konon, ketentuan seperti ini berpulang pada sosok Nabi Isa sendiri. Seperti yang kita ketahui, Nabi Isa terlahir dari rahim wanita yang sepanjang hidupnya tidak pernah bersuami. Dalam kandungan Maryam—ibu Isa—tiba-tiba terdapat janin tanpa diketahui asal- muasalnya.

Dalam hal ini, Isa adalah aseli produk wanita: proses pembuahan janin Isa tanpa ada campuran sperma laki-laki dan ovum wanita. Maryam adalah asal dari Isa. Nah, sebagai bentuk “penghormatan” terhadap asal, maka laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari satu.

Berbeda dengan syariat Nabi Musa yang terlalu ekstrim dalam membebaskan poligami, dan Nabi Isa yang hanya membolehkan monogami, syariat Nabi Muhammad mengambil posisi tengah-tengah, sebagai sintesis dari syariat Musa dan Isa.

Nabi Muhammad SAW membolehkan laki-laki beristeri maksimal empat (QS an-Nisa [4]: 03). Bahkan Nabi SAW sendiri memiliki sembilan istri dari lima belas wanita yang pernah dikawininya.

Kendatiun demikian, syariat Nabi Muhammad SAW juga terkait dengan kondisi sosio-kultur msyarakat Arab waktu itu. Dalam tradisi Arab, tidak ada batasan bagi laki-laki untuk mengawini perempuan. Bahkan, pada waktu itu, posisi perempuan sangat direndahkan. Batasan empat yang diberikan al-Quran dalam rangka mengangkat harkat-martabat perempuan yang direndahkan itu. Namun, model perubahan yang dipilih al-Qur’an adalah halus (soft) dan bertahap (al-tajrid). Dan ini ciri dari syariat Nabi Muhammad SAW.

Yang perlu ditekankan di sini, seperti yang dikatakan Khudlori Bek dalam “Tarikh al-Tasyri’ al-Islami”, bahwa poligami bukanlah pokok syariat yang bersifat pasti (laisa ta’addudu al-zaujaat min al-sya’aair al-asasiyyah allati labudda minha). Sejatinya, yang berhak menentukan boleh-tidaknya poligami adalah manusia, tentunya dengan bertitik-tolak pada realitas sosio-kultur yang berlaku di masyarakatnya.

Disamping itu, kita juga harus mempertimbangkan alasan serta tujuan dari nikah itu sendiri, agar tidak terjadi kesilap-pahaman dalam memahami poligami. Menurut para ulama, tujuan nikah ada tiga (maqasid al-nikah tsalasah): pertama, menjaga keturunan/fungsi reproduksi (hifdzu al-nasal); kedua, mendistribusikan sperma yang apabila terus ditimbun dalam tubuh maka akan membahayakan (ikhraj al-ma’ alladzi yadurru ihtibasuhu fi al-badan); dan ketiga, menyalurkan kebutuhan biologis, rekreasi (nailu al-ladzzat). (Abi Bakr bin Syato’, Ianah al-Tholibin, hal 295 juz III).

Nikah hanyalah sarana (wasail) untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Jika tujuan itu bisa diperoleh dengan monogami, maka mengapa harus berpoligami? Sayangnya, seringkali kita terjebak pada “sarana”, melupakan tujuan. Sehingga terlepas dari cita-cita nikah yang diinginkan al-Qur’an, yakni taskunuu ilayha (keharmonisan dalam rumah tangga) dan mawaddah wa rahmah (kasih sayang). (QS al-Rum [30]: 21)

penutup
saya kira, pemerintah harus melakukan survai dan penelitian terlebih dahulu sebelum menetapkan UUAP (Undang-Undang Anti Poligami). Biarkan realitas berbicara sendiri. Saya kira masyarakat lebih arif dan bijak dalam melihat persoalan. Masyarakat memilki pengetahuan berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Ini yang tidak dibaca oleh pemerintah. Seolah-seolah pemerintah lebih tahu dan lebih berhak menentukan “apa yang terbaik” buat rakyatnya, tanpa berpijak pada kondisi objektif rakyat itu sendiri. Wallahu a’lam bi sawab

Pendidikan Multikulturalisme




Oleh Jamaluddin Mohammad

Agar semua budaya benar-benar menjadi dirinya sendiri dan menghasilkan sesuatu, maka budaya tersebut dan anggotanya harus yakin akan orisinilitasnya, bahkan sampai taraf tertentu, akan superioritasnya di atas yang lain.
(Claude Lévi-Strauss)


Di tengah derasnya arus globalisasi yang menggerus budaya-budaya lokal, tantangan yang nyata dan sesungguhnya adalah bagaimana kita harus menyelamatkan identitas kebudayaan kita yang secara berangsur-angsur mulai tercerabut dari akarnya. Kita dihadapkan pada “krisis kebudayaan” yang kemudian disusul dengan krisis-krisis yang lain.

Pendidikan, sebagai pilar dan pondasi kebudayaan, kini sudah kehilangan fungsi fundamentalnya. Tugas serta fungsi pendidikan yang seharusnya melakukan kerja-kerja kebudayaan, mencipta dan mengisi kehidupan, malah tenggelam dan larut dalam tuntutan globalisasi yang memapankan budaya kapitalistik.

Salah satu sifat buruk kapitalisme adalah wataknya yang eksploitatif. Ini tidak hanya berlaku bagi majikan terhadap buruh, juga berlaku bagi institusi pendidikan terhadap siswa-siswanya. Hal ini bisa dilihat dari mahalnya biaya pendidikan, kurikulum-kurikulum pendidikan yang dipaksakan, dan orientasi dunia pendidikan yang hanya menyiapkan “buruh-buruh” baru untuk dipekerjakan pada lahan-lahan tertentu. Sehingga, untuk mengukur seberapa jauh kualitas pendididkan sekarang, kita melihat dari sejauh mana ia dapat menciptakan pekerja-pekerja yang handal dan memiliki kemampuan dan keterampilan dibidang-bidang tertentu.

Para siswa sudah dikapling-kapling oleh silabi yang menjadi konsumsi mereka sehari-hari. Sehingga watak pendidikan kita tidak lagi membebaskan. Pendidikan hanya menjadikan kita terasing dari dunia kita sendiri. Kita dituntut untuk mengikuti budaya global yang menyeragamkan segala tingkah laku, pola pikir, pengetahuan, dan kebutuhan manusia. Ini sebetulnya cikal-bakal krisis kebudayaan kita.

Krisis kebudayaan berurat-berakar pada krisis identitas. Kita sebetulnya tidak memiliki identitas yang jelas semenjak kolonialisme-imperialisme menginjakkan kaki di negara kita. Kolonialisme-imperialisme dalam bentuk fisik memang sudah terkubur dalam kubangan sejarah. Namun, jejak-jejaknya masih bisa kita rasakan sampai sekarang, dan itu masuk dalam alam bawah sadar kita.

Bahkan, kalu kita mau jujur, kolonialime-imperialisme sebetulnya masih berlanjut sampai sekarang melalui penaklukan pikiran, budaya, ekonomi, bahkan politik. Dan justeru bahaya paling serius yang dihadapi bangsa-bangsa saat ini adalah imperialisme kultural yang tengah berlangsung sampai sekarang itu. Imperialisme kultural, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi atas kebudayaannya sendiri, sehingga kita tercerabut dari akarnya. (Shimogaki, 2004:98)

Neo kolonialisme-imperialisme itu kemudian menemukan momentumnya dalam dunia pendidikan yang merangkum ide-ide modernisme, liberalisme dan pencerahan. Pusat orbitnya memancar dari pusat ke pinggiran. Semakin kita mendekati titik orbit, maka kita semakin modern dan maju. Artinya, kalau kita ingin maju maka harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pusat. Ini yang saya maksud dengan krisis identitas itu. Akibatnya, kita kehilangan kepercayaan diri prihal masa depan dan ide tentang kemajuan. Mentalitas kita sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga kita tidak mampu lagi mengenali jati diri yang sebenarnya. Subjek kita adalah subjek buatan yang dibentuk semenjak kita masuk bangku sekolah.

Pesantren: pendidikan multikulturalisme

Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren dituntut untuk tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, Pesantren [khususnya pesantren salaf] tidak harus melebur ke dalam arus globalisasi dan tuntutan-tuntutan modernitas. Biarkan ia menciptakan kebudayaannya sendiri yang memiliki dinamika, corak, ciri khas, dan paradigma “kemajuan” sendiri.

Identitas pesantren tidak bisa dinilai dan didefinisikan oleh “orang luar”, biarkan ia mendefinisikan identitasnya sendiri. Selama ini pesantren selalu “dipandang”, maka untuk saat ini dan seterusnya biarkan ia “balik memandang”. Pesantren adalah ciri pendidikan Indonesia yang bercorak keindonesiaan (indigenous). Ketika pesantren di-modern-kan dan kurikulumnya disesuaikan dengan pendidikan formal, indigenous pesantren akan hilang dan tidak memiliki nilai tawar lagi di mata dunia internasional. Akibatnya, kita tidak bisa membedakan: mana pendidikan pesantren dan pendidikan nonpesantren; pendidikan nonkapitalistik dan yang bercorak kapitalistik; produk “aseli Indonesia” dan “bikinan luar negeri”.

Selama ini “citra diri” pesantren dibentuk dan ditampilkan berdasarkan kesadaran “orang lain” itu. Pesantren diobjektivasi layaknya situs-situs peninggalan purba. Adanya kategori-kategori yang dilekatkan pada pesantren, seperti tradisional atau modern adalah contoh nyata hasil dari pembentukan “citra diri” itu. Pesantren dianggap “primitif”, terbelakang, dan masih akrab dengan mitos, tahayul, khurafat, dll (irasional), sehingga perlu dicerahkan dengan memasukkan keilmuan modern yang berpondasikan pada rasionalisme, empirisme, dan berbau positivisme. Dengan ini, pesantren akan mampu beradaptasi dengan modernitas sekaligus mampu bersaing dengan lembaga pendidikan modern.

Padahal, untuk saat ini kita butuh model pendidikan multikulturalisme, yakni pendidikan yang dihasilkan dari wacana lokal dan rasionalitas lokal yang selama ini sudah menjadi custom atau tradisi pesantren. Pesantren memiliki paradigma tersendiri tentang kemajuan. Bagi pesantren, kemajuan haruslah bertitik tolak dari tradisi agar tidak mengalami keterputusan sejarah. Salah satu prinsip yang dipegang pesantren sampai sekarang adalah: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah

Penutup

Di tengah maraknya tuntutan biaya pendidikan murah, pesantren sebetulnya sudah memulai melakukannya sedari awal terbentuknya lembaga ini. Namun, pendidikan murah saja tidak cukup tanpa disertai perubahan paradigma dan orientasi pendidikan. Sebab, selama ini paradigma “kemajuan” yang kita miliki bukan datang dari diri kita sendiri, melainkan berasal dari kebudayaan Barat. Mentalitas kita adalah mentalitas “budak” yang menuruti apa kata “majikan”. Kita tidak pernah memiliki inisiatif untuk “maju” dan “berubah” karena “kemajuan” dan “perubahan” itu milik “sang majikan”.

Orientasi pendidikan kita pun lebih berpihak pada pasar (market oriented). Pengetahuan dan keilmuan dipahami sebagai “komoditas” yang terus direproduksi demi kepentingan dan kemauan pasar. Ini adalah ciri pendidikan kapitalistik. Ciri seperti ini jamak kita temukan dalam setiap intitusi pendidikan dari mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dan sudah mulai merasuk ke institusi pendidikan pesantren (pesantren modern).

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan krisis identitas kebudayaan kita, yang kemudian berujung pada melemahnya peran serta fungsi institusi pendidikan, adalah dengan kembali pada tradisi kita sendiri (wisdom lokal). Dengan bertitik tolak pada tradisi, minimal kita bisa menawarkan jalan tengah (the third way) antara globalisme dan tribalisme; universalisme dan lokalisme; totalisme dan partikularisme.

Kita harus yakin sekaligus bisa meyakinkan bahwa tradisi kita pun mampu melakukan perombakan, perubahan, dan perbaikan umat manusia. Maka, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, tugas pertama kita adalah melokalisasi Barat, mengembalikan pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos “mendunia”, yang selama ini dibangun melalui upaya menjadikan dirinya sebagai “pusat peradaban dunia” dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai “paradigma” kemajuan bagi bangsa-bangsa lain.

Majalah LaDuni, No 01/April 2007

Teologi Gempa Bumi

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Sesunggunhnya akan Kami (Allah SWT.) berikan cobaan kepada kalian semua dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yakni) Orang-orang yang ketika tertimpa oleh musibah maka akan berkata: “ Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya” (QS 2:155-156)

Masih mengendap dalam memori otak kita betapa gempa berkekuatan besar dan badai tsunami mengguncang, meluluhlantakkan dan menyapu bersih bangunan, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan yang ada di Aceh dan Sumatra Utara (26/30/’04). Kini, gempa bumi kembali mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah (27/05/'06). Dalam waktu sekejap, ratusan ribu nyawa melayang, bangunan-bangunan roboh dan hancur berkeping-keping.

Sebagai orang awam, saya tidak mengerti mengapa Tuhan menjatuhkan bencana alam kepada manusia? Kenapa harus bangsa Indonesia yang harus menanggung musibah ini? Dosa apalagi yang dilakukan bangsa ini sehingga Tuhan tega timpakan bencana yang maha dahsyat? Ataukah ini sebagai manifestasi dari Kasih dan Sayang-Nya? Aku semakin bingung dan tidak mengerti maksud-Mu, Tuhan!

Andai aku seperti Nabi Musa, mungkin aku akan langsung bertandang ke gunung Sinai, meminta jadwal pertemuan dengan Tuhan, lantas bertanya langsung kepada-Nya: “Kenapa Kau jatuhkan musibah ini, ya Rabb?”. Atau jika aku jadi Nabi Muhammad, aku akan minta di Mi’raj kan yang kedua kalinya, meminta klarifikasi dan menanyakan kepada-Nya prihal musibah ini. Tapi, aku bukanlah seorang Nabi atau Rasul. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak punya kuasa untuk itu. Aku tidak bisa berkomunikasi langsung dengan creator-ku, apalagi menanyakan langsung kepada-Nya. Jika aku bertanya kepada manusia, niscaya mereka akan menjawab berdasarkan asumsi dan interpretasinya sendiri. Aku semakin tidak puas!

Namun, kendatipun demikian, akal manusia setidaknya bisa memahami— sejauh kemampuan akal setiap gejala yang terjadi di alam ini. Karena Tuhan sudah memberikan sunnatullah-Nya (hukum alam) kepada manusia untuk diketahui, dipahami, dipelajari, dan selanjutnya ditundukkan guna kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan di dunia ini. Kosmos adalah teka-teki sekaligus misteri Tuhan yang harus dipecahkan oleh manusia.

Dalam QS. 02 [Al-baqarah]: 164, Allah SWT. menegaskan bahwa semesta alam (kosmos) adalah “ayat-ayat-Nya” yang diperlihatkan kepada manusia. Dia ingin menunjukkan eksistensinya pada manusia lewat sebuah “tanda” (sign), sebagai petunjuk atas adanya “Penanda” (yang menandai). Karena itu, Tuhan menciptakan alam agar eksistensinya dapat diketahui oleh manusia. Seorang sufi dari Persia, Ibnu Arabi, menyebut bahwa alam adalah "cermin" sekaligus "bayangan" Tuhan. Lewat alam ini, Tuhan sebetulnya ingin memperlihatkan, mengenalkan, sekaligus melihat dirinya sendirinya lewat pantulan dalam "cermin" itu. Dalam terminologi tasawuf Allah ber-tajalli lewat alam.

Oleh karena itu, ayat Alqur’an yang pertama kali turun dan dibacakan kepada Nabi Muhammad saw. adalah surat Al ‘Alaq. Dalam ayat 4-5 surat itu disebutkan: “Iqra’ warabbuk al akram (3) Alladzi allama bi al qalam (4) Allama al insana ma lam ya’lam (5)” (Bacalah, dan Tuhanmulah Yang paling Pemurah [3] Yang mengajari [manusia] dengan perantaraan qalam [4] Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya). Pada ayat 4 dan 5 di sebutkan bahwa Allah SWT. mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui dengan perantaraan qalam. Qalam adalah “tanda” yang bisa membuka cakrawala pengetahuan manusia, termasuk pengetahuannya tentang Tuhan. Secara umum qalam adalah alam ini. Jadi, berdasarkan ayat itu, Tuhan sebetulnya ingin memperkenalkan sekaligus mengajarkan manusia lewat sebuah “tanda”. Ia menginginkan “tanda”-Nya dipahami dan dipelajari. Karena dengan memahaminya, tersingkaplah rahasia-rahasia-Nya. Dengan ini, memahami dan mempelajari alam sama halnya mempelajari dan memahami (ilmu) Tuhan. Dan Mempelajari (ilmu) Tuhan tergolong amal ibadah yang sangat luhur dan bisa mendatangkan pahala yang berlimpah.

Jadi, kalau kita teliti lebih mendalam, sebetulnya tidak ada distingsi antara yang sakral dan yang profan, karena semuanya bersumber dari Tuhan sebagai Dzat yang sakral? Semuanya adalah ayat-ayat Tuhan yang secara umum mewujud kedalam dua bentuk: ayat al-maktubah (kitab suci) dan ayat al-kauniyyah (kosmos). Keduanya menuntut untuk dikaji, dipahami, dan dipelajari. Keduanya sama-sama istimewa, dan menerima adanya penandaan (pemaknaan).

Memahami rahasia Allah SWT. lewat (tanda) Alqur’an

Seperti yang tersebut di atas, bahwa semua yang ada di alam ini adalah “tanda” dari kesekian banyak “tanda-tanda” Tuhan, tak terkecuali Alqur’an. Ada banyak “tanda-tanda” Tuhan yang termanifestasikan dalam bentuk kitab suci, ayat al-maktubah (Taurat, Injil, Zabur, dan Al-qur'an). Dalam Alqur’an, misalnya, terkandung ayat-ayat (tanda-tanda) yang terkumpul dalam satu mushaf. Dari sekian “tanda” menyatakan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan manusia, baik menyangkut hubungan vertikal (transendental) maupun horisontal (imanen). Itu semua adalah rahasia Tuhan yang dibeberkan kepada manusia untuk dipahami dan dipelajari. Sebagaimana setiap tanda-tanda Tuhan mengharuskan untuk diteliti, dipahami dan dipelajari, jika ingin mengetahui segala rahasia yang terkandung di dalamnya.

Dalam QS. 02 (Al-Baqarah):155 disebutkan, bahwa Allah akan menguji manusia dengan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, lenyapnya jiwa dan buah-buahan (makanan). Kesemuanya adalah ujian atau cobaan (tanda) dari-Nya. Kalau kita sempitkan arti dari ayat itu, dan kita sesuaikan dengan konteks gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah, kira-kira artinya begini: “Sesungguhnya Allah akan menguji masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan gempa bumi, sehingga menyebabkan mereka marasakan takut, terancam kelaparan, kehilangan harta benda, orang tua, anak, saudara dan tetangga karena semuanya telah mati. Dan informasikan kepada mereka [orang-orang sabar] bahwa semua itu adalah “tanda” dari Allah dan [tanda-tanda itu] akan kembali [merujuk] kepada-Nya).

Kata kunci (keywords) dari ayat di atas adalah “sabar”. Pengertian “sabar” dijelaskan oleh ayat setelahnya (156), yaitu: “Orang-orang yang ketika tertimpa musibah maka akan berkata: ‘Sesungguhnya semua milik (tanda) Tuhan dan akan kembali kepada-Nya’”. Artinya, ketika kita terkena cobaan atau ujian dari Tuhan, yang pertama kali kita tanamkan dalam hati adalah kesadaran bahwa semua yang ada di alam ini, termasuk harta dan jiwa kita, adalah milik (tanda-tanda) Tuhan yang merujuk kepada-Nya. Orang yang sabar dalam menerima cobaan adalah mereka yang bersikap kritis, aktif dan produktif atas apa yang dialaminya. Ia akan selalu bersikap optimis dan berpandangan positif dalam menilai dan menghadapi apapun yang datang dari Allah SWT.

Maka, membaca dan memahami gempa bumi berarti mempelajari gejala-gejala berikut kemungkinan yang ditimbulkannya, setelah itu dicarikan solusi yang tepat untuk menanggulanginya, dan bila perlu mencegahnya. Gempa bumi adalah tanda dari sekian tanda-tanda Tuhan yang diperlihatkan kepada manusia. Semuanya untuk diketahui, dipahami dan dipelajari. Sebab, pada ghalibnya, orang akan tertarik kepada sesuatu setelah ia melihat, merasakan atau mendengarnya. Bagi orang yang kritis, ia akan mengamati dan mencoba untuk memahaminya, tidak serta merta hanya dilihat dan dinilai sebagai fenomena alam biasa, apalagi sampai “menghakimi” dan “menuduh” Tuhan sebagai pihak yang paling “bersalah” dan bertanggung jawab.

Penutup

Gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah tanda yang diberikan Allah SWT. untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini, khususnya bangsa Indonesia. Tujuannya agar bangsa ini memiliki kecerdasan dalam memahami seluruh fenomena alam berikut misteri yang terkandung di dalamnya. Dengan memahaminya, diharapkan manusia akan tergerak untuk selalu meneliti, mempelajari, dan menemukan sebab-sebabnya. Mudah-mudahan di masa yang akan datang kita akan bisa mengetahui/memprediksikan terjadinya gempa atau tsunami yang sehingga bisa diantisipasi atau dihindari sedini mungkin. Gempa bumi merupakan salah satu medium Allah SWT. untuk berkomunikasi dengan makhluk-Nya. Allah SWT. memiliki banyak cara untuk menyatakan “kalamnya”, baik melalui ayat al-maktubah maupun ayat al-kauniyyah. Inilah hikmah dari cobaan yang diberikan-Nya. Fa’tabiru ya ulil al-baab!.

dipublikasikan di www.islamemansipatoris.com pada 18/07/2006

al-Munqidz min al-Dhalal




Pergulatan Intlektual Imam al-Ghazali

o l e h Jamaluddin Mohammad

Jika kita mau menengok kembali perjalanan sejarah umat manusia, kita akan mendapati banyak sekali pergolakan, pertentangan, dan perebutan (atas nama) “kebenaran”. Kebenaran seolah-olah tidak cukup hanya untuk dipeluk dan diyakini, melainkan harus dipertaruhkan, dikukuhkan, dikontestasikan, dan selanjutnya dijadikan alat kekuasaan.

Sehingga seringkali “atas nama” kebenaran segalanya harus dibayar dengan darah, nyawa, bahkan tidak jarang berakhir dengan perang terbuka. Al-Hallaj, seorang sufi dari Persia, harus rela mati di tiang gantungan hanya untuk mempertahankan doktrin hulul (bersemayamnya lahut di dalam nasut). Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi mati Wali Songo gara-gara mengajarkan doktrin wihdat al-wujud (manunggaling kaula ing gusti) yang dianggap “sesat” dan “menyesatkan”.

Ini adalah fakta sejarah betapa “kebenaran” bisa tampil dalam berbagai warna dan bentuk. Bergantung pada siapa dan demi kepentingan apa ia (di)hadir(kan). Pada kenyataannya, kebenaran tidaklah bebas dari kepentingan dan kekuasaan. Ia akan selamanya dipertaruhkan dan diperebutkan umat manusia. Pertaruhan dan perebutan itu tidak selamanya terjadi dalam medan terbuka. Terkadang ia muncul dan bergolak dalam ruang batin atau psikologi seseorang.

Salah satunya pernah dialami Imam al-Ghazali. Beliau pernah menderita semacam “gejolak kejiwaan” pada saat beliau mencoba menelusuri “hakikat kebenaran” (hakikah al-umur) dan “kebenaran sejati” (al-ilm al-yaqin). Dalam pencariannya itu al-Ghazali mempelajari, mengkaji dan memverifikasi segenap ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, seperti ilmu kalam (teologi), fiqh, filsafat, dan tasawuf, berikut cabang-cabangnya.

Pengalaman eksistensial al-Ghazali dalam mencari dan mnyusuri “kebenaran” terekam jelas di dalam kitabnya “al-Munqidz min al-Dhalal”. Dari awal-awal tulisannya itu, kita sudah bisa mencium aroma kegelisahan al-Ghazali. Yang pasti, kata al-Ghazali, kebenaran harus dicari, dan terus dicari sampai dalam waktu yang tak berbatas. Kebenaran sejati tidak tersaji dalam tulisan, ucapan atau pendapat orang. Kebenaran bersifat pribadi (subjektif), sehingga harus didekati secara pribadi pula.

Sekilas tentang al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lahir di Thus, salah satu daerah di Khurosan, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil ia belajar ilmu fiqh pada Imam Ahmad bin Muhammad al-Radzikani, kemudian pindah ke Jurjan untuk nyantri pada Imam Abi Nasr al-Isma’ily.

Setelah itu, al-Ghazali pindah ke Naisabur, belajar pada Imam Haramain al-Juwaini. Di sini ia mulai mengenal tasawuf dan filsafat. Setelah Juwaini tutup usia pada 477, tujuh tahun berikutnya al-Ghazali pergi ke Irak, mengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Di madrasah milik Wazir Nidzam al-Mulk (1018-1018 M) inilah popularitas dan kapasitas keilmuan al-Ghazali mulai diperhitungkan banyak orang. (Ihya, juz 1/3)

Karir intelektual al-Ghazali semakin menunjukkan kematangannya setelah ia banyak menulis tentang fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf. Ia tergolong ulama yang sangat produktif. Menurut Ibnu Qadli Syuhbah al-Dimsyiqi, pengarang kitab “Thabaqat al-syafiiyyah”, ada sekitar 60 kitab yang ditulis al-Ghazali. Sementara Imam Zubaidi menyebut ada sekitar 80 kitab dan risalah yang dikarang al-Ghazali.

Ketika usianya mulai beranjak senja, Al-Ghazali pulang ke tanah kelahirannya, sampai beliau wafat pada 505 H/1111 M.

Pintu kegelisahan al-Ghazali

Kitab al-Munqiz min al-Dhalal merekam jelas kegelisahan al-Ghazali selama pengembaraan intelektualnya. Dalam kitab ini, al-Ghazali menceritakan dengan jujur bahwa proses pencarian “kebenaran” tidaklah semudah apa yang dibayangkan orang. Ia butuh pengorbanan, keberanian, kejujuran serta kesungguhan.

Sedari kecil al-Ghazali selalu gelisah dan sering mempertanyakan segala sesuatu. Sampai-sampai ia harus melepaskan segenap belenggu taklid (budaya mem-bebek) dan meremukkan benteng keyakinan (aqidah) yang ia terima sejak kecil. (hal. 25)

Kesadaran seperti ini timbul setelah ia sama sekali tidak melihat perubahan apa-apa pada anak-anak orang Nasrani maupun Yahudi. Mereka akan selamanya tumbuh menjadi Nasrani maupun Yahudi, dan seterusnya. Sebagaimana yang disetir oleh hadits Nabi SAW: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah (Bapak) yang telah menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi”.

Oleh karena itu, tergerak dalam hati al-Ghazali untuk melakukan lompatan-lompatan dan pilihan-pilihan sendiri; berdasarkan pencarian dan upaya pribadi. Al-Ghazali pernah menceburkan diri menjadi pengikut batiniyyah (salah satu sekte syiah paling ektrem dan radikal), menjadi seorang teolog (mutakallimun), mempelajari segenap ilmu-ilmu filsafat, dan pada akhirnya kepincut dengan tasawuf. (hal. 25)


Epistemologi al-Ghazali

Sebelum kita menelisik lebih jauh isi kitab al-Munqidz min al-Dhalal, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu epistemologi al-Ghazali. Ini penting, sebab epistemologi ibarat pintu masuk untuk mengetahui paradigma berpikir (gugusan pemikiran) seseorang. Dengan menyusuri epistemologi seseorang, kita akan lebih mudah membaca alur pikir atau sistematika pemikiran orang dari awal sampai akhir.

Epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (informasi). Secara sederhana epistemologi berarti “teori pengetahuan” atau “pengetahuan tentang pengetahuan”. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.. 212)

Epistemologi melahirkan beragam metode dan pendekatan. Yang paling masyhur adalah empirisme dan rasionalisme. Selain kedua pendekatan itu, dalam filsafat Islam ditambahkan lagi dengan pendekatan intuitif (irfani). Yang terakhir inilah yang digunakan oleh al-Ghazali.

Seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Ghazali, pada awalnya ia mendasarkan pengetahuannya pada empirisme (hissiyyat). Ia sebetulnya ragu dengan metode ini: apakah dengan bersandarkan pada empirisme ia akan memperoleh keyakinan? Dari sini al-Ghazali mulai melakukan pengujian. (hal. 27)

Pertama-tama ia menguji validitas data-data indrawai (data-data empirikal). Semisal, data yang diterima mata. Mata kita seringkali melihat bintang-bintang di atas langit. Menurut penglihatan kita, bintang-bintang itu terlihat kecil, sekecil uang logam. Tetapi, berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintang-bintang itu jauh lebih besar dibanding bumi.

Ternyata, pada faktanya, data-data yang diterima oleh indera sering kali menipu, bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya, sebagaimana pada contoh di atas. Dari sini al-Ghazali berpindah pada pendekatan rasionalisme. Menurut penganut rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah dan dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan akal (rasional).

Contohnya, bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan 3. Ada dan tiada tidak mungkin bertemu dalam satu waktu, begitu juga qadim (lampau/kekal) dan hadits (baru) tidak mungkin dilekatkan pada sesuatu dalam waktu bersamaan, dan seterusnya. Ini adalah contoh-contoh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Bukankan pengetahuan rasional lebih diterima daripada pengetahuan empiris?

Namun, penganut empirisme pasti akan menyangkal lagi dan mencoba memberikan keyakinan: berdasarkan alasan apa sehingga kita merasa yakin bahwa akal lebih valid dibanding pengalaman? Bukankan apa-apa yang kita cerap dari indera jauh lebih riil dan nyata dibanding pengetahuan akal yang masih bersifat abstrak?

Empirisme dan rasionalisme selamanya akan berperang dan saling menyalahkan. Keduanya tidak dapat bertemu dan dipertemukan. Nah, pada saat terjadi kebuntuan antara pilihan rasional dan empirikal, al-Ghazali justeru berpaling dari keduanya dan menaruh kepercayaan pada pengetahuan intuitif (mukasyafah). Menurut al-Ghazali, dengan pengetahuan intuitif seseorang akan sampai kepada “kebenaran sejati”.

Untuk meyakinkan bahwa pengetahuan intuitif benar-benar ada al-Ghazali mengilustrasikan dengan pengalaman mimpi. Ketika kita bermimpi, kata al-Ghazali, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) diluar kenyataan indrawi.

Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar /ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah.

Ini juga sebetulnya sering dialami oleh kita, baik dalam keadaan sadar sekalipun. Coba bayangkan, apakah Anda yakin bahwa apapun yang Anda lakukan saat ini memiliki landasan rasional maupun empirikal? Semisal, ketika Anda duduk dan membaca, apakah Anda betul-betul sedang duduk dan membaca? Bisa jadi Anda sebetulnya sedang bermimpi, menggigau, atau dalam keadaan terjaga tetapi pikiran Anda melayang kemana-mana sehingga Anda sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang Anda kerjakan saat ini?

Berangkat dari pendekatan intuitif inilah al-Ghazali membangun segenap gagasan dan pemikirannya. Sehingga, tak pelak lagi, al-Ghazali membombardir teologi, penganut aliran Batiniyyah, filsafat. Karena kesemuanya bersendikan pada rasionalisme atau empirisme. Nah, di dalam kitabnya ini (al-Munqidz min al-Dhalal) al-Ghazali mengkritik habis-habisan Teologi, Madzhab Ta’limy (aliran Batiniyyah), dan Filsafat.

Teologi (ilmu Tauhid)

Al-Ghazali sebetulnya tertarik dengan disiplin ilmu ini. Bahkan ia sendiri sempat menulis buku tentang Teologi. Namun, sebagaimana pengakuan al-Ghazali sendiri, bahwa ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari Teologi, kecuali manfaat itu kembali pada teologi itu sendiri. (hal. 35)

Sebab, pada perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu Teologi sudah tidak lagi terfokus pada wilayah kajiannya; pembahasannya terlalu melebar kemana-mana; dan mulai melenceng dari tujuan.

Padahal, kata al-Ghazali, tujuan ilmu Teologi adalah menjaga dan membentengi akidah ahlussunah wal jama’ah dari pengaruh ahli bid’ah (hifdzu aqidah ahlussunah wa hirasatuha an tasywisi ahli al-bid’ah). Sebab, Allah SWT melalui lisan rasul sudah menyampaikan akidah yang benar demi kemaslahatan dunia maupun akhirat (agama). Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh kehadiran ahli bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali akidah yang sudah tercemar itu, mengembalikan pada asalnya.

Tetapi, yang terjadi justeru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan. Wacana yang dikembangkan dalam teologi malah bertitik-tolak dari dasar pikiran/asumsi/hipotesis (muqaddimat) lawan. Disamping itu, para Teolog (mutakallimun) lebih banyak berapologi menanggapi tuduhan-tuduhan lawan, ketimbang membicarakan esensi Teologi itu sendiri.

Pada akhirnya para Teolog tidak lagi membela sunnah, malah tenggelam pada pembahasan tentang dzat/substansi (al-jauhar), sifat/aksiden (‘arad), dan sebagainya. Hal ini, kata al-Ghazali, yang menyebabkan teologi melenceng jauh dari tujuan mulianya (ghayah al-quswa). Dengan sangat kecewa al-Ghazali akhirnya tidak begitu suka dengan ilmu ini. “falam yakun al-kalam fi haqqy kaafiyan. Wala lidaai alladzi kuntu asykuuhu syafiyan” (bagiku, ilmu kalam tidak mencukupi. Ia tidak dapat menyembuhkan penyakit keragu-raguanku), kata al-Ghazali.

Filasafat

Al-Ghazali belajar dan mendalami filsafat kurang lebih selama dua tahun. Ia banyak membaca kitab-kitab filsafat yang dikarang filsuf muslim pada waktu itu. Dari hasil bacaannya itu, al-Ghazali menyimpulkan ada tiga madzhab besar dalam filsafat: (1) al-dahriyyun, (2) thabiiyyun, dan (3) ilahiyyun. (hal 37)

Pertama, al-dahriyyun (atheisme). Ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses alam. Manusia tercipta dari sperma, begitu juga sebaliknya. Proses alam akan terus berjalan sesuai dengan hukumnya. Dan terus berjalan tanpa mengenal akhir.

Kedua, thabiiyyun (naturalisme). Aliran filsafat yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi; fenomena alam berikut makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya lebih banyak dicurahkan untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini masih percaya terhadap adanya Tuhan.

Mereka berpendapat bahwa kekuatan yang dimiliki manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan sesuatu yang lain yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme jiwa dan badan. Jiwa tidak lain dari materi (badan) itu sendiri. sehingga, ketika seseorang mati, maka jiwanya juga ikut mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia adikodrati, seperti surga, neraka, kiamat, hisab, dll.

Dan ketiga, ilahiyyun (metafisika). Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah sederetaan filsuf yang masuk dalam kelompok ini. Plato adalah Murid Socrates, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles dikenal sebagai pencetus ilmu mantiq (logika), banyak memberikan ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap pelbagai disiplin ilmu. Aristoteles juga banyak mengkritik madzhab-madzhab filsafat sebelumnya, seperti dahriyyun dan thabiyyun.

Secara garis besar, kajian filsafat meliputi: matematika (riyadliyyah), logika (mantiqiyyah), ilmu alam (thabiiyyah), metafisika (ilahiyyah), politik (siyasiyyah), dan etika (khalqiyyah).

Pada prinsipnya, al-Ghazali tidak begitu antipati terhadap filsafat. Sebab, menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi dengan agama. Al-Ghazali termasuk pendukung sekularisasi ilmu. Hanya saja, kata al-Ghazali, tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan efek membahayakan (afat al-adzimah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama.

Sebagaimana madzhab dahriyyun yang mengingkari adanya Tuhan dan thabiiyyun yang tidak mempercayai keberadaan “dunia lain”. Begitu juga ajaran ilahiyyun yang di transfer dari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan menerima nikmat maupun siksaan. Yang mendapatkan balasan di akherat kelak hanyalah ruh. Mereka juga mengatakan bahwa alam bersifat qadim dan abadi.

Madzhab al-ta’limiy

Pada masa al-Ghazali hidup, madzhab ta’limiyyah atau aliran batiniyyah (underground) sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ta’limiyyah adalah salah satu aliran/sekte syiah ismailiyyah. Aliran ini berpendapat bahwa “setiap orang butuh pengajaran (al-ta’lim) dan bimbingan mu’allim (guru) yang ma’shum, suci; terlindungi dari dosa” (al-hajat ila al-ta’lim wa al-mua’allim. La yashluhu kullu mu’allim bal la budda min mu’allim al-ma’shum)”. (hal. 59)

Menurut sekte ini, keberadaan mu’allim ma’shum mutlak diperlukan. Sebab, tanpa melalui kehadiran mereka, seseorang tidak mungkin akan sampai pada “kebenaran”. Muallim ma’shum yang dimaksudkan mereka adalah para imam (pemimpin) mereka.

Ajaran seperti ini mendapat kritik keras dari al-Ghazali. Menurutnya, tidak seorang pun di dunia ini yang patut dikatakan ma’shum kecuali Nabi Muhammad SAW. Setiap orang bebas melakukan ijtihad dalam mengambil keputusan hukum (istinbath al-ahkam), tidak harus menunggu wangsit dari imam ma’shum, tegas al-Ghazali.

Kita bisa belajar dari Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman. Mu’adz melakukan ijtihad sendiri ketika menemukan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ditemukan di dalam nash (hadits maupun al-Qur’an). Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan: “keterbatasan nash tidak akan bisa mengikuti realitas yang terus mengalami perubahan (fainna al-nushus al-mutanahiyah la tastau’ibu al-waqai’ al-ghaira al-mutanahiyyah)”.

Akhir pendakian al-Ghazali

Setelah al-Ghazali merasa kecewa dengan ilmu-ilmu di atas, kemudian beliau berpaling pada tasawuf (mistisisme). Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghazali belajar dan membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada waktu itu. Beliau membaca “Kut al-Qulub” milik Abi Thalib al-Makki, “Mutafarrikat al-Ma’tsurah” karya al-Junaidi, kitab-kitab karya al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami, Harits al-Muhasibi dan masih banyak lagi. (hal. 68)

Lagi-lagi al-Ghazali harus menelan kekecewaan. Ternyata kitab-kitab yang ia baca hanya menyuguhkan wacana tentang tasawuf. Menurut al-Ghazali, inti tasawuf bukan pada teorinya (ilmu/wacana) melainkan pada aplikasinya (amaliyyah). Substansi tasawuf terletak pada pengamalan (al-ahwal) dan rasa (al-dzauq).

Dari sini al-Ghazali terangsang untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf, mengasingkan diri (uzlah) dari satu tempat ke tempat lain, menyepi (khalwah) dan mengunci diri selama sehari penuh di menara masjid Dimsyik, tafakkur (kontempelasi) di puncak Bait al-Muqaddas, melakukan ibadah Haji, dan ziarah ke makam Rasulullah SAW. Sampai akhirnya beliau merasa bahwa dahaga intlektualnya betul-betul hilang berkat mukasyafah dan dzauq. Sungguh, sebuah pergulatan intelektual yang sangat menakjubkan! Wallahu a’lam bi sawab

Selasa, 25 September 2007

Descartes dan al-Ghazali






Oleh Jamaluddin Mohammad

Salah satu diktum yang menandai awal modernitas adalah perkataan Descartes yang terkenal: ‘Cogito Ergo Sum’, Aku Berpikir maka Aku Ada. Descartes mengandaikan subjek yang mandiri, bebas, dan sekaligus sebagai ‘pusat ada’. Kesadaran, dalam filsafat Descartes, menempati posisi segala-galanya.

Pintu masuk untuk memahami filsafat Descartes adalah ‘ragu-ragu’, skeptisisme radikal. Untuk mendapatkan pengetahuan sejati, kata Descartes, kita harus meragukan semuanya, tidak ada satupun yang tersisa kecuali kita yang meragukan.

Oleh karena itu, kita harus ‘meruntuhkan’ segenap pengetahuan yang kita miliki, termasuk ‘mencurigai’ semua ‘kebenaran’ yang kita terima sedari kecil. Dengan ini, kata Descartes, kita akan mendapatkan pengetahuan absolut. Pengetahuan absolut/kebenaran sejati hanya didapatkan setelah lolos dari ujian ‘keragua-raguan’ itu.

Pendapat serupa dapat kita temukan dalam pernyataan al-Ghazali. Menurut ‘pendekar’ kaum Sunni ini, ‘jangan pernah menerima ‘kebenaran’, kecuali ia betul-betul tampak dengan jelas, tanpa menyisahkan keraguan di dalamnya, dan tidak mengandung kemungkinan salah atau prasangka’ (yankasyifu fihi al-ma’lum inkisyafan la yabqa ma’ahu raibun, wala yuqarinuhu imkanu alghalat wa al-wahm).

Zakaria Basyir Imam dalam buku ‘Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah’ berhasil menemukan persamaan kriteria al-Ghazali dan Descartes dalam menguji dan memverifikasi ‘kebenaran’. Menurutnya, setelah membandingkan dengan tulisan Descartes dalam ‘A Discourse on the Method’, ia menemukan 4 prinsip filsafat Descartes yang memiliki kemiripan dengan cara-cara al-Ghazali dalam menggali kebenaran (Zakaria Basyir Imam, Tarikh al-falsafah al-Islam, [Khortum: Al-Dar Al-Saudanoyah, 1998] h. 291-292).

(1) sesuatu tidak disebut sebagai ‘kebenaran’ kecuali dapat diterima akal, dan tidak mengandung keragu-raguan sedikitpun.
(2) mulailah dengan ‘kebenaran’ (aksioma/proposisi/premis) yang paling sederhana, selanjutnya melangkah pada aksioma yang kompleks.
(3) jangan pernah menerima ‘kebenaran’, kecuali setelah melalui eksperimen dan observasi (al-tamhis wa al-tafkir al-naqdi).
(4) terbuka terhadap segala pendapat, teori, dan pemikiran; tidak terjebak hanya pada satu teori atau pemikiran (fanatik); tidak membuang atau mengindahkan pendapat atau teori orang lain, sebelum kemudian melakukan pengujian, pembagian, dan pemilahan.

Al-Ghazali dan Descartes sepakat bahwa pengetahuan sejati (al-ilmu al-hakiki) adalah pengetahuan absolut (al-ilmu al-yaqini; absolutely certain knowtedge). Untuk mencapai pengetahuan absolut, otomatis harus dilakukan pengujian, penelitian, pemilahan, pembagian, dan seterusnya, sampai betul-betul ditemukan keyakinan dan kepastian.

Sebagai metodenya, Descartes menggunakan metode kesangsian (le doute methodique). Kesangsian itu harus berangkat dari dalam diri sendiri, bukan datang atau berasal dari luar, seperti Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka,dll. Artinya, Descartes menggunakan ‘kesangsian’ sebagai pintu masuk untuk mendapatkan kebenaran absolut. Kesangsian bukanlah sebuah tujuan, melainkan alat yang digunakan untuk sampai pada tujuan. Intinya adalah pada kesadaran (Budi Hardiman, Filsafat Modern, 2004/39).

Menurut saya, walaupun tidak persis-persis amat, al-Ghazali juga berangkat dari skeptisisme kendatipun pada akhirnya beliau menemukan puncak pemikiran dan metode filsafatnya. Ini bisa dilihat dari pengakuan al-Ghazali di dalam ‘al-Munqidz min al-Dhalal’:

“... akhirnya aku sampai pada puncak keraguan. Aku tidak menemukan rasa aman terhadap mahsusat. Dalam keraguan itu aku bertanya pada diri sendiri: atas dasar apa aku percaya pada mahsusat? Sebut saja indra penglihatan; saat kita melihat bayangan sesuatu, seolah bayangan itu tidak bergerak. Ia sedikitpun tidak bergeming dari tempatnya. Padahal, kalau kita teliti secara mendalam, dan membiarkan mata kita terus tertuju pada bayangan itu, kita akan mendapati bayangan itu sebetulnya bergerak, tetapi tidak spontan. Ia secara perlahan-lahan bergeser meninggalkan tempatnya semula.

Atau mata kita melihat bintang di atas langit. Dalam penangkapan mata kita, bintang itu terlihat sangat kecil sekecil uang logam. Padahal, menurut perhitungan ilmu ukur/geometri, bisa saja ukuran bintang itu sebetulnya lebih besar dari bumi.

Ini adalah realitas yang disuguhkan mahsusat. Ia menghukumi berdasarkan hukumnya sendiri. Tentu saja akan berbeda dengan hukum akal. Bahkan hukum akal pasti akan mencela dan menganggapnya bohong. Pada akhirnya, kepercayaanku terhadap mahsusat berangsur-angsur runtuh. Aku beralih pada akal. Akal menginformasikan bahwa bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan tiga; nafy dan itsbat, hadits dan qadim, ada dan tiada, tidak mungkin bertemu dalam waktu dan kesempatan yang sama dan bersamaan.

Begitulah cara akal menghukumi sesuatu. Namun, adakah hukum
lain yang akan membantah dan meruntuhkan hukum akal? Aku menemukan jawabannya melalui pengalaman mimipi. Ketika kita bermimpi, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) di luar kenyataan indrawi.

Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar/ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Karena akal maupun indra tidak mampu memahaminya. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah. (untuk lebih jelas baca: al-Munqidz min al-Dhalal, hal. 27)”


Di sini al-Ghazali menemukan puncak filsafatnya setelah melewati masa-masa hairah (skeptisisme). Hanya saja setelah melampaui masa-masa kritis itu, al-Ghazali berhasil menemukan metodenya sendiri, selain empirisme dan rasionalisme, yakni metode intuitif (mukasyafah). Sementara Descartes menjadikan sekeptisismenya itu sebagai metode dalam menemukan ‘kebenaran absolut’

Menurut al-Ghazali, untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita jangan mudah percaya dengan segala pengetahuan yang sampai kepada kita, baik yang berasal dari pengalaman maupun akal. Karena itu, al-Ghazali sangat meragukan pengetahuan empirisme maupun rasionalisme. Sebab keduaanya, menurut al-Ghazali, sama-sama tidak mendatangkan ‘pengetahuan sejati’ (ilm al-yaqini) sehingga tidak mungkin akan sampai pada ‘kebenaran absolut’ (haqiqah al-umur).

‘Secercah cahaya kebenaran hanya akan memancar dari intuisi’, kata al-Ghazali. Di sinilah letak perbedaannya dengan Descartes. Kalau Descartes keragu-raguan itu berakhir pada akal (rasionalitas), sementara al-Ghazali pada intuisi. Pengetahuan intuitif (mukasyafah), kata al-Ghazali, ibarat cahaya yang memancar dari hati yang bersih sehingga tersibaklah segala pengetahuan. Ia semacam ilham atau wahyu yang datang dengan sendirinya tanpa campur tangan akal maupun pengalaman. Di sinilah persamaan dan perbedaan antara al-Ghazali dan Descartes (al-Ghazali, Ihya ulum al-Dien, 31/vol 1)

Tulisan ini bukan berarti ingin membanding-bandingkan al-Ghazali dan Descartes. Sebab, baik dari segi waktu, tradisi maupun lingkungan intelektual, kedua tokoh besar ini jelas-jelas berbeda. Al-Ghazali setengah abad (sekitar 539 tahun) lebih tua dari Descartes. Disamping itu, keduanya dilahirkan dari dua peradaban besar yang berbeda. Al-Ghazali Timur, sedangkan Descartes Barat; al-Ghazali tokoh sufi dan tidak begitu suka dengan filsafat (?), sementara Descartes adalah seorang filsuf yang sangat mengangungkan rasionalitas, menolak intusi (kemungkinan besar anti tasawuf [?]).

Disamping itu, menurut A. Hanafi dalam bukunya ‘pengantar Filsafat Islam’, mengatakan bahwa metode skeptisisme Descartes lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: terpengaruh terhadap konsep idea plato, ketidakpercayaannya terhadap mitos-mitos dan pengetahuan yang dihasilkan gereja pada waktu itu, dan berdasarkan pengalaman bahwa panca indara memiliki kelemahan untuk mendapatkan pengetahuan sejati.

Di antara perbedaan yang lain, Descartes dipandang sebagai ‘pahlawan’ yang telah membuka filsafat modern, sedangkan al-Ghazali dituduh sebagai ‘pecundang’ yang telah membunuh filsafat sebelum dan sesudahnya. Benarkan demikian? Untuk mengujinya kita harus mengkaji kedua tokoh ini secara tuntas, proporsional, jujur, dan lepas dari prasangka-prasangka apapun. Yang jelas kedua tokoh ini memiliki jasa besar menyumbangkan gagasan dan pemikirannya untuk generasi-generasi setelahnya.

ِAl-Ghazali adalah ikon dunia Timur saat ini, yang terlalu akrab dan lebih menonjolkan spiritualitas dan mistisisme. Sebaliknya, Descartes juga mewakili dunia Barat yang terlalu mendewa-dewakan rasionalitas dan materialitas. Ini yang menjadikan Timur dan Barat mengalami kesenjangan yang cukup tajam, bahkan saling berbenturan. Karena itu, untuk mengurangi kesenjangan itu, salah satu caranya adalah dengan mengawinkan keduanya, rasionalitas dan spiritualitas, sembari mengenyampingkan perbedaan-perbedaan yang ada.

Dan yang tidak boleh kita lupakan adalah, bahwa al-Ghazali dan Descartes memiliki watak dan karakteristik yang sama, yakni ‘kritis’. Kritisisme inilah yang harus kita ikuti dan miliki sebagai wujud apresiasi terhadap jasa besar kedua tokoh kaliber dunia ini. Wallahu a’lam bi sawab