Selasa, 01 Oktober 2013

Depolitisasi NU


Kiai Sahal Makhfudz dalam Pembukaan Rapat Pleno PBNU di Wonosobo (7/80) memberikan tausiah agar NU bermain politik tingkat tinggi. Rais Am Syuriah PBNU ini prihatin atas kondisi NU akhir-akhir ini yang secara pelan-pelan tapi pasti mulai bergeser dari garis yang diperjuangkan pendiri-pendirinya. Gerakan dan perjuangan NU tidak lagi diarahkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat melainkan sudah terseret ke dalam kepentingan politik sesaat.

Sejak NU mengikrarkan diri untuk tidak terlibat dalam politik praktis (khittah 1926), justeru banyak elit-elit NU yang memanfaatkan organisasi ini sebagai gerbong untuk memenangkan salah satu calon atau partai politik tertentu. Bahkan, tidak sedikit tokoh-tokoh NU yang terjun ke politik praktis, baik dengan mencalonkan diri sebagai peserta pilkada maupun menjadi tim sukses dari calon tertentu.

Kondisi “kurang sehat” yang dialami NU saat ini menunjukkan ketidakberdayaan tokoh NU dalam menahan diri dari godaan politik praktis yang sesungguhnya menjadi domain partai politik. Kalau terus dibiarkan, dikhawatirkan NU akan melupakan gagasan dasar atau khittahnya sebagai organisasi sosial keagamaan dan keumatan. Pada akhirnya, NU akan semakin jauh dan dijauhi umatnya.

Belakangan ini dalam tubuh NU sendiri terjadi semacam krisis kepemimpinan ulama. Banyak ulama yang tidak lagi menjadi panutan masyarakat. Di zaman semakin modern seperti sekarang ini “kiai panutan” justeru semain sulit dicari. Kalau dulu banyak ulama jadi panutan masyarakat, pejabat, pengusaha, bahkan politisi. Sekarang kondisinya malah terbalik, banyak ulama yang “manut” (mengikuti), terutama kepada pejabat atau penguasa. Akhirnya masyarakat kesulitan membedakan antara ulama “panutan” dan ulama “manutan”.

Ulama panutan berkarakter, berprinsip kuat (tidak mudah tergoda politik praktis), konsisten, dan punya keberpihakan, terutama kepada masyarakat. Ia bisa membedakan antara kepentingan sempit dan sesaat dan kepentingan yang lebih besar (maslahah al-amah).

Berbeda dengan ulama manutan yang biasanya bergerak tergantung arah mata angin: angin ke utara ikut ke utara, selatan ikut ke selatan (oportunis). Hatinya rapuh dan mudah tergoda rayuan politik,tidak memiliki prinsip kuat, inkonsisten, dan tidak punya keberpihakan. Matanya rabun sehingga tidak mampu membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan golongan.

Ulama seperti ini tumbuh sebur di masyarakat, bercokol di banyak institusi NU, dan mulai banyak menulari ulama-ulama yang lain. Model ulama seperti ini yang banyak membodohi warga NU terutama saat-saat Pilkada, baik mengatasnamanakan individu maupun institusi. Dia akan memanfaatkan pengaruh dan jabatannya untuk menipu masyarakat dengan menawarkan mimpi-mimpi yang indah.

GARIS POLITIK NU: Politik Kenegaraan, Politik Kerakyatan, dan Politik Etika

Pernyataan Kiai Sahal di atas sebetulnya ingin kembali mengangkat derajat ulama di mata masyarakat. Ulama harus bisa bermain politik dalam skala yang lebih luas. Bukan pemain lapangan, melainkan sebagai konseptor dan penentu lapangan. Singkatnya bukan sebagai “pengamen politik” yang hobinya mencari recehan.

Dalam konteks kenegaraan, ulama NU harus mampu dan berkomitmen menjaga NKRI, Pancasila dan UUD 45. Ini adalah khittah dasar Bangsa dan Negara Indonesia. Tak dapat diragukan bahwa NU memiliki saham besar bagi terbentuknya NKRI. Ulama-ulama NU ikut merumuskan dasar-dasar Negara (Pancasila dan UUD 45). Sehingga, sudah sewajarnya ulama NU ikut menjaga dan mengawal negeri ini agar tidak keluar dari garis khittahnya.

Salah satunya dengan mengawasi dan membendung gerakan Islam trans nasional yang secara terang-terangan akan meruntuhkan bangunan dasar NKRI: menghapus Pancasila dan UUD 45.mPolitik kebangsaan seperti ini secara konsisten menjadi garis politik NU sepanjang perjalanan Negara Indonesia Merdeka. Ketika menghadapi gerakan-gerakan sparatis berbau agama seperti DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta maupun Pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, pada 1950an hingga 1960an, NU selalu berada di pihak Republik.  

Dalam hal politik kerakyatan, ulama NU harus punya keberpihakan terhadap hak-hak dan kemaslahatan rakyat. Karena itu, ulama NU sudah sepatutnya mengawasi dan ikut membantu program-program pemerintah yang langsung bersentuhan dengan rakyat kebanyakan. Prinsipnya, sebagaimana disebut dalam kaidah fiqh, tasharruful imam ala al-raiyyah mautun bimaslahati al-mariyyah (kebijakan pemimpin atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan).

Termasuk bagian dari politik kerakyatan, ulama NU wajib menolak segala bentuk impor yang merugikan masyarakat bawah, seperti impor beras, daging, kedelai, garam, dll. Impor menyebabkan petani dalam negeri merugi. Menolak Mall atau mini market yang dapat mematikan perekonomian rakyat kecil (toko, warung, dan pasar tradisional) dan hanya menyuburkan kartel-kartel besar.

Dalam soal etika politik, sudah sepatutnya ulama menjaga dan merawat norma-norma, nilai, dan etika politik.  Ulama NU pantasnya menjadi penasihat politik, bukan politisi. Penasihat politik kerjaannya memberi pengawasan, arahan dan nasihat kepada politisi agar berjuang membela kepentingan rakyat. Ulama adalah brahmana, bukan kesatria (birokrat). Tentu drajatnya lebih tinggi dan lebih terhormat.

Penutup

Berpolitik (terjun dalam politik praktis) adalah hak setiap orang. Namun, dalam setiap organisasi punya aturan main sendiri-sendiri. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU secara eksplisit menyebut bahwa orang pertama dalam struktur kepengurusan NU dan badan otonom di bawah NU dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) atau perebutan jabatan politik lainnya.

Sehingga, ketika ada Ketua NU (tanfidz/syuriah) mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, misalnya, ia harus mengundurkan diri atau non aktif. Peraturan ini dibentuk agar tidak terjadi tumpang tindih antara kepentingan pribadi dan organisasi.

Idealnya, peraturan seperti ini tidak hanya berlaku bagi orang nomor satu (ketua), melainkan seluruh jajaran kepengurusan di NU. Tujuannya untuk menyelamatkan organisasi ini agar tidak terseret-seret dalam dukung-mendukung. Bayangkan jika seluruh jajaran kepengurusan NU menjadi tim sukses salah satu calon bupati atau wakil rakyat. Lantas, apa bedanya dengan partai politik?

NU sebagai partai politik cukup di tahun 1955 saja. Sekarang ini kader NU terdiaspora di semua partai politik. Biarlah syahwat politik kader dan aspirasi warga NU bisa tersalurkan lewat beberapa partai politik itu. Sebagai organisasi social-keagamaan, NU harus bisa menjaga dan mengayomi semua kepentingan warganya. Karena itu, seluruh pengurus NU harus netral. Meskipun mengatasnamakan kepentingan pribadi, ketika sudah terlibat dalam politik praktis dan ikut aksi dukung mendukung dalam Pilkada, mereka harus rela menanggalkan jabatannya. NU tidak butuh orang-orang bermental oportunis yang hobinya menjual NU untuk kepentingan pribadinya. Wallahu a’lam bi sawab

Radar Cirebon (28/09)