Selasa, 23 November 2010

Negara Budak

Indonesia adalah negeri budak
Budak di antara bangsa
dan budak bagi bangsa-bangsa lain

(Pramoedya Ananta Toer)

Sungguh tragis nasib yang menimpa Sumiati, buruh migrant asal Dompu, Nusa Tenggara Barat. Sumiati hanyalah salah satu wanita Indonesia yang diperlakukan tidak adil oleh bangsa lain. Tidak sedikit wanita Indonesia yang diperkosa, dianiaya, dijual, bahkan dibunuh. Biasanya, persoalan-persoalan yang menimpa buruh migran, kasusnya pasti akan mudah tenggelam bersamaan dengan status dan kelanjutan hukumnya. Bangsa ini pengecut. Di negeri ini, kemanusiaan tidak ada harganya sama sekali.

Padahal, berdasarkan data yang dikeluarkan KOPBUMI pada tahun 2001 tercatat terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang. Perinciannya, 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang diPHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransi ,25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah

Sementara Migrant Justice mencatat, setidaknya setiap tahun ada 25 kasus kematian, 13 orang terancam hukuman mati, 7.500 orang dipenjarakan tanpa sebab yang jelas, 3.000 orang dideportasi, 1.000 orang jadi korban trafficking. Dari Konferensi ILO IPEC 2001 memperkirakan bahwa ada 1,4 juta Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indoneia, dan 23 persennya adalah anak-anak. Sementara dalam laporan Organisasi Perburuhan Indonesia (ILO) tahun 1998 memperkirakan bahwa ada sekitar 130.000-240.000 pekerja seks di Indonesia dan sampai 30 persennya adalah anak-anak di bawah 18 tahun. ICMC pada tahun 2003 menunjukkan bahwa ada sekitar 2,4 sampai 3,7 juta buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara, yang dipastikan lebih dari 70% adalah perempuan.

Dan yang lebih menyakitkan lagi, seperti yang dituturkan Surya Chandra Surapati, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, saat ini di Indonesia rata-rata 750 ribu sampai 1 juta perempuan dan anak diperdagangkan per tahun (Majalah Tempo, 10 Juli 2003).

Di mana tanggung jawab negara?
Apakah hukum negara kita terlalu lemah sehingga tidak bisa melindungi warga negaranya? Atau negara kita yang sebetulnya tidak memiliki keberanian untuk melindungi hak-hak warga negaranya?

Dalam banyak kasus, negara terbukti tidak bisa berbuat apa-apa. Kasus-kasus yang menimpa buruh migran kerap kali menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan proses dan status hukumnya. Bahkan, negara terkadang malah cuci tangan, tidak berani berurusan dan berhadapan dengan bangsa lain.

Padahal, kasus yang menimpa Sumiati——begitu juga yang selama ini menimpa buruh migran lainnya—— tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi sudah menyangkut keadilan, kemanusiaan, dan harga diri sebuah bangsa. Negara seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyatnya. Tanpa ada jaminan perlindungan dan keamanan dari negara, buruh kita hanya menjadi budak bagi bangsa-bangsa lain.

Seperti yang terjadi di Arab Saudi baru-baru ini. Salah satu surat kabar di sana menginformasikan banyaknya TKW Indonesia yang dijadikan budak seks majikannya. Naifnya, ulama di sana malah melegalkan tindakan tersebut. Dan lebih ironis lagi, itu terjadi di negara Islam yang mengaku berlandaskan syariat Islam—— yang sebetulnya bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri (http:www.alarabiya.net).

Di samping nasibnya yang kurang beruntung, kebanyakan buruh migran, terutama perempuan, kerap kali dipekerjakan di sektor-sektor yang sebetulnya “tidak menguntungkan”, semisal pegawai rumah tangga, baby sitter, PSK, pelayan toko atau bar. Gaji yang mereka dapatkan pun, menurut ukuran negara tempat ia bekerja, sebetulnya terhitung kecil.

Sebetulnya, persoalan-persoalan yang menimpa buruh migran erat kaitannya dengan tanggung jawab negara selama ini, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab ekonomi dan pendidikan. Kebanyakan buruh migran adalah mereka yang secara ekonomi kurang mampu, di samping tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya, mereka hanya diterima disektor pekerjaan yang rendah. Harusnya, ketika negara tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap buruh migran, pemerintah menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan fasilitias pendidikan untuk rakyatnya. Dengan ini, minimal mereka yang bekerja di luar negeri mendapatkan pekerjaan yang layak, sbegaimana buruh negara –negara maju yang ada di Indonesia.

Akibat negara tidak mempu memberikan hak-hak dasar (ekonomi-sosial-budaya) kepada rakyatnya, banyak warga negara yang memilih menjadi buruh migran, mencari penghidupan di negara lain yang secara ekonomi mapan. Jadi, akar masalahnya sebetulnya ada pada negara kita sendiri yang tidak mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada warga negaranya. Padahal, tidak sedikit devisa yang dihasilkan buruh migran untuk negara ini.

Namun, yang sebetulnya lebih tragis lagi, ada satu hal yang hilang dari diri kita, yaitu harga diri sebagai bangsa. Selama ini, kita hanya menjadi budak di antara bangsa-bangsa lain. Ke depan kita butuh pemimpin yang bisa mengembalikan harga diri itu.



Salam,

Jamaluddin Mohammad

Senin, 15 November 2010

Obama, Krisis Nasionalisme, dan Supremasi Amerika

Oleh Jamaluddin Mohammad

Setelah sempat ditunda beberapa kali, Barack Obama akhirnya berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dalam rangka menyambut kunjungan Presiden Amerika itu, sejumlah pengusaha “patungan” untuk membuat patung Obama (waktu) kecil setinggi 2 meter. Patung perunggu yang dipahat Edy Chaniago itu didirikan di Taman Menteng, Jakarta.

Patung seharga 100 juta itu dibuat untuk mengenang orang nomor satu Paman Sam itu sewaktu tinggal di Indonesia. Menurut Ron Mullers, Ketua Friends of Obama yang mensponsori pembuatan patung itu, bahwa patung tersebut dibuat untuk memompa semangat anak-anak Indonesia agar berani bermimpi sekaligus mampu mewujudkan mimpinya seperti Presiden Amerika itu.

Harapannya, patung tersebut mampu menghadirkan mimpi, harapan, serta cita-cita Obama dalam imajinasi anak-anak Indonesia. Namun, belum berselang lama patung itu didirikan, ternyata menuai banyak protes masyarakat Indonesia. Alasannya, Obama bukan siapa-siapa bagi bangsa Indonesia. Akhirnya, untuk mengantisipasi agar gelombang protes tidak membesar, patung tersebut dipindah ke SD Negeri Menteng 01, tempat di mana Obama pernah “mampir” di sekolah itu.

Nah, apapun maksud dan tujuan pembuatan patung itu, yang kemudian memunculkan pertanyaan banyak orang adalah, mengapa harus Obama? Apakah Indonesia tidak memiliki “orang hebat” yang juga memiliki mimpi besar dan layak diabadikan?

Di sinilah “rasa kebangsaan” itu kemudian mengusik kita. Obama tiba-tiba hadir sebagai “orang lain” (the other) yang membangunkan “rasa kebangsaan” kita. Timbulnya kesadaran kebangsaan itu bukan semata karena Obama keturunan Amerika―――yang secara geografis maupun budaya jelas-jelas berbeda――― melainkan karena “citra diri” yang tampil dan tercermin dari sosok Obama betul-betul bukan watak dan identitas diri kita sebenarnya. Singkatnya, Obama terlalu “asing” dan terlampau jauh bagi pikiran kita, apalagi untuk ditanamkan pada anak-anak kita.

Barack Obama dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Meskipun masa kecilnya pernah hidup dan sempat mencicipi bangku sekolah di Indonesia, tetapi riwayat hidupnya lebih banyak dihabiskan di Amerika. Obama hanya “singgah” sebentar, sekitar empat tahun. Itupun bukan atas dasar “pilihannya” sendiri, melainkan karena mengikuti orang tuanya. Prestasi dan karir hidupnya tidak didapatkan dari Indonesia. Pendidikannya, sesuatu yang banyak membentuk dan mempengaruhi Obama, lebih banyak ditempuh di tempat kelahirannya. Singkatnya, Obama bukan “aseli buatan dalam negeri” dan bukan siapa-siapa bagi Bangsa Indonesia.

Supremasi Amerika

Menarik apa yang disampaikan William Liddle sehari sebelum Obama datang ke Indonesia. Dalam artikelnya di salah satu media nasional, ia menilai bahwa di mata Amerika Indonesia tidaklah memiliki posisi strategis dan bargaining apa-apa (Kompas, 03/11). Pengamat politik kawakan dari negeri Paman Sam itu menilai selama ini sumber daya politik yang dimiliki Indonesia untuk melawan atau membantu Amerika dibanding negara-negara lain masih cukup lemah.

Sehingga, dalam kaca mata kepentingan Amerika, Indonesia tidaklah memiliki nilai dan keuntungan apa-apa. Ini disebabkan karena selama ini negara kita hanya menjadi “kacung” bagi negara Paman Sam itu.

Hal ini ditunjukkan, salah satunya, lewat patung Obama yang dibuat untuk “menyenangkan” orang nomor satu di Amerika itu. Keberadaan patung itu justeru semakin mempertegas suprerioritas dan supremasi Amerika di negeri ini. Seolah-olah patung tersebut menjadi kiblat sekaligus pusat orientasi kita.

Sejatinya bukan patung itu yang menyulut protes sebagian masyarakat Indonesia. Melainkan “citra diri” yang dipantulkan oleh patung itu. Apalagi, secara eksplisit, patung tersebut ditunjukkan untuk memompa semangat dan cita-cita anak-anak Indonesia agar berani bermimpi sebagaimana presiden kulit hitam pertama di Amerika itu. Yang menjadi persoalan, kenapa yang ditampilkan dan yang dijadikan suritauladan adalah “orang lain”. Bukankah malah akan menjauhkan anak-anak kita dari akar sejarahnya, identitas dan karakter kebudayaannya, mengingat Obama tidak muncul dan berakar dari masa lalu kita.


Miskin Nasionalisme

Pangkal soalnya adalah krisis nasionalisme yang melanda bangsa ini. Di tengah-tengah dunia yang semakin mengglobal───di mana batas-batas negara-bangsa melebur───nasionalisme tetaplah penting, terutama untuk mempererat dan mempertegas kohesi sosial, cita-cita politik, sekaligus mengkonsolidasikan “mimpi bersama” (dreaming together).

Nasionalisme tidak hanya berkaitan dengan batas-batas negara (batas fisik maupun psikis). Nasionalisme terletak pada soal rasa, menyentuh ranah psikologis, alam bawah sadar, ego. Justeru bermula dari “rasa kebangsaan” itu timbul kepekaan, keperihatinan, serta tanggung jawab bersama senasib sepenanggungan. Di sinilah pentingnya membangun “rasa bersama” itu.

Sekarang ini, rasa kebangsaan itu sedikit demi sedikit mulai memudar. Kita tidak lagi mengenal identitas dan karakteristik kebudayaan kita yang membentuk sekaligus mengikat kita. Justeru kita mulai curiga terhadap sesama kita, saling berebut dan memangsa antara satu dengan lainnya. Kekerasan agama muncul di mana-mana, korupsi merajalela, ketidakadilan menjadi tontonan biasa. Padahal, sejak dulu kita adalah bangsa yang memiliki banyak identitas kebangsaan (heterogen), solidaritas sosial yang kuat, gotong royong, dan saling membantu. Dan semuanya runtuh diakibatkan krisis nasionalisme di mana semuanya bermuara dari hilangnya “rasa kebangsaan”.

Jadi, krisis nasionalisme itu tidak hanya ditandai oleh hilangnya kecintaan terhadap negeri sendiri yang menyebabkan merangseknya produk dan kebudayaan luar yang dikonsumsi secara mentah-mentah oleh masyarakat kita. Krisis nasionalisme yang paling akut adalah hilangnya identitas dan solidaritas bersama atas nama bangsa dan negara.

Inilah, saya kira, kunjungan Obama kali ini haruslah dimakna sebagai penegasan kembali posisi Indonesia di mata Amerika. Indonesia harus menjadi negara yang mandiri, terbebas dari intervensi asing, dan mampu menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Wallahu a'lam bi sawab