Senin, 21 Juni 2010

SEPAK BOLA API



Oleh: Jamaluddin Mohammad


Dalam satu bulan terakhir perhatian miliaran penduduk bumi tertuju ke Afrika Selatan, tempat pertandingan sepak bola dunia digelar. Sejumlah negara bertanding guna memperebutkan piala bergilir World Cup. Pemain-pemain tangguh dunia saling beradu dan mempertontonkan kepiawaian dan kelincahan mereka bermain dan memainkan si kulit bundar hingga menembus gawang musuh.


Olah raga Sepak Bola diperkirakan sudah ada semenjak 2-3 abad SM. Ia berasal dari China. Awalnya, di sana disebut Tsu Chu. Tsu berarti “menendang bola dengan kaki”. Sedangkan Chu artinya “bola dari kulit dan ada isinya”. Selanjutnya, permainan ini menyebar ke seluruh pelosok dunia dan paling digemari banyak orang.


Namun, berbeda dengan Tsu Chu yang bolanya terbuat dari kulit dan di dalam berisi angin, santri-santri Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin biasa bermain sepak bola yang bolanya terbuat dari api. Setiap menjelang Akhirussanah, santri-santri di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon merayakannya dengan pentas seni sepak bola api. Di pondok pesantren yang didirikan pada 1715 M itu, permainan ini sudah mentradisi sejak tahun 50an di.


Sepak bola api sebetulnya tidak jauh berbeda dengan sepak bola pada umumnya. Hanya saja, bolanya terbuat dari buah kelapa yang sudah kering, kemudian dikuliti lapisan luarnya. Setelah itu, di rendam di minyak tanah selama beberapa minggu. Pada saat akan dimainkan, bolanya dibakar dan dimainkan ketika menyala.


Berbeda dengan sepak bola biasa, sepak bola api tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, keberanian, kecerdikan, kepiawaian serta ketangkasan dalam memainkan bola, melainkan harus dibekali ketangguhan psikis dan kekuatan spiritual. Sebelum bermain, para santri harus melewati “ritual khusus” agar tahan panas dan tidak mempan api.


Mereka harus berpuasa selama 21 hari, mengamalkan aurad-aurad (wiridan/bacaan) tertentu, yang dibaca di waktu-waktu khusus, menghindari makanan-makanan yang dimasak dengan api (bila al-nar), mengandung unsur nyawa (bila al-ruh), dan biasanya diakhiri dengan “matigeni” (puasa satu hari satu malam tanpa tidur).


Setelah melewati ”ritual” tersebut, para santri memiliki kekuatan tahan panas dan tidak mempan api, sehingga dengan leluasa menendang, memegang, bahkan menyundul bola api tanpa merasakan panas, gosong, apalagi terbakar. Seolah-olah api itu sudah “ditundukkan” dan “dijinakkan” sehingga tidak lagi berbahaya, malah dijadikan tontonan dan permainan.


Biasanya, sebelum pertandingan bola api dimulai, para santri mementaskan segala permainan yang berhubungan dengan api, misalnya tongkat api, menggoreng pisang dengan tangan telanjang, hingga “mandi petasan” (melilitkan petasan renteng sebesar jempol kaki ke sekujur tubuh kemudian ditabuh).


Permainan-permainan tersebut seakan telah membalik ketentuan dan keteraturan hukum alam. Api yang seharusnya panas dan membakar, tidak lagi tunduk dan patuh pada asal kejadiannya.


Meneladani kisah Nabi Ibrahim AS

Dalam Islam, fenomena seperti itu sebetulnya sudah ada preseden sejarahnya, sebagaimana yang diceritakan di dalam a-Quran Surat Al-Anbiya. Waktu itu, Nabi Ibrahim AS dibakar hidup-hidup oleh Namrud, Raja Mesopotamia, karena dianggap telah menghina dan menghancurkan “tuhan-tuhan” mereka berupa Berhala.


Nabi Ibrahim dihukum dengan cara dibakar hidup-hidup. Namun, dalam kobaran dan jilatan api, Nabi Ibrahim malah menggigil kedinginan. Allah SWT, melalui Jibril, memerintahkan pada api agar menjadi dingin dan memberikan keselamatan pada kekasihnya itu (QS. Al-Anbiya 69)


Ismail Haqi dalam “Ruh al-Bayan” menceritakan: semenjak kejadian itu, dalam beberapa hari api tidak lagi panas (dingin). Nabi Ibrahim berada di dalam kobaran api sekitar 40-50 hari. Namun, di tengah-tengah kepungan dan gumpalan api, Ibrahim malah mendapatkan pengalaman terindah dalam hidupnya. “Tidak ada kehidupan yang paling indah selain ketika aku berada di dalam api,” kata Ibrahim.


Sementara, Ibnu Katsir mencoba memberikan alasan tidak terbakarnya Nabi Ibrahim. Menurutnya, api adalah dzat (substansi), sedangkan potensi yang dihasilkan api, semisal “panas” dan “membakar” adalah sifatnya (aksiden). Tidak terbakarnya Ibrahim karena Allah SWT sebagai Prima Cause (penyebab pertama) sudah melepaskan sifat-sifat tersebut, tetapi tetap membiarkan dzatnya berupa sinar dan nyala api.


Berbeda dengan panafsiran mainstream, Ibnu Arabi memahami peristwa dibakarnya Nabi Ibrahim bukanlah peristiwa sebenarnya. Kejadian itu bukanlah peristiwa historis yang mengacu pada realitas kongkrit. Menurutnya, ayat itu berbicara tentang perjalanan spiritual (al-wushul hal al-fana’) menuju panyatuan dengan Tuhannya. Api yang yang digambarkan dalam ayat itu adalah api cinta (al-isyq) yang membakar seseorang ketika melihat alam malakut.


Apapun pendapat dan interpretasinya, kejadian suprahuman dan supranatural seperti yang dialami Ibrahim, dalam Islam dikenal dengan nama mukjizat. Mukjizat diberikan Allah SWT kepada Nabi-Nabi-Nya sebagai bentuk legalitas kenabian sekaligus sebagi senjata untuk menundukkan dan mengalahkan musuh-musuh-Nya. Salah satunya mukjizat Nabi Ibrahim berupa kekebalan terhadap api.


Menurut Abu Zahrah, selain mukjizat Nabi Muhammad SAW berupa al-Quran, mukjizat Nabi-Nabi sebelumnya bisa bisa ditiru (dipelajari) dan dipraktikkan oleh umat Nabi Muhammad SAW. Nah, apa yang dilakukan santri-santri di Babakan, Ciwaringin, Cirebon merupakan hasil belajar dari kisah dan teladan yang dilakukan Ibrahim.


Bukan tontonan tapi tuntunan

Suatu ketika sebuah stasiun televisi swasta melakukan liputan khusus pertandingan sepak bola api untuk ditayangkan pada program khusus di televisi tersebut. Di tengah-tengah permainan, tiba-tiba host acara tersebut yang kebetulan orang Bule meminta ikut pertandingan. Tanpa puasa dan tanpa melewati ritual khusus, si Bule berbaur mengikuti pertandingan sampai selesai. Ternyata, ia tidak gosong juga tidak terbakar. Mengapa?


Memang, permainan sepak bola api bukanlah satu-satunya tradisi milik santri di Pesantren Babakan Ciwaringin, melainkan di daerah-daerah lain di Indonesia juga mempunyai tradisi yang sama. Bahkan, di daerah tertentu, bola api dimainkan oleh anak-anak kecil. Namun, rata-rata menggunakan trik dan kecepatan kaki sehingga tidak panas dan tidak sampai terbakar.


Dengan demikian, kalau hanya sekadar tontonan dan hiburan, bola api bisa dimainkan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Sebagaimana ketika pemodal (media massa) mengambil alih tradisi ini sebagai sebuah komoditas yang diproduksi, direproduksi secara massal, ia tidak lagi memiliki makna apa-apa selain sebuah “pertunjukan” yang berorientasi materi.


Tetapi, bagi santri-santri di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, sepak bola api bukanlah sekadar tontonan yang menghibur, melainkan mengandung sebuah tuntunan, pesan dan dakwah. Untuk memainkan permainan langka ini, para santri harus melakukan latihan spiritual (riadloh), seperti puasa dan menghindari makanan-makanan tertentu.


Dalam diri setiap manusia terdapat unsur (anasir) api. Api adalah nafsu yang membakar, menghuni, sekaligus menguasai setiap manusia. Orang yang membiarkan dirinya terbakar oleh nafsu, maka seluruh sikap, prilaku, dan tindakan akan berpotensi merusak. Sehingga, timbulah kekacauan (chaos), kerusakan, ketidakstabilan, dan disharmoni.


Oleh karena itu, agar hidup manusia tidak didikte dan dikendalikan oleh nafsu, maka ia harus dijinakkan dengan cara berpuasa dan melakukan keselarasan dan keseimbangan (harmoni) dengan alam (pantangan memakan makanan yang mengandung unsur nyawa dan dimasak dengan api). Dengan ini, terjadilah keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan hidup dan kehidupan (back to nature).


Bola api, bagi santri-santri Babakan Ciwaringin, adalah semacam ritual olah batin atau latihan spiritual yang tujuannya untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan, sekaligus menunjukkan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, yang dikemas dalam bentuk olah raga dan hiburan.


Lantas, bagaimana dengan sepak bola biasa? Makna apa yang bisa kita petik dari permainan ini?


Sekian. Wallahu a’lam bi sawab.

Senin, 07 Juni 2010

HABIB DJOKO

Judul buku : Habib Palsu Tersandung Cinta

Penulis : Ubay Baiquni

Penerbit : Pinus Book Publisher

Cetakan : cetakan 1, Januar 2010

Ukuran/hal : 12 x 19 cm, 234 Hal



Ketika membaca novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” yang ditulis Baiquni, ingatan saya jatuh ke tahun 2002-an saat masih berada di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Saya memiliki seorang teman bernama Djoko. Ia pernah mengguncang salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur itu. Namun, nasibnya sungguh tragis. Sebulan lagi tamat sekolah pesantren, ia dipaksa meninggalkan pondok. Sebelum diusir, ia diarak keliling pondok, dihujani caci-maki ribuan santri, dipukuli sampai berdarah-darah hingga nyaris mati.



Pasalnya, ia telah melakukan kesalahan, yang menurut ukuran pesantren, termasuk salah satu “dosa besar”: ia mengaku habib. Habib (di Jawa Timur disebut Ayik, di Jawa Barat Ayip. Keduanya berasal dari Syarif yang artinya Mulia/Yang Mulia) adalah sebutan untuk kerabat Nabi Muhammad SAW. Dalam budaya pesantren, habib menempati strata sosial paling tinggi. Habib berada di atas Gus, sebutan untuk keturunan kiai. Habib sangat dihormati, disegani, sekaligus ditakuti banyak orang. Tidak sedikit yang meyakini doanya maqbul, bebas “sensor” Tuhan, sehingga banyak yang meminta doa dan berkahnya. Segala kata-katanya dianggap doa. Karena itu, tidak sembarang orang berani menyinggung perasaannya, menghina apalagi sampai mencaci-maki, bisa-bisa kuwalat.



Banyak yang meyakini, darah Nabi SAW yang mengaliri sekujur tubuh setiap habib membuatnya “kebal syariat” dan tidak mempan api neraka. Sehingga, apapun yang dilakukan habib, baik ataupun buruk, tidak ada yang berani menegur, mengingatkan, apalagi sampai memarahi. Mungkin, inilah yang marangsang Djoko mengaku sebagai habib.



Awalnya, Djoko meniti karir sebagai penjaga warung kiai (ndalem). Pertama kali saya mengenalnya, Djoko seorang pendiam, ramah, meski pelit membagi senyum. Dari sini tidak ada tanda-tanda aneh. Ia hidup layaknya santri biasa: pagi hari sekolah madrasah, siangnya musyawarah, agak sore ngaji ngapsai (memaknai) kitab, menjelang malam ia mendapat giliran menjaga warung, dan seterusnya.



Namun, saya sempat kehilangan dia. Biasanya, menjelang tengah malam sehabis sekolah, saya dan kawan-kawan cangkruan (nongkrong sambil ngobrol-ngobrol dan membawa sisa diskusi di kelas) di warung Djoko, sambil menikmati kopi Brontoseno, salah satu kopi kesukaan santri Lirboyo karena racikannya yang halus sehingga mudah dibuat cete (mengecat sebatang rokok dengan ampas kopi) untuk menambah cita-rasa rokok. Rasanya nikmat sekali.



Satu tahun dia menghilang tak diketahui di mana rimbanya. Teman-temannya, termasuk saya, merasa kehilangan. Kepergiannya meninggalkan banyak cerita. Ada yang menyebut dia pindah pondok ke salah satu pesantren di Pasuruan. Ada lagi yang mengatakan bahwa dia kembali lagi ke habitat awalnya sebagai pedagang asongan di salah satu terminal di Sidoarjo. Juga ada yang bercerita bahwa dia bertapa di Gunung Lawu, meminta pesugihan. Namun, tidak satupun cerita-cerita tersebut yang menarik perhatianku. Satu-satunya keyakinan saya waktu itu, kondisi ekonominya yang buruk menyebabkan dia tak mampu meneruskan sekolahnya, apalagi untuk membeli kitab-kitab, dan membayar uang pondok.



Setahun kemudian Djoko datang lagi ke pondok dengan “bajunya” yang baru, gaya dan penampilan 300 persen berbeda. Ia suka bercerita, berdiskusi, dan obrolannya banyak dibumbuhi kata-kata Arab, seperti bahlul, harem, jama’ah, ahwal, qahwah, jid, dst. Ia tidak lagi menyebut “aku-awa’mu” (aku-kamu), melainkan “ane-ente”. Yang lebih mengagetkan banyak teman-temannya, menurut pengakuannya, ia seorang habib. Nama aselinya Muhammad bin Muhammad As-Segaf, salah satu marga habib paling bergengsi. Ia membuat pohon silsilah berukuran besar yang dipampang di biliknya. Banyak photo-photo habib berukuran besar menghiasi tembok kamarnya. Ia sering membawa orang-orang berhidung mancung dan berperawakan Arab ke pondok untuk dikenalkan kepada teman-temannya.



Untuk meyakinkan bahwa ia betul-betul habib, keturunan Arab aseli, ia menyuntik silicon dihidungnya agar kelihatan mancung. Di HP-nya (waktu itu masih sangat jarang orang memilikiHP) banyak berjejer nomor-nomor telepon habaib (bentuk plural dari habib) dan Syrifah (sebutan untuk perempuan keturunan Nabi SAW).



Semenjak itu namanya mulai harum dan dikenal banyak orang. Seperti halnya gus dan habib-habib, ia mulai mendapat perlakuan istimewa, previllage, ditempatkan di kamar khusus, disegani, dihormati, dan mulai disebut-sebut banyak santri, pengurus dan keamanan pondok. Ia mendapat dispensasi dan pengecualian untuk “melanggar” peraturan pondok, seperti membawa alat-alat elektronik, keluar-masuk komplek pondok tanpa izin, jarang masuk sekolah, dll. Meskipun demikian, ia tetap memilih menjadi ndalem, penjaga warung kiai, bahkan naik menjadi pimpinan warung.



Di Pondok Pesantren Lirboyo, untuk pertama kalinya, Djoko mendirikan “Jamaah Habaib(perkumpulan khusus habib) yang diketuai langsung oleh dirinya. Anggotanya para habaib yang ada di pondok tersebut. Tujuannya untuk melindungi kepentingan-kepentingan habaib. Setiap bulan mengadakan perkumpulan-perkumpulan. Sejak itu, eksistensinya semakin mantap dan diakui banyak santri



Suatu ketika, Djoko pernah bercerita kepada saya, bahwa dia pernah keliling silaturahim ke habib-habib yang ada di Jawa-Madura, sekaligus meminta barangkali punya anak perempuan yang mau dikawinkan dengannya. Bahkan, waktu itu saya sempat mendengar Djoko akan mengawini salah satu syarifah di Kaliwungu, Semarang. Namun, rencana perkawinan itu kandas di tengah jalan. Djoko sempat berseloroh, bahwa dia kehilangan selera terhadap perempuan-perempuan ahwal (bukan habib). Sehingga ia mencari syarifah yang cocok buat dirinya.



Menurut penuturan kawan saya, ceritanya begini: pada mulanya keluarga syarifah sudah menyetujui dan tinggal menentukan tanggal perkawinan. Hanya, untuk memastikan bahwa Djoko betul-betul keturunan habaib, pihak keluarga meminta Djoko menunjukkan asal-usul dan silsilah ke-habibannya. Djoko tidak keberatan. Ia segera menyerahkan secarik kertas bergambar pohon silsilah dari mulai Nabi Muhammad SAW sampai kepada dirinya.



Seminggu kemudian, pihak keluarga mengaku pohon silsilah itu hilang dan meminta Djoko untuk memberikannya kembali. Djoko pun tidak keberatan. Namun, setelah dicocokkan antara pohon silsilah pertama dan kedua, ternyata banyak perbedaan. Akhirnya, keluarga habib itu ragu dan membatalkan rencana mengawinkan anak putrinya. Djoko kecewa dan sempat “stress” berat. Apalagi, menurut pengakuannya, keduanya sudah cocok dan saling mencintai. Perbedaan kasta dan status sosial menyebabkan keduanya harus membunuh cintanya.



Dalam tradisi habaib, seorang syarifah harus kawin dengan jama’ah/alawiyyin (sesama habib), agar silsilahnya tidak terputus. Apabila syarifah kawin dengan “orang biasa” (ahwal), maka anak-keturunanya tidak diakui sebagai habib, melainkan akan menjadi orang biasa. Berbeda bagi laki-laki, nasabnya tidak akan terputus meskipun kawin dengan orang biasa (patriarchal). Anak-cucunya akan terus menjadi habib.



“Penyamaran” habib Djoko terbongkar lantaran terjadi insiden kecil. Salah satu anggota Jamiyyah Habaib yang dibentuknya melanggar peraturan pondok dan hendak di ta’zir dengan disiram air kotor di hadapan banyak orang (biasanya di tengah lapangan dan ditonton ribuan santri). Sebagai ketua, ia merasa terkena beban moral dan bertanggung jawab melindungi anak buahnya. Djoko menyelamatkan anak buahnya dari tangan keamanan pondok. Di tengah-tengah kerumunan santri yang hendak menonton proses penta’ziran, Djoko memaki-maki, mengumpat, dan memarahi keamanan pondok yang saat itu mau menta’zir anak buahnya. Lantaran takut kuwalat, saat itu juga “eksekusi” dibatalkan.



Namun, persoalannya tidak berhenti sampai di situ. Justeru bermula dari kejadian itu, karena merasa “ditelanjangi” di hadapan banyak orang, kemanan pondok membuat panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki ke-habiban Djoko. Mungkin, inilah pertamakalinya sepanjang sejarah seorang ahwal mencurigai dan melakukan penyelidikan terhadap keturunan seorang habib. Pertama-tama, mendatangi rumah Djoko dan menanyakan kepada orang tuanya apakah benar ia seorang habib. Ternyata, ayahnya adalah seorang pengamen “tiga senar” (gitar yang memiliki tiga senar). Bahkan, dia tidak tahu habib itu apa.



Begitu diketahui Djoko bukan seorang habib, ia ditangkap dan diintrogasi keamanan pondok. Awalnya, meskipun di bawah tekanan, ancaman, bahkan bogem mentah keamanan pondok, Djoko tetap bersikukuh mengaku dirinya seorang habib. Bahkan, ia masih sempat nyupatani, menghina dan mengancam orang-orang yang mengintrogasinya. Namun, setelah orang tuanya dihadirkan, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia pasrah tubuhnya jadi bulan-bulanan santri yang selama ini merasa telah ditipu dan dibohonginya.



***



Dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Baiquni berhasil menceritakan kisah tersebut dengan sangat menarik. Meskipun tidak tunduk pada kejadian sebenarnya, Baiquni mengambil inspirasi sekaligus merekonstruksi cerita tersebut dengan gaya bertutur dan gaya berceritanya yang khas. Jalan ceritanya sederhana, mengalir, dan mudah diikuti, menjadi kekuatan tersendiri bagi novel perdananya ini. Baiquni juga berhasil membumbui cerita tersebut dengan imajinasinya, mendramatisasi plot-plot cerita tertentu, sehingga alur ceritanya tidak kaku dan saklek.



Novel ini bercerita tentang dunia pesantren, tradisinya, juga pernak-pernik yang hidup di dalamnya. Secara khusus, novel ini menceritakan salah satu tradisi pesantren berupa penghormatan, pengistimewaan, bahkan pada taraf tertentu “pemujaan” terhadap habaib. Penulisnya melihat celah dari tradisi itu yang menyebabkan terjadinya “penyalahgunaan” dari orang-orang tertentu untuk mendapatkan kekayaan, penghormatan, bahkan kekuasaan melalui “pemalsuan” habib. Ia menggambarkan melalui tokoh Haedar sebagai “orang biasa” yang kemudian berevolusi menjadi habib setelah dia melihat betapa seorang habib dihormati, ditakuti, dan diperlakukan istimewa.



Kelebihan lain dari novel ini adalah, ia ditulis oleh “orang dalam” yang betul-betul merasakan aroma dan denyut nadi kehidupan pesantren. Sejak kecil Baiquni tumbuh dan dibesarkan dalam dunia santri, belajar dan menuntut ilmu dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Ia merekam seluruh pengalamannya ke dalam novelnya ini. Sayangnya, dalam novel ini, Baiquni tidak menawarkan apa-apa, terlebih memberikan penilaian ataupun kritik terhadap tradisi pesantren berupa penghormatan berlebihan terhadap habib/gus.



Bahkan, terlihat dari judulnya saja, Baiquni terkesan lebih mempertajam dikotomi habib/non-habib, memprioritaskan habib dan terlalu mendiskreditkan non-habib. Singkatnya, novel ini terkesan rasis dan tendensius!



Padahal, novel ini akan akan lebih menarik kalau Baiquni, misalnya, memberikan dan menawarkan semacam tesis baru terhadap makna habib. Semisal, jika selama ini diyakini bahwa habib adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis laki-laki, bukankan satu-satunya anak keturunan beliau yang berhasil melahirkan banyak keturunan adalah Khadijah?



Mungkin, bertolak dari sinilah, mengapa para ulama memberikan makna beragam terhadap habib. Syafii menyebut habib sebagai keturunan Hasyim dan Muthollib (Bani Hasyim dan Bani Muthollib). Pendapat lain mengatakan keturunan dan keluarga Nabi Muhammad SAW. Sementara yang lain (golongan ulama muhaqiqin) mengatakan seluruh umat Islam adalah “keluarga” Nabi SAW.



Harapan saya, Baiquni akan menulis lagi kelanjutan novel ini dengan lebih tajam dan mengigit. Kalau Dan Brown dalam “The Davinci Code” berhasil mengungkap rahasia di balik makna “Holy Grail” (cawan suci yang digunakan Yesus untuk meminum anggur) yang artinya istri Yesus alias Maria Magdalena. Dengan demikian, berarti Yesus memiliki isteri dan keturunan, sehingga meruntuhkan tesis dan bangunan keyakinan Gereja selama ini. Maka, di novelnya yang baru, Ubay menawarkan tesis baru pada makna habib di luar atau bahkan menyempal dari makna kebanyakan. Apapun hasilnya, kita berharap semua orang mau mengapresiasinya, bukan menghakimi atau menghujatnya. Semoga!




Salam,


Jamaluddin Mohammad