Minggu, 07 Oktober 2007

Ulama Pewaris Para Nabi

Oleh Jamaluddin Mohammad

Di bulan Ramadhan ini telinga kita terlalu sering mendengar ceramah para da’i, ustadz-ustadz, dan mubaligh-mubaligh di televisi, radio, atau mimbar-mimbar tarawih. Setiap habis Isya’ masjid-masjid selalu dipenuhi oleh para jamaah yang hendak melakukan “ritual tahunan” salat tarawih. Majlis-majlis dzikir selalu penuh dan tidak pernah sepi dari jamaah. Seolah-olah kita betul-betul tengah hidup di “bulan suci” yang dipenuhi hikmah dan nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan.

Namun, di balik fenomena maraknya semangat keberagamaan yang kita saksikan di bulan yang penuh hikmah ini, realitas di belakang kita sungguh bertolak belakang. Banyak sekali saudara-saudara kita yang masih dihimpit kesulitan hidup, kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan ketidakadilan. Agama seolah-olah tidak bisa memberikan jawaban dan penyelesaian apa-apa. Agama mandul ketika dihadapkan pada realitas sosial yang sesungguhnya.

Lantas, apakah selama ini agama hanya sekedar untuk didakwahkan? Kalau begitu, apa gunanya Allah SWT mengutus 124.000 nabi kalau hanya untuk menghibur (al-ibsyar) dan menakut-nakuti (al-indzar) umat manusia? Apa sebetulnya fungsi agama bagi kehidupan manusia? Bagaimana agama memandang manusia dan kemanusiaan?

Oleh sebab itu, penting sekali merumuskan kembali peran serta fungsi ulama (ustadz, kyai, pemuka agama) sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mensosialisasikan, mempromosikan dan memfungsikan agama kepada umat manusia pasca nabi-nabi.

Ulama: pewaris para Nabi
Secara bahasa “ulama” merupakan bentuk jamak (plural) dari ‘alim yang berarti “orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, atau ilmuan. Dalam Al-Qur’an, kata “ulama” disebut sebanyak dua kali, yakni QS Al-Syu’ara (26): 197 dan QS Fathir (35): 28. Nabi Muhammad SAW pernah berujar bahwa “ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi). Ulama juga disebut-sebut sebagai “pemegang amanat Allah atas makhluk-Nya” (HR. Al-Qudla’i dan Ibnu ‘Asakir), dan “pemimpin panutan ummat” (HR. Ibnu Hajar).

Ini menunjukkan betapa mulia kedudukan ulama sampai Nabi SAW sendiri memposisikan mereka menggantikan peran dan fungsi nabi-nabi. Apa sebetulnya peran dan fungsi nabi? Sejarah para nabi adalah sejarah pembebasan, perjuangan dan pergulatan melawan ketidakadilan, merubah tatanan sosial-budaya yang korup, selalu berpihak pada golongan lemah, dan berorientasi pada transformasi sosial yang berkeadilan, egalitarian, kemaslahatan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kita bisa berkaca pada sejarah Nabi Ibrahim yang membebaskan umatnya dari “berhala-berhala” yang merenggut kebebasan manusia (QS Ibrahim [14]: 35). Berhala adalah simbol dari keterbelengguan manusia terhadap “idola-idola”. Idola, sebagaimana yang dikatakan Sir Francis Bacon, adalah semacam rintangan yang menghalangi kemajuan manusia. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola bisa merasuki pikiran kita sehingga kita enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis. Misi Nabi Ibrahim pada waktu itu adalah membebaskan umatnya dari idola-idola yang dapat menghalangi mereka dalam membaca realitas objektif dengan jernih dan kritis.

Begitu juga dengan Nabi Musa yang berani melawan dan menantang Firaun, penguasa tiranik dan despotis (taghut, QS Thaha [20]: 24), yang merampok hak-hak, martabat dan kebebasan rakyat (QS Al-Baqarah [02]: 49)। Atau Nabi Isa yang menebarkan kasih sayang dan melakukan pembebasan bagi umat manusia. Di samping itu, kita juga bisa menengok pada sejarah Nabi Muhammad SAW yang konsisten melawan ketidakadilan sistem sosial-budaya masyarakat Arab waktu itu. Ini adalah sebagian dari sunnah para Nabi. Teladan dan perjuangan seperti ini yang sepatutnya dilakukan para ulama selaku pewaris para nabi.


Kemandulan ulama terjadi karena mereka tidak lagi memainkan peran dan fungsinya di masyarakat. Mereka tidak lagi melakukan dakwah sebagaimana yang dipraktikkan oleh nabi-nabi. Justru yang kita saksikan saat ini, dakwah dijadikan sebagai sarana untuk meraih keuntungan materi. Dakwah bukan lagi sebuah panggilan agama atau dorongan kewajiban dan tanggung jawab seorang da’i. Sehingga yang terjadi adalah “politisasi dakwah”. Model ulama seperti ini yang disinggung Al-Qur’an sebagai “orang yang telah menjual ayat-ayat Tuhan (kitab suci) dengan harga yang sangat murah”. (QS Al-Baqarah (2): 174)

Lebih celaka lagi, banyak sekali ulama yang “melacurkan diri” menjadi politisi dan memanfaatkan umatnya untuk kepentingan-kepentingan sesaat, seperti Pemilu/Pilkada. Padahal, Nabi SAW sangat mengecam prilaku ulama seperti itu. “Ulama adalah pemegang amanat para Rasul selama mengambil jarak dari kekuasaan. Jika mereka mendekati pusat kekuasaan, maka sesungguhnya telah menghianati para Rasul. Karena itu, jauhi dan tinggalkan mereka!”, tegas Nabi SAW (HR. Anas)

Ulama yang hanya mementingkan kepentingan individu dan mengambil jarak dengan masyarakat oleh Imam Al-Ghazali disebut sebagai ulama su’ (ulama yang buruk). Al-Ghazali membagi ulama ke dalam dua kategori: ulama su’ dan ulama akhirat. Yang pertama adalah ulama yang hanya disibukkan dengan mencari kekayaan dan kekuasaan. Sebagai antitesisnya adalah ulama akhirat yang memiliki sifat dan karakteristik sebaliknya. (Abu Hamid Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, juz I hal 80)

Ulama su’ menganggap kekuasaan dan kekayaan sebagai tujuan. Berbeda dengan ulama akhirat yang menjadikan keduanya sebagai “musuh” yang harus dilawan. Dengan berpaling dari kekuasaan dan kekayaan, seorang ulama akan betul-betul merasakan penderitaan, kemiskinan, ketertindasan sebagaimana yang dialami oleh mereka yang tertindas, (di)miskin(kan), dan (di)lemah(kan), mustad’afin. Sehingga, pada akhirnya, akan bersama-sama menghimpun kekuatan untuk melawan pemiskinan dan penindasan itu.

Maka, sudah saatnya kita harus mengembalikan fungsi, peran serta kedudukan ulama sebagai “Pewaris Para Nabi”. Agama harus diabdikan untuk tujuan dan kepentingan manusia dan kemanusiaan, yakni kemaslahatan dunia maupun akhirat (sa’adah fi al-daraen). Seperti yang dikatakan Ibnu Battal: “agama adalah teori dan aksi”(anna al-dien yaqa’u ala al-qaul kama yaqa’u ala al-‘amal). Artinya, agama harus mampu melakukan transformasi sosial-budaya dengan ulama sebagai pelakunya. Ulama sudah sepatutnya memegang peranan mulia itu.