Jumat, 11 September 2009

BOM BUNUH DIRI dan CITRA ISLAM

Oleh Jamaluddin Mohammad

Indonesia kembali diguncang bom bunuh diri. Kali ini sasarannya adalah hotel JW Marriott dan Ritz Cartlon. Puluhan orang tewas dan luka-luka dalam insiden ini.

Banyak muncul dugaan mengenai siapa pelaku di balik insiden yang menewaskan 12 orang ini. Ada yang menghubung-hubungkan dengan pemilu, kedatangan MU, hingga jaringan teroris internasional. Namun, dugaan kuat berdasarkan penyidikan kepolisian, aktornya adalah “pemain lawas” yang masih ada rentetannya dengan aksi-aksi bom sebelumnya.

Memang, semenjak persitiwa 11 September yang melululantakkan menara kembar WTC dan gendung pertahanan Pentagon, Amerika Serikat, banyak aksi bom bunuh diri yang terjadi di negara-negara muslim--- termasuk Indonesia--- selalu dikaitkan dengan jaringan terorisme internasional, bertendensi agama, dan sasarannya adalah Amerika dan Negara-Negara Barat.

Terorisme selalu dilekatkan pada mereka yang memiliki pemahan keislaman yang “keras dan radikal”, yang menganggap Amerika dan Barat sebagai “musuh Islam”. Akibat ulah mereka yang mengatasnamankan Islam, Islam menjadi agama tertuduh. Ia dianggap agama barbar, liar, intoleran, dan tidak mengenal kemanusiaan. Islam juga dituduh telah mengajarkan doktrin kekerasan terhadap pemeluknya, yaitu “Jihad”.

Sehingga, untuk “mengurangi” dan “meminimalisir” aksi-aksi kekerasan yang dilakukan segelintir umat Islam itu, pemahaman Islam tentang Jihad harus “diluruskan” dan “dibenarkan penggunaannya”. Sehingga —— melalui Ormas, LSM, dan lembaga-lembaga pendidikan —— mengalirlah program-program, paket pelatihan, hingga pentingnya membuat kurikulum tentang toleransi, bersikap inklusif, berwawasan terbuka, dst. Seolah-olah Islam tidak mengajarkan dan memiliki ajaran itu semua.

Di samping itu, banyak juga penulis-penulis Islam yang mencoba mengait-ngaitkan antara Islam dan Demokrasi, Islam dan HAM, toleransi beragama di dalam al-Quran, dll. Artinya, proses pencitraan itu tidak hanya diciptakan dan dimunculkan orang lain(the other), melainkan dipelihara, direproduksi, dan disebarkan oleh orang Islam sendiri.

Makna Jihad sepanjang sejarah
“Jihad” diambil dari akar kata “mujahadah” yang artinya “berperang demi menegakkan agama Tuhan” (al-muqatalah li-iqamati al-dien). Perintah Jihad baru dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Sebelumnya, umat Islam disuruh bersabar menerima perlakuan apapun dari orang-orang kafir.

Muhammad bin Qasim dalam “Fath al-Qarib” menjelaskan bahwa Jihad hukumnya fardu kifayah. Apabila “musuh” memasuki negara muslim, Jihad tidak lagi fardlu kifayah, melainkan fardlu ‘ain. Dalam konteks ini, Jihad dimaksudkan untuk “melindungi” dan “menjaga” umat Islam. Jihad ditunjukkan kepada mereka yang nyata-nyata menyerang dan memerangi umat Islam (kafir harb). Sebaliknya, Jihad tidak diarahkan kepada mereka yang memilih berdamai dan hidup rukun bersama umat Islam, semisal kafir dzimmi, kafir musta’man, kafir mu’ahad, dll.

Dalam konteks keindonesiaan, Jihad dalam arti berperang pernah dikumandangkan organisasi Nahdlatul Ulama dalam bentuk ”Resolusi Jihad” menghadapi Kolonialisme Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia pada 10 Nopember 1945. Ketika itu, para ulama, kiai, santri, dan masyarakat berbondong-bondong menuju medan pertempuran untuk berjihad, membela agama dan tanah air.

Namun, sebagaimana yang dikatakan Nabi SAW, Jihad dalam makna peperangan/memerangi “musuh Islam” tergolong Jihad kecil (Jihad asghor). Jihad sesungguhnya (Jihad akbar) adalah “memerangi hawa nafsu” (mujahadatu al-nafsi). Sebab, musuh yang nyata dan sesungguhnya adalah terdapat di dalam setiap orang, yaitu hawa nafsunya. Suatu ketika, sekembali dari medan pertempuran, Nabi SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Raja’na min al-jhad al-asghar ila al-jihad al-akbar” (kita baru saja kembali dari “jihad kecil” menuju “jihad besar”, yakni memerangi hawa nafsu).

Menurut Abu Bakar dalam “Ianah al-Tholibin”, Jihad (berperang) hanyalah sarana (wasail) untuk mencapai tujuan (maqasid), yaitu memberikan hidayah/petunjuk. Kata Abu Bakar, apabila tujuan tersebut bisa tercapai tanpa melalui jihad, maka itu lebih baik. Sehingga, Zainuddin al-Malibari dalam “Fath al-Muin” lebih tertarik mengelaborasi makna Jihad bukan hanya sebatas “berperang”. Katanya, “Daf’u dlararu al-Ma’sumin min al-muslimin wa dzimmiyyin wa musta’manin ja’i (mencukupi kebutuhan rakyat miskin, baik muslim, dzimmi, atau musta’man) termasuk kategori Jihad. Makna lebih luasnya adalah dengan memberikan jaminan sandang pangan, kesehatan dan pendidikan.

Inilah sebetulnya spirit dan makna Jihad yang sesungguhnya. Jihad yang benar adalah Jihad yang tidak didasarkan pada kebencian, permusuhan, dan bukan untuk menghancurkan kemanusiaan.

Nabi Muhammad SAW sebetulnya tidak suka cara-cara penyelesaian melalui peperangan. Dalam arti lain, berperang sebetulnya bukanlah tujuan Nabi SAW. Terbukti, dari delapan pertempuran yang diikuti Nabi SAW, hanya satu orang , Ubay bin Khalaf, yang mati ditangan beliau. Dan sebelum berangkat ke medan pertempuran, Nabi SAW selalu berpesan kepada bala tentaranya agar tidak membunuh para rahib-rahib yang tengah beribadah di kuil-kuil mereka, tidak boleh membunuh anak-anak, orang-orang berusia lanjut, mereka yang tidak terlibat dalam perang, merusak pohon dan membunuh binatang.

Pembajakan Makna Jihad

Akhir-akhir ini Jihad muncul dalam makna yang tunggal dan berkonotasi kekerasan. Citra Islam selalu dikaitkan dengan makna itu. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok teroris selalu dihubung-hubungkan dengan kata ini. Jihad seolah-olah hanya bermakna dan digunakan untuk membenci, memusuhi dan membunuh orang tanpa ampun.

Padahal, sudah sejak lama umat Islam mengenal dan akrab dengan kata ini. Jihad memiliki beragam makna dan penggunaan. Tergantung ruang dan waktu. Artinya, Jihad tidak selalu diartikan dengan “berperang di jalan Allah” (tentunya melalui cara dan metode yang benar seperti yang disebutkan di atas).

Jihad telah dibajak oleh segelintir orang untuk memenuhi ambisi politisnya. Mereka mengatasnamakan agama dan umat Islam untuk berperang dan melawan Barat. Padahal, mayoritas umat Islam lebih senang hidup damai, bersahabat, saling menghormati dan menghargai umat dan bangsa lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan kehidupan umat Islam di setiap negara-negara yang mayoritas beragama Islam. Hanya karena ulah segelintir orang, agama dan kehidupan umat Islam jadi ternodai.

Karena itu, untuk menetralisir kembali makna Jihad, umat Islam harus merebut kembali makna Jihad yang sebenarnya. Umat Islam tidak boleh terjebak pencitraan yang dilakukan “orang lain” (the other) terhadap makna ini. Juga harus bisa membuktikan kepada “orang lain” bahwa Jihad tidak untuk melakukan kekerasan apalagi memusuhi kemanusiaan. Caranya dengan memerangi dan membasmi terorisme, baik yang berada di luar maupun yang menggerogoti dari dalam.

Terorisme merupakan musuh bersama (common enemy) yang harus dibasmi secara bersama-sama pula. Tidak ada satupun agama yang memusuhi kemanusiaan. Agama yang anti kemanusiaan adalah musuh kemanusiaan itu sendiri. Wallahu a’lam bi sawab