Selasa, 30 Juni 2009

Melawan Kedzaliman Penguasa

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Suherni (40 tahun) meratapi tanahnya seluas sekitar 100 m2. Tak lama kemudian, kedua matanya menatap ke arah rumahnya. Rumahnya memang tidak besar, namun cukup nyaman untuk tinggal bersama keluarga.

Hampir tiap hari, wanita yang akrab dipanggil Erni, melakukan hal itu. Wajar, karena rumah dan tanahnya yang berada di Blok Atas, Desa/Kec. Ciwaringin Kab. Cirebon itu telah ditawar dengan harga yang cukup tinggi. Nilainya mencapai ratusan juta rupiah.

Rumah dan tanah Erni merupakan salah satu yang terkena gusur guna pembangunan ruas tol Cikampek-Palimanan (Cikapa). Tentu, tawaran harga yang tinggi membuat hati Erni berbunga-bunga. Jika uang ganti rugi sudah ada di tangan, seluruh kebutuhan dan cita-citanya segera terwujud.

Apa yang dirasakan Suherni, juga dirasakan 255 pemilik tanah di Desa Ciwaringin. Warga berharap pembayaran ganti rugi atas pembebasan tanah dapat cair bulan ini. (Mitra Dialog, 02/05)

***

Sengaja saya membuka tulisan ini dengan sebuah cerita yang saya kutip dari salah satu koran lokal yang ada di Cirebon. Saya akan bandingkan laporan tersebut dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat. Dalam laporannya, masyarakat——khususnya masyarakat Desa Ciwaringin Kec. Ciwaringin Kab. Cirebon——sudah menunggu dan menanti-nanti agar tanah dan rumahnya segera dibeli untuk pembangunan Tol Cikapa. Bahkan, mereka kecewa terhadap kinerja P2T (Panitia Pengadaan Tanah) yang dinilai lamban merespon keinginan masyarakat.

Desa Ciwaringin adalah salah satu Desa yang akan terkena projek jalan tol Cikapa. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Babakan yang sejak awal masyarakatnya menolak keberadaan mega projek ini. Saat ini pemerintah sedang gencar melakukan sosialisasi dan memperioritaskan pembebasan tanah di daerah ini.

Saya berkeyakinan, bahwa ini bagian dari strategi pemerintah untuk memaksa projek jalan tol. Meskipun ada desakan dari Pesantren Babakan agar jalur tol segera dipindah, karena akan membelah kawasan pesantren, pemerintah pasti akan keberatan. Nantinya, pemerintah akan beralasan karena banyak daerah sekeliling yang tanahnya sudah dibebaskan, sehingga tidak mungkin digeser atau dialihkan. Pola-pola militeristik masih digunakan pemerintah kita.

Pesantren Babakan sengaja dikepung dan diapit oleh dua Desa yang tanahnya (diperioritaskan) akan dibebaskan. Pemerintah menggunakan strategi “desa mengepung kota” untuk melumpuhkan Pesantren Babakan. Terbukti, di Desa Panjalin, Majalengka, ada sebagian tanah yang sudah dibebaskan.

Lantas, betulkah masyarakat Ciwaringin mendukung keberadaan projek ini? Sejak awal masyarakat Ciwaringin sudah diiming-imingi harga tanah yang tinggi. Mereka berharap bisa mendapatkan keuntungan lebih dari penjualan tanah dan rumahnya. Impiannya, dari uang tersebut, mereka dapat membangun rumah yang lebih bagus dari rumah sebelumnya. Jika uang tersebut`masih tersisa, mereka akan membeli kendaraan, sawah, atau bahkan naik haji. Sedari awal mereka sudah dijejali harapan dan lamunan yang menyentuh langit.

Di saat masyarakat sedang menikmati mimpinya dan berharap “ketiban pulung” (mendapatkan rezeki berlimpah secara tiba-tiba), pemerintahan Desa mengambil peluang dengan memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan pemerasan, penekanan, bahkan pemaksaan terhadap masyarakat. Misalnya, dengan menawarkan pembuatan akta tanah yang harganya berlipat-lipat (sebetulnya bukan akta tanah, tetapi semacam “legalitas” atau catatan kepemilikan tanah dari Desa yang ditanda tangani juru tulis). Bayangkan, setiap orang terkena biaya tiga juta sampai dua belas juta.

Sebelumnya, pihak Desa menakut-nakuti masyarakat yang tanahnya belum bersertifikat atau belum memiliki akta tanah, maka tanahnya akan dibayar murah, separuh harga, atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Pemerintah tidak segan-segan melakukan penggusuran paksa jika mereka menolak. Sehingga, bagi masyarakat kecil yang tingkat pendidikannya rendah dan tidak terbiasa dengan kekerasan, tidak ada pilihan lain kecuali pasrah terhadap keputusan apapun yang bakal mereka terima.

Malah berangsur-angsur situasinya dibuat terbalik: masyarakat yang pada awalnya tidak butuh menjual tanahnya, tidak mau terusir dari kampung halamannya, seolah-olah merekalah yang kebelet dan berharap banyak agar tanah dan rumahnya segera dibeli. Mereka dibuat tergantung terhadap projek ini. Meskipun nantinya meraka harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk mengorbankan tanah dan rumahnya demi memenuhi mitos “pembangunan untuk kepentingan umum” itu.

Menolak harga tanah
Namun, tiba-tiba mimpi itu buyar setelah masyarakat mengetahui daftar harga tanah yang disodorkan pihak P2T. Yang membuat mereka terperangah ternyata harga yang ditawarkan di bawah rata-rata harga pasaran. Pemerintah mematok harga di kisaran Rp. 83.000 sampai Rp. 100.000 per meter. Vareasi harga tergantung kualitas dan lokasi tanah. Padahal, berdasarkan harga pasaran, harga 1 meter tanah bisa mencapai 200-250 ribu. Akibatnya, sebanyak 170 pemilik tanah melayangkan protes ke pihak P2T.

Harga tanah yang ditaksir pihak P2T terlampau rendah, sebab berpatokan pada harga NJOP (nilai jual objek pajak) atau nilai nyata/sebenarnya, tidak merujuk pada harga pasaran. Bahkan, dalam menetapkan harga-harga tersebut, diduga kuat terdapat campur tangan broker dan spekulan tanah yang mengadakan “kongkalikong” dengan oknum pejabat pemerintah. Mereka menekan harga serendah mungkin guna maraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Terbukti, harga penawaran tanah di setiap Desa berbeda-beda. Misalnya, di Desa Galagamba, Ciwaringin, dan Desa Panjalin, Majalengka, harga tanah di sana rata-rata dipatok Rp. 25.000 sampai Rp. 27.000 m2.

Di samping itu, kecurangan juga terjadi pada saat pengukuran tanah. Tidak sedikit ukuran tanah yang tidak sesuai SPPT (surat pembayaran pajak tanah). Tanah milik Samsuri, misalnya, seharusnya berukuran 285 m2 tetapi ditulis 175 m2. Hal ini tidak saja merugikan masyarakat tetapi sekaligus membuka peluang dan kesempatan kepada aparat Desa untuk melakukan korupsi.

Kendatipun banyak terjadi kecurangan, manipulasi, bahkan tindakan kekerasan, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Aparat Desa di sana seringkali melakukan teror dan intimidasi terhadap masyarakat yang melakukan protes apalagi melawan. Tindakan represif pemerintah membuat masyarakat ketakutan dan lebih memilih bersembunyi dan membicarakannya di rumah mereka masing-masing. Hantu-hantu Orde Baru masih banyak bergentayangan di Ciwaringin.

Apa yang menimpa masyarakat Desa Ciwaringin juga terjadi di Desa-Desa lain. Bahkan, enam Desa di Kab. Majalengka sejak awal sudah menolak harga tanah yang disodorkan P2T. Ini akan menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Mereka tidak rela tanah mereka dirampas, hak-hak mereka dipangkas. Namun, saya pesimis mereka akan memenangkan dan mendapatkan hak-hak mereka. Di negeri ini, untuk mendapatkan keadilan ibarat mimpi di siang bolong

Bukan persoalan harga
Fenomena tersebut kontras dengan yang terjadi di Desa Babakan Kec. Ciwaringin Kab. Cirebon. Sebagian besar masyarakat di “kampung pesantren” ini menolak menjual tanahnya untuk pembangunan ruas jalan tol. Alasannya sederhana, tanah tersebut adalah tanah wasiat (tanah wakaf) yang hanya diperuntukkan untuk pembangunan pondok pesantren. Sehingga, berapapun harganya, mereka tidak akan melepas tanah tersebut. “Itu sudah harga mati,” kata Kiai Zamzami, salah satu kiai pesantren yang menolak menjual tanahnya kalau hanya untuk kepentingan pemodal.

Para kiai di Babakan Ciwaringin berkomitmen untuk tetap menjaga dan merawat wasiat para pendahulunya, sebagaimana mereka merawat dan menjaga tradisi secara turun-temurun. Bagi kiai-kiai pesantren, terutama kiai-kiai sepuh, proses membuat dan membangun pesantren tidaklah semudah seperti pengusaha atau orang-orang kaya membangun yayasan atau sekolahan. Asalkan ada uang, rencana dan keinginan tersebut dapat dengan mudah terealisasikan.

Namun, bagi kebanyakan kiai pesantren, uang saja tidak cukup, dan bukan satu-satunya ukuran keberhasilan mendirikan pesantren. Untuk membangun sebuah pesantren, tidak jarang seorang kiai harus tirakat, riadloh dan istikharah (meminta petunjuk kepada Allah SWT) terlebih dahulu: apakah tanah yang akan dibangun pesantren betul-betul “barokah”, bisa menambah manfaat dan kebaikan terutama bagi santri-santri dan masyarakat sekitarnya. Orientasi kiai membangun pesantren lebih didasarkan pada orientasi ukhrawi: investasi akhirat. Sehingga dibutuhkan keikhlasan, kejujuran, katwadluan, dst.

Unsur “barokah” (ziyadah al-khair) merupakan salah satu motivasi dan pertimbangan kiai dalam mendirikan sebuah pondok pesantren. Karena itu, tidak semua tempat mengandung “barokah” sehingga cocok dan layak dibuat pesantren. Maka, sangat wajar jika para kiai di Babakan menolak menjual tanahnya atau melakukan tukar guling, karena belum tentu mendapatkan tanah dengan kualitas dan nilai yang sama. Apalagi tanah tersebut sudah di-tirakati muassis (pendiri) pesantren.

Persoalan seperti ini tidak mungkin dipahami hanya dari kaca mata“orang luar” (outsider), melainkan harus masuk dan menyelami “kesadaran” dan “pandangan dunia” orang-orang pesantren. Sebab, yang dinamakan pesantren bukanlah semata bentuk fisik bangunan beserta penghuninya. Pesantren adalah sebuah subkultur yang memiliki karakteristik tersendiri berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya (Abdurahman Wahid, 2001).

Masyarakat pesantren memiliki cara hidup, sistem etik dan hirarki sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Juga menawarkan pandangan dunia tersendiri (alternative way of live) yang tidak dianut oleh bangsa ini. Maka, salah besar jika melihat dan menilai pesantren dari segi fisik bangunan belaka.

Sehingga, penggusuran terhadap pesantren——juga sebuah perkampungan——bukan semata penggusuran terhadap tanah dan bangunan, melainkan penggusuran terhadap budaya, tradisi, dan integrasi sosial yang sudah sekian lama melekat dan mengikat sesama anggotanya. Mereka harus berpisah dan membangun kehidupan baru yang tentunya tidak mudah dan membutuhkan adaptasi dalam waktu lama. Dampak sosial-budaya seperti ini yang hampir tidak pernah dipikirkan pemerintah.

Ini yang sampai sekarang gagal dipahami pemerintah ataupun pengembang. Mereka menduga penolakan kiai pesantren disebabkan adanya ketidakcocokan soal harga tanah. Demonstrasi yang dilakukan para santri juga dianggap sebagai bagian untuk melambungkan harga tersebut. Sesat-pikir pemerintah menyebabkan persoalan ini berlarut-larut.

Selama ini, pendekatan yang selalu dilakukan pemerintah adalah tawar-menawar harga, negosiasi dan kompromi melalui kompensasi. Padahal, para kiai tidak butuh itu——mungkin hanya satu dua kiai yang tingkat kezahidannya sudah luntur sebagai pengecualian. Kiai dan ulama Pesantren Babakan lebih memilih masa depan pesantren beserta seluruh kekayaan tradisi dan budayanya. Ini tidak bisa digantikan dengan uang miliaran bahkan triliyunan rupiah.

Pesantren merupakan benteng terakhir terhadap ketahanan tradisi dan budaya Nasional. Ancaman terhadap Pesantren Babakan juga menjadi ancaman bagi pesantren-pesantren lain. Apabila pemodal berhasil merampas, menggusur, dan mengambil alih lahan pesantren untuk kepentingan bisnis dan dagang (jalan tol), dan dengan mudah membeli kiai-kiainya dengan uang, maka mulai sekarang dan seterusnya tidak ada yang perlu kita banggakan dari pondok pesantren. Wallahu a’lam bi sawab.