Selasa, 05 Mei 2009

Negara Budak

Oleh Jamaluddin Mohammad

Indonesia adalah negeri budak
Budak di antara bangsa
dan budak bagi bangsa-bangsa lain
(Pramoedya Ananta Toer)

Sungguh tragis nasib yang menimpa model cantik Manohara Odelia Pinot. Setelah dipersunting pangeran Malaysia, Tenku Fakhry, kabarnya gadis belasteran Indonesia-Prancis itu bukannya menuai bahagia. Ia malah menerima perlakuan tidak manusiawi: sebelum dikawin, ia diperkosa; tubuhnya disayat-sayat dengan silet lantaran sang suami menderita kelainan seksual; ruang geraknya dibatasi; Ia ibarat hidup disangkar emas.

Melihat anaknya diperlakukan seperti binatang, sang ibu, Daisy Fajarina, melapor ke pihak kepolisian, mendatangi Kedubes, hingga mengadu ke Komnas HAM. Hasilnya nihil. Beberapa kali ia pingsan. Ia baru sadar air matanya tidak bisa berbuat apa-apa. Bangsa ini pengecut. Di negeri ini, kemanusiaan tidak ada harganya sama sekali.

Monahora hanyalah salah satu wanita Indonesia yang diperlakukan tidak adil oleh bangsa lain. Tidak sedikit wanita Indonesia yang diperkosa, dianiaya, dijual, bahkan dibunuh. Manohara masih diuntungkan karena dia artis, publik figur, yang segala sikap, prilaku, ataupun kata-katanya “layak jual”, marketable. Sehingga media massa tidak bosan-bosannya mengekspos persoalan yang menimpanya. Berbeda ketika kasus tersebut menimpa buruh migran. Kasusnya pasti akan mudah tenggelam bersamaan dengan status dan kelanjutan hukumnya.

Padahal, berdasarkan data yang dikeluarkan KOPBUMI pada tahun 2001 tercatat terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang. Perinciannya, 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang diPHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransi ,25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah

Sementara Migrant Justice mencatat, setidaknya setiap tahun ada 25 kasus kematian, 13 orang terancam hukuman mati, 7.500 orang dipenjarakan tanpa sebab yang jelas, 3.000 orang dideportasi, 1.000 orang jadi korban trafficking. Dari Konferensi ILO IPEC 2001 memperkirakan bahwa ada 1,4 juta Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indoneia, dan 23 persennya adalah anak-anak. Sementara dalam laporan Organisasi Perburuhan Indonesia (ILO) tahun 1998 memperkirakan bahwa ada sekitar 130.000-240.000 pekerja seks di Indonesia dan sampai 30 persennya adalah anak-anak di bawah 18 tahun. ICMC pada tahun 2003 menunjukkan bahwa ada sekitar 2,4 sampai 3,7 juta buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara, yang dipastikan lebih dari 70% adalah perempuan.

Di mana tanggung jawab negara?
Apakah hukum negara kita terlalu lemah sehingga tidak bisa melindungi warga negaranya? Atau negara kita yang sebetulnya tidak memiliki keberanian untuk melindungi hak-hak warga negaranya?

Dalam banyak kasus, negara terbukti tidak bisa berbuat apa-apa. Kasus-kasus yang menimpa buruh migran kerap kali menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan proses dan status hukumnya. Bahkan, negara terkadang malah cuci tangan, tidak berani berurusan dan berhadapan dengan bangsa lain.

Padahal, yang menimpa Manohara——begitu juga yang selama ini menimpa buruh migran—— tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi sudah menyangkut keadilan, kemanusiaan, dan harga diri sebuah bangsa. Negara seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyatnya. Tanpa ada jaminan perlindungan dan keamanan dari negara, buruh kita hanya menjadi budak bagi bangsa-bangsa lain.

Seperti yang terjadi di Arab Saudi baru-baru ini. Salah satu surat kabar di sana menginformasikan banyaknya TKW Indonesia yang dijadikan budak seks majikannya. Ironisnya, ulama di sana malah melegalkan tindakan tersebut. Dan lebih ironis lagi, itu terjadi di negara Islam yang mengaku berlandaskan syariat Islam—— yang sebetulnya bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri (http:www.alarabiya.net).

Di samping nasibnya yang kurang beruntung, kebanyakan buruh migran, terutama perempuan, kerap kali dipekerjakan di sektor-sektor yang sebetulnya “tidak menguntungkan", semisal pegawai rumah tangga, baby sitter, PSK, pelayan toko atau bar. Gaji yang mereka dapatkan pun, menurut ukuran negara tempat ia bekerja, sebetulnya terhitung kecil.

Sebetulnya, persoalan-persoalan yang menimpa buruh migran erat kaitannya dengan tanggung jawab negara selama ini, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab ekonomi dan pendidikan. Kebanyakan buruh migran adalah mereka yang secara ekonomi kurang mampu, di samping tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya, mereka hanya diterima disektor pekerjaan yang rendah. Harusnya, ketika negara tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap buruh migran, pemerintah menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan fasilitias pendidikan untuk rakyatnya. Dengan ini, minimal mereka yang bekerja di luar negeri mendapatkan pekerjaan yang layak, sbegaimana buruh negara –negara maju yang ada di Indonesia.

Akibat negara tidak mempu memberikan hak-hak dasar (ekonomi-sosial-budaya) kepada rakyatnya, banyak warga negara yang memilih menjadi buruh migran, mencari penghidupan di negara lain yang secara ekonomi mapan. Jadi, akar masalahnya sebetulnya ada pada negara kita sendiri yang tidak mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada warga negaranya. Padahal, tidak sedikit devisa yang dihasilkan buruh migran untuk negara ini.

Namun, yang sebetulnya lebih tragis lagi, ada satu hal yang hilang dari diri kita, yaitu harga diri sebagai bangsa. Selama ini, kita hanya menjadi budak di antara bangsa-bangsa lain. Ke depan kita butuh pemimpin yang bisa mengembalikan harga diri itu.