Kamis, 19 November 2009

PEMERINTAHAN SYARIAT

Salah satu diskursus penting yang tidak pernah kering diperbincangkan banyak ulama adalah: bagaimana bentuk pemerintahan dalam Islam? Jawaban dari pertanyaan ini tidaklah tunggal. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan pendapat berbeda-beda.

Ini menunjukkan betapa kaya dan beragam khazanah keilmuan yang dimiliki dunia Islam.

Di antara banyak ulama yang mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328) dalam risalahnya “al-Siyasah al-Syariyyah” (pemerintahan syariat).

Dalam kitabnya ini, Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa tujuan kekuasaan adalah memperbaiki agama manusia dan mengatur urusan dunia yang tanpanya agama tidak sempurna [1].

Bahkan, lanjut Ibnu Taymiyah, agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan. Membangun dan mendirikan kekuasaan adalah kewajban agama yang paling luhur. Tujuannya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Agama dan negara, kata Ibnu Taymiyah, ibarat sekeping uang logam yang sisi-sisinya saling melengkapi. “Qawwamu al-din bi al-saef wa al-mushaf,” tegas Ibnu Taymiyah. Maksudnya, agama tidak akan bisa tegak kecuali dengan mushaf (al-Quran dan al-Hadits) dan pedang (kekuasaan) [2]

Dari sini bisa dipahami bahwa kekuasaan (baca: negara) dalam pandangan Ibnu Taymiyah semacam alat/eksekutor untuk memuluskan kepentingan dan tujuam agama, mulai dari persoalan-persoalan privat, seperti salat, haji, zakat, dsb, hingga urusan publik, seperti hudud, pajak, hingga menyangkut pertahanan dan keamanan negara (Jihad).

Ibnu Taymiyah masih belum mengenal pembagian kekuasaan dalam negara, semisal yang ditawar Jhon Locke dan Montesque yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bagian: legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyyah), eksekutif (al-Sulthah al-tanfidziyyah), dan yudikatif (al-sulthah al-qadlaiyyah). model pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terpusatnya kekuasaan hanya pada satu orang (penguasa otoriter). Ia hanya mengenal seorang pemimpin yang memiliki otoritas tunggal, seperti yang terjadi pada masanya.

Karena itu, seorang pemimpin (Imam al-A’dzam) yang dikenal Ibnu Taymiyah adalah seorang yang kuat, tegas dan berani. Juga seorang yang cerdik-pandai dalam mengatur strategi dan siasat perang, piawai dalam menggunakan alat-alat perang, memiliki kekuatan untuk memaksa dan melaksanakan hukum sesuai al-Quran dan al-Hadis [3].

Pikiran maupun gagasan Ibnu Taymiyah dibentuk dan dipengaruhi zamannya. Ia adalah anak zamannya. Ia hidup ketika peradaban Islam sedang mengalami kemunduran. Invasi Mongol menyebabkan banyak kerajaan Islam yang hancur dan kalah. Ketika berumur enam tahun ia harus hidup dalam pengungsian. Namun demikian, ia tergolong ulama yang kritis terhadap penguasa, sehingga erkali-kali masuk penjara. Dua tahun terakhirnya ia habiskan waktunya dipenjara untuk menulis [4].

Pasca Ibnu Taymiyah

Proyek intelektual Ibnu Taymiyah tentang pemerintahan syariat kemudian di lanjutkan oleh pengikut-pengikutnya, seperti al-Maududi (1903-1979), Hasan al-Bana (1906-1949), Sayyid Qutb (1906-1966), dll----untuk menyebut beberapa tokoh.

Abu al-Ala al-Maududi, misalnya, berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan Tuhan. Dalam persoalan politik dan kenegaraan, kedudukan manusia hanyalah sebagi khalifah yang melaksanakan segala yang diperintahkan al-Quran dan al-Hadis.

Karena itu, al-Maududi menolak keras model pemerintahan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Menurut pemikir asal India ini, asas negara harus berlandaskan pada agama (Kingdom of God). Al-Maududi merujuk pada masa khulafa al-rasyidin sebagai model pemerintahan ideal dalam Islam [5].

Hal senada dikemukakan Hasan al-Bana. Menurutnya Islam adalah agama, politik dan negara. Islam tidak hanya berkutat pada persolan ibadah, juga ikut mengurusi persoalan politik. Karena itu, Hasan al-Bana bercita-cita menghimpun negara-negara muslim untuk bersatu dalam payung negara khilafah [6].

Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Hasan al-Bana dan kawan-kawannya mendirikan Ikhwanul Muslimin. Melalui organisasi ini, mereka berobsesi membentuk kekhalifahan yang terdiri dari negara-negara muslim yang merdeka dan berdaulat. Kekhalifahan ini harus sepenuhnya didasarkan pada ajaran al-Quran dan al-Hadis.

Bibit-bibit pemikiran yang ditanamkan ketiga tokoh tersebut membiak di Indonesia melalui gerakan Islam Trans Nasional, seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbu Tahrir Indonesia), FUI (Forum Umat Islam), FPI (Front Pembela Islam), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan masih banyak lagi. Mereka yang selama ini gencar memperjuangkan Perda-Perda Syariat, Piagam Jakarta, dan berambisi membentuk “negara syariat”.

Yang mengeram dalam kepala mereka adalah bagaimana agar “syariat Islam” menjadi bagian dan ikut mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka berkeyakinan bahwa “syariat Islam” dapat membawa perubahan dan sekaligus sebagai solusi bagi problem yang dihadapi umat Islam. Sebagaimana yang tersurat dalam jargon mereka “al-Islam hua al-hallu” (Islam adalah solusi).

Yang paling menonjol dan terang-terangan adalah HTI (Hizbu Tahrir Indonesia). “Khilafah Islamiyyah” adalah salah satu proyek besar organisasi yang didirikan Taqiyuddin al-Nabhani ini. Mereka ingin menghadirkan kembali “Khilafah Islamiyyah” yang pernah dipraktikkan Khulafa al-Rasyidin.

Negara (Islam) Indonesia

Lantas, bagaimana dengan Bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada Pancasila dan UUD 45? Apakah Indonesia perlu “di Islamkan” dengan mengganti ideologi dan dasar negara dengan “syariat Islam”? Atau bila perlu membentuk “negara khilafah” seperti yang dianjurkan HTI?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui terlebih dahulu maksud yang terkandung dalam istilah “negara Islam”, “syariat Islam”, dan “khilafah Islamiyyah”. Ketiga istilah tersebut rawan dibajak dan dimanipulasi oleh kalangan tertentu hanya untuk memuluskan dan memuaskan tujuan serta kepentingan politik mereka.

Seolah-olah mereka memperjuangkan dan menegakkan “syariat Islam”. Padahal, kenyataannya, Islam hanya dijadikan topeng dan kendaraan politik semata.

Istilah “negara Islam” sebetulnya tidak pernah dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Fakta historis menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak pernah mendirikan sebuah negara. Bahkan Nabi sendiri menolak diangkat sebagai raja ketika ditawari oleh kaum Quraisy [7].

Dalam al-Quran sendiri tidak pernah disebut istilah al-daulah yang berarti negara. Kata al-daulah memang pernah tersurat dalam QS. 59:07 tetapi bukan dalam makna negara. Istilah tersebut dipakai untuk menyebut peredaran dan perputaran harta kekayaan [8].

Nabi SAW juga tidak meninggalkan wasiat siapa yang bakal menggantikan sepeninggal beliau. Persoalan politik sepenuhnya diserahkan pada ijtihad para sahabat sendiri. Sehingga tidak aneh apabila pola pergantian kepemimpinan (suksesi) pada masa sahabat tidak sama. Abu Bakar diangkat melalui mekanisme al-ikhtiar (pemilihan) ahlul hilli wal aqdi. Sementara Umar bin Khattab dipilih berdasarkan wasiat dari Abu Bakar (wilayatu al-‘ahdi).

Pola pergantian kepemimpinan seperti ini kemudian baru diteorisasikan oleh al-Mawardi dalam magnun opusnya “al-Ahkam al-Sultoniyyah”. Al-Mawardi menyebutkan bahwa pergantian kekuasaan (suksesi) hanya bisa dilakukan melalui dua cara: pertama melalui pemilihan ahlu al-hilli wa al-aqdi dan kedua melalui mekanisme penunjukkan pemimpin sebelumnya (wilyatul al-‘ahdi). Pendapat ini diamini AbuYa’la, Abu Hasan al-Bashri, dan al-Juwaini [9].

Jadi, Islam sendiri sebetulnya tidak memiliki konsep pemerintahan yang definitif. Apalagi sampai menganjurkan untuk mendirikan “negara Islam”. Yang diperlukan adalah ketertiban yang memungkinkan orang Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Dalam kaidah fiqh dinyatakan bahwa tertib sosial politik menjadi prasyarat bagi terwujudnya tertib agama (nidzamu al-dunnya syart li nidzam al-din).

Sehingga wajar jika dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin, 9 Juni 1935, NU telah memberikan status hukum “Negara Islam” terhadap Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh kolonialisme Belanda. Ini diambil dari “Bughyatul al-Musytarsyidin” yang mengatakan: “Inna ardla Betawi wa ghalibu ardli Jawa daaru Islamin listilaail muslimina alaiha qabla al-kuffar” (sesungguhnya Betawi [Jakarta] bahkan seluruh Pulau Jawa adalah Negara Islam karena pernah dikuasai Islam [Demak-Mataram], meskipun setelahnya dikuai orang kafir (kolonialisme Belanda).

Lantas, kalau memang sudah Islam, mengapa harus di-Islamkan lagi? Wallahu a’lam bi sawab.



End note

[1] Taqiyuddin Ibnu Taymiyyah, al-Siyasayh al-Syariyyah: Fi Ishlahi al-Ra’i wa al-Raiyyah, (Libanon: Dar al-Ma’rifah: 1969), h. 121
[2] ibid, h. 26
[3] ibid, h. 16-17
[4] Antony Black, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini, (Jakarta: Serambi, 2001), h. 288
[5] Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqh Siyasah: Konsep, Aliran dan Tokoh-Tokoh Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 90-91
[6] ibid, h. 98-99
[7] Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 64
[8] Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghozali, Relasi Agama dan Negara, dalam Istiqra Vol 04, No 01 2005, h. 152
[9] Said Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 69