Selasa, 14 September 2010

AGAMA YANG MEMBEBASKAN

Kita butuh agama yang membebaskan: agama yang tidak hanya disibukkan dengan seremonial keagamaan, akan tetapi dapat memberikan solusi pada problematika kehidupan.

Seperti di bulan Ramadhan ini, seolah-olah kita betul-betul tengah hidup di “bulan suci” yang dipenuhi hikmah, nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan.

Padahal, realitas di belakang kita sungguh-sungguh menyedihkan. Banyak sekali saudara-saudara kita yang masih dihimpit kesulitan hidup, kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan ketidakadilan. Agama seolah-olah tidak bisa memberikan jawaban dan penyelesaian. Nyatanya, agama mandul ketika dihadapkan pada realitas sosial yang sesungguhnya.

Lantas, apakah selama ini agama hanya sekedar untuk didakwahkan? Kalau begitu, apa gunanya Allah SWT mengutus 124.000 nabi kalau hanya untuk menghibur (al-ibsyar) dan menakut-nakuti (al-indzar) umat manusia? Apa sebetulnya fungsi agama bagi kehidupan manusia? Bagaimana agama memandang manusia dan kemanusiaan?

Kita butuh seorang ulama

Secara bahasa “ulama” merupakan bentuk jamak (plural) dari ‘alim yang berarti “orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, atau ilmuan. Dalam Al-Qur’an, kata “ulama” disebut sebanyak dua kali, yakni QS Al-Syu’ara (26): 197 dan QS Fathir (35): 28. Nabi Muhammad SAW pernah berujar bahwa “ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi). Ulama juga disebut-sebut sebagai “pemegang amanat Allah atas makhluk-Nya” (HR. Al-Qudla’i dan Ibnu ‘Asakir), dan “pemimpin panutan ummat” (HR. Ibnu Hajar).

Ini menunjukkan betapa mulia kedudukan ulama sampai Nabi SAW sendiri memposisikan mereka menggantikan peran dan fungsi nabi-nabi. Apa sebetulnya peran dan fungsi nabi? Sejarah para nabi adalah sejarah pembebasan, perjuangan dan pergulatan melawan ketidakadilan, merubah tatanan sosial-budaya yang korup, selalu berpihak pada golongan lemah, dan berorientasi pada transformasi sosial yang berkeadilan, egalitarian, kemaslahatan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kita bisa berkaca pada sejarah Nabi Ibrahim yang membebaskan umatnya dari “berhala-berhala” yang merenggut kebebasan manusia (QS Ibrahim [14]: 35). Berhala adalah simbol dari keterbelengguan manusia terhadap “idola-idola”. Idola, sebagaimana yang dikatakan Sir Francis Bacon, adalah semacam rintangan yang menghalangi kemajuan manusia. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola bisa merasuki pikiran kita sehingga kita enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis. Misi Nabi Ibrahim pada waktu itu adalah membebaskan umatnya dari idola-idola yang dapat menghalangi mereka dalam membaca realitas sosial dengan jernih dan kritis.

Begitu juga dengan Nabi Musa yang berani melawan dan menantang Firaun, penguasa tiranik dan despotis (taghut, QS Thaha [20]: 24), yang merampok hak-hak, martabat dan kebebasan rakyat (QS Al-Baqarah [02]: 49)। Atau Nabi Isa yang menebarkan kasih sayang dan melakukan pembebasan bagi umat manusia. Di samping itu, kita juga bisa menengok pada sejarah Nabi Muhammad SAW yang konsisten melawan ketidakadilan sistem sosial-budaya masyarakat Arab waktu itu. Ini adalah sebagian dari sunnah para Nabi. Teladan dan perjuangan seperti ini yang sepatutnya dilakukan para ulama selaku pewaris para nabi.

Autisme sosial

Kemandulan ulama terjadi karena mereka tidak lagi memainkan peran dan fungsinya di masyarakat. Mereka tidak lagi melakukan dakwah sebagaimana yang dipraktikkan oleh nabi-nabi. Ulama kita tengah mengidap penyakit autisme sosial. Cirinya, abai terhadap persoalan-persoalan sosial. Mereka lebih disibukkan dengan urusan langit yang sama sekali tidak berhubungan dengan problem-problem kemanusiaan.

Autisme adalah suatu gangguan neurobiologis yang terjadi pada anak di bawah umur 3 tahun. Ia ditandai dengan ketidakmampuan yang bersangkutan untuk berkomunikasi atau berbicara dengan orang lain, bahkan dengan orang tua atau saudaranya sendiri. Mereka hidup dalam dunianya sendiri, atau dunia khayalan, seolah-olah hanya mereka sendirilah yang ada dalam lingkungan hidup ini.

Sementara autisme sosial yang diidap para ulama adalah menyebabkan mereka rabun terhadap berbagai persoalan yang melilit masyarakat dan abai dengan keinginan masyarakat. Akibatnya, ulama/isntitusi keulamaan (Ormas keagamaan) hanya berada di atas menara gading. Suara mereka tidak pernah merepresentasikan persoalan-persoalan keumatan.

Misalnya, sebagai contoh kecil, mereka gencar mendesak pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah. Aliran yang satu ini dianggap membahayakan keyakinan umat Islam, karena memiliki Nabi dan Kitab Suci sendiri. Ahmadiyah dianggap telah menyimpang dari ajaran dan keyakinan mainstream.

Padahal, di tengah desakan tuntutan pembubaran Ahmadiyah, tidak sedikit umatnya yang sedang sekarat melawan beban hidup. Mereka menderita bukan karena agama atau keyakinan mereka dikotori aliran atau kepercayaan lain. Dalam benak mereka, tidak sedikitpun terbersit pertanyaan apakah Tuhan pernah mengutus seorang Nabi pasca Nabi Muhammad SAW?

Pernyataan seperti itu hanya muncul pada elit-elit agamawan. Masyarakat awam lebih merespon pengalaman-pengalaman kongkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Mereka butuh makan untuk menyambung hidup, membutuhkan biaya untuk sekolah anak-anak mereka, juga biaya kesehatan apabila mereka sakit.

Maka, sudah saatnya kita harus mengembalikan fungsi, peran serta kedudukan ulama sebagai “Pewaris Para Nabi”. Agama harus diabdikan untuk tujuan dan kepentingan manusia dan kemanusiaan, yakni kemaslahatan dunia maupun akhirat (sa’adah fi al-daraen).