Selasa, 23 November 2010

Negara Budak

Indonesia adalah negeri budak
Budak di antara bangsa
dan budak bagi bangsa-bangsa lain

(Pramoedya Ananta Toer)

Sungguh tragis nasib yang menimpa Sumiati, buruh migrant asal Dompu, Nusa Tenggara Barat. Sumiati hanyalah salah satu wanita Indonesia yang diperlakukan tidak adil oleh bangsa lain. Tidak sedikit wanita Indonesia yang diperkosa, dianiaya, dijual, bahkan dibunuh. Biasanya, persoalan-persoalan yang menimpa buruh migran, kasusnya pasti akan mudah tenggelam bersamaan dengan status dan kelanjutan hukumnya. Bangsa ini pengecut. Di negeri ini, kemanusiaan tidak ada harganya sama sekali.

Padahal, berdasarkan data yang dikeluarkan KOPBUMI pada tahun 2001 tercatat terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang. Perinciannya, 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang diPHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransi ,25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah

Sementara Migrant Justice mencatat, setidaknya setiap tahun ada 25 kasus kematian, 13 orang terancam hukuman mati, 7.500 orang dipenjarakan tanpa sebab yang jelas, 3.000 orang dideportasi, 1.000 orang jadi korban trafficking. Dari Konferensi ILO IPEC 2001 memperkirakan bahwa ada 1,4 juta Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indoneia, dan 23 persennya adalah anak-anak. Sementara dalam laporan Organisasi Perburuhan Indonesia (ILO) tahun 1998 memperkirakan bahwa ada sekitar 130.000-240.000 pekerja seks di Indonesia dan sampai 30 persennya adalah anak-anak di bawah 18 tahun. ICMC pada tahun 2003 menunjukkan bahwa ada sekitar 2,4 sampai 3,7 juta buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara, yang dipastikan lebih dari 70% adalah perempuan.

Dan yang lebih menyakitkan lagi, seperti yang dituturkan Surya Chandra Surapati, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, saat ini di Indonesia rata-rata 750 ribu sampai 1 juta perempuan dan anak diperdagangkan per tahun (Majalah Tempo, 10 Juli 2003).

Di mana tanggung jawab negara?
Apakah hukum negara kita terlalu lemah sehingga tidak bisa melindungi warga negaranya? Atau negara kita yang sebetulnya tidak memiliki keberanian untuk melindungi hak-hak warga negaranya?

Dalam banyak kasus, negara terbukti tidak bisa berbuat apa-apa. Kasus-kasus yang menimpa buruh migran kerap kali menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan proses dan status hukumnya. Bahkan, negara terkadang malah cuci tangan, tidak berani berurusan dan berhadapan dengan bangsa lain.

Padahal, kasus yang menimpa Sumiati——begitu juga yang selama ini menimpa buruh migran lainnya—— tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi sudah menyangkut keadilan, kemanusiaan, dan harga diri sebuah bangsa. Negara seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyatnya. Tanpa ada jaminan perlindungan dan keamanan dari negara, buruh kita hanya menjadi budak bagi bangsa-bangsa lain.

Seperti yang terjadi di Arab Saudi baru-baru ini. Salah satu surat kabar di sana menginformasikan banyaknya TKW Indonesia yang dijadikan budak seks majikannya. Naifnya, ulama di sana malah melegalkan tindakan tersebut. Dan lebih ironis lagi, itu terjadi di negara Islam yang mengaku berlandaskan syariat Islam—— yang sebetulnya bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri (http:www.alarabiya.net).

Di samping nasibnya yang kurang beruntung, kebanyakan buruh migran, terutama perempuan, kerap kali dipekerjakan di sektor-sektor yang sebetulnya “tidak menguntungkan”, semisal pegawai rumah tangga, baby sitter, PSK, pelayan toko atau bar. Gaji yang mereka dapatkan pun, menurut ukuran negara tempat ia bekerja, sebetulnya terhitung kecil.

Sebetulnya, persoalan-persoalan yang menimpa buruh migran erat kaitannya dengan tanggung jawab negara selama ini, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab ekonomi dan pendidikan. Kebanyakan buruh migran adalah mereka yang secara ekonomi kurang mampu, di samping tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya, mereka hanya diterima disektor pekerjaan yang rendah. Harusnya, ketika negara tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap buruh migran, pemerintah menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan fasilitias pendidikan untuk rakyatnya. Dengan ini, minimal mereka yang bekerja di luar negeri mendapatkan pekerjaan yang layak, sbegaimana buruh negara –negara maju yang ada di Indonesia.

Akibat negara tidak mempu memberikan hak-hak dasar (ekonomi-sosial-budaya) kepada rakyatnya, banyak warga negara yang memilih menjadi buruh migran, mencari penghidupan di negara lain yang secara ekonomi mapan. Jadi, akar masalahnya sebetulnya ada pada negara kita sendiri yang tidak mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada warga negaranya. Padahal, tidak sedikit devisa yang dihasilkan buruh migran untuk negara ini.

Namun, yang sebetulnya lebih tragis lagi, ada satu hal yang hilang dari diri kita, yaitu harga diri sebagai bangsa. Selama ini, kita hanya menjadi budak di antara bangsa-bangsa lain. Ke depan kita butuh pemimpin yang bisa mengembalikan harga diri itu.



Salam,

Jamaluddin Mohammad

Senin, 15 November 2010

Obama, Krisis Nasionalisme, dan Supremasi Amerika

Oleh Jamaluddin Mohammad

Setelah sempat ditunda beberapa kali, Barack Obama akhirnya berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dalam rangka menyambut kunjungan Presiden Amerika itu, sejumlah pengusaha “patungan” untuk membuat patung Obama (waktu) kecil setinggi 2 meter. Patung perunggu yang dipahat Edy Chaniago itu didirikan di Taman Menteng, Jakarta.

Patung seharga 100 juta itu dibuat untuk mengenang orang nomor satu Paman Sam itu sewaktu tinggal di Indonesia. Menurut Ron Mullers, Ketua Friends of Obama yang mensponsori pembuatan patung itu, bahwa patung tersebut dibuat untuk memompa semangat anak-anak Indonesia agar berani bermimpi sekaligus mampu mewujudkan mimpinya seperti Presiden Amerika itu.

Harapannya, patung tersebut mampu menghadirkan mimpi, harapan, serta cita-cita Obama dalam imajinasi anak-anak Indonesia. Namun, belum berselang lama patung itu didirikan, ternyata menuai banyak protes masyarakat Indonesia. Alasannya, Obama bukan siapa-siapa bagi bangsa Indonesia. Akhirnya, untuk mengantisipasi agar gelombang protes tidak membesar, patung tersebut dipindah ke SD Negeri Menteng 01, tempat di mana Obama pernah “mampir” di sekolah itu.

Nah, apapun maksud dan tujuan pembuatan patung itu, yang kemudian memunculkan pertanyaan banyak orang adalah, mengapa harus Obama? Apakah Indonesia tidak memiliki “orang hebat” yang juga memiliki mimpi besar dan layak diabadikan?

Di sinilah “rasa kebangsaan” itu kemudian mengusik kita. Obama tiba-tiba hadir sebagai “orang lain” (the other) yang membangunkan “rasa kebangsaan” kita. Timbulnya kesadaran kebangsaan itu bukan semata karena Obama keturunan Amerika―――yang secara geografis maupun budaya jelas-jelas berbeda――― melainkan karena “citra diri” yang tampil dan tercermin dari sosok Obama betul-betul bukan watak dan identitas diri kita sebenarnya. Singkatnya, Obama terlalu “asing” dan terlampau jauh bagi pikiran kita, apalagi untuk ditanamkan pada anak-anak kita.

Barack Obama dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Meskipun masa kecilnya pernah hidup dan sempat mencicipi bangku sekolah di Indonesia, tetapi riwayat hidupnya lebih banyak dihabiskan di Amerika. Obama hanya “singgah” sebentar, sekitar empat tahun. Itupun bukan atas dasar “pilihannya” sendiri, melainkan karena mengikuti orang tuanya. Prestasi dan karir hidupnya tidak didapatkan dari Indonesia. Pendidikannya, sesuatu yang banyak membentuk dan mempengaruhi Obama, lebih banyak ditempuh di tempat kelahirannya. Singkatnya, Obama bukan “aseli buatan dalam negeri” dan bukan siapa-siapa bagi Bangsa Indonesia.

Supremasi Amerika

Menarik apa yang disampaikan William Liddle sehari sebelum Obama datang ke Indonesia. Dalam artikelnya di salah satu media nasional, ia menilai bahwa di mata Amerika Indonesia tidaklah memiliki posisi strategis dan bargaining apa-apa (Kompas, 03/11). Pengamat politik kawakan dari negeri Paman Sam itu menilai selama ini sumber daya politik yang dimiliki Indonesia untuk melawan atau membantu Amerika dibanding negara-negara lain masih cukup lemah.

Sehingga, dalam kaca mata kepentingan Amerika, Indonesia tidaklah memiliki nilai dan keuntungan apa-apa. Ini disebabkan karena selama ini negara kita hanya menjadi “kacung” bagi negara Paman Sam itu.

Hal ini ditunjukkan, salah satunya, lewat patung Obama yang dibuat untuk “menyenangkan” orang nomor satu di Amerika itu. Keberadaan patung itu justeru semakin mempertegas suprerioritas dan supremasi Amerika di negeri ini. Seolah-olah patung tersebut menjadi kiblat sekaligus pusat orientasi kita.

Sejatinya bukan patung itu yang menyulut protes sebagian masyarakat Indonesia. Melainkan “citra diri” yang dipantulkan oleh patung itu. Apalagi, secara eksplisit, patung tersebut ditunjukkan untuk memompa semangat dan cita-cita anak-anak Indonesia agar berani bermimpi sebagaimana presiden kulit hitam pertama di Amerika itu. Yang menjadi persoalan, kenapa yang ditampilkan dan yang dijadikan suritauladan adalah “orang lain”. Bukankah malah akan menjauhkan anak-anak kita dari akar sejarahnya, identitas dan karakter kebudayaannya, mengingat Obama tidak muncul dan berakar dari masa lalu kita.


Miskin Nasionalisme

Pangkal soalnya adalah krisis nasionalisme yang melanda bangsa ini. Di tengah-tengah dunia yang semakin mengglobal───di mana batas-batas negara-bangsa melebur───nasionalisme tetaplah penting, terutama untuk mempererat dan mempertegas kohesi sosial, cita-cita politik, sekaligus mengkonsolidasikan “mimpi bersama” (dreaming together).

Nasionalisme tidak hanya berkaitan dengan batas-batas negara (batas fisik maupun psikis). Nasionalisme terletak pada soal rasa, menyentuh ranah psikologis, alam bawah sadar, ego. Justeru bermula dari “rasa kebangsaan” itu timbul kepekaan, keperihatinan, serta tanggung jawab bersama senasib sepenanggungan. Di sinilah pentingnya membangun “rasa bersama” itu.

Sekarang ini, rasa kebangsaan itu sedikit demi sedikit mulai memudar. Kita tidak lagi mengenal identitas dan karakteristik kebudayaan kita yang membentuk sekaligus mengikat kita. Justeru kita mulai curiga terhadap sesama kita, saling berebut dan memangsa antara satu dengan lainnya. Kekerasan agama muncul di mana-mana, korupsi merajalela, ketidakadilan menjadi tontonan biasa. Padahal, sejak dulu kita adalah bangsa yang memiliki banyak identitas kebangsaan (heterogen), solidaritas sosial yang kuat, gotong royong, dan saling membantu. Dan semuanya runtuh diakibatkan krisis nasionalisme di mana semuanya bermuara dari hilangnya “rasa kebangsaan”.

Jadi, krisis nasionalisme itu tidak hanya ditandai oleh hilangnya kecintaan terhadap negeri sendiri yang menyebabkan merangseknya produk dan kebudayaan luar yang dikonsumsi secara mentah-mentah oleh masyarakat kita. Krisis nasionalisme yang paling akut adalah hilangnya identitas dan solidaritas bersama atas nama bangsa dan negara.

Inilah, saya kira, kunjungan Obama kali ini haruslah dimakna sebagai penegasan kembali posisi Indonesia di mata Amerika. Indonesia harus menjadi negara yang mandiri, terbebas dari intervensi asing, dan mampu menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Wallahu a'lam bi sawab

Sabtu, 30 Oktober 2010

REPUBLIK BENCANA

“menjaga keselarasan, keteraturan dan keharmonisan alam, manusia, dan Tuhan”


Dalam beberapa bulan terakhir ini negara kita dilanda banyak musibah atau bencana. Misalnya, tabrakan kereta api, pesawat jatuh, banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, gunung meletus, dll. Semuanya terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama, seolah-olah bergantian.

Bagi kalangan agamawan, kebanyakan menilai bahwa bencana diakibatkan oleh tindakan manusia yang membuat Tuhan marah. Kemarahan Tuhan digambarkan dalam banyaknya bencana di negeri ini. Oleh karena itu, kata mereka, manusia harus sesegera mungkin untuk bertaubat, mengakui dan mengakhiri segala dosa-dosa yang dia lakukan. Tuhan pasti akan mengampuni dan tidak marah lagi.

Cara pandang seperti ini banyak menghinggapi masyarakat kita yang masih patuh dan menjunjung tingggi nilai-nilai dan doktin-doktrin keagamaan. Mereka senantiasa menghubungkan segala persoalan yang terjadi di dunia ini dengan kuasa dan kehendak Tuhan. Mereka masih meyakini bahwa Tuhan pasti ikut campur mengurusi gerak dan keberlangsungan alam ini.

Selain cara pandang di atas, ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa bencana alam yang mengepung bangsa ini tidak lepas dari hukum alam (fenomena alam). Alam sebetulnya memiliki hukum tersendiri yang disebut hukum sebab-akibat. Alam bekerja sesuai mekanismenya sendiri. Karena itu, segala yang terjadi di alam ini tidak lepas dari adanya hukum yang mengaturnya.

Sehingga, mereka beranggapan, bahwa bencana alam ini murni terjadi karena adanya “ketidakberesan” pada alam. Tatanan yang seharusnya serasi, harmonis, dan berjalan sesuai hukum yang berlaku, karena ulah manusia, struktur dan tatanannya rusak. Kerusakan ini disebut dengan bencana.

Mereka sama sekali tidak menghubung-hubungkannya dengan Tuhan. Kalaupun mereka masih percaya terhadap Tuhan sebagai pencipta alam ini, mereka berkeyakinan bahwa Tuhan tidak lagi ikut campur terhadap ciptaannya ini. Tugas Tuhan sudah selesai. Seperti tukang pembuat sepeda, begitu sepeda itu sudah terbentuk sempurna, maka dia tidak lagi ikut campur menggerakkan sepeda itu. Kepercayaan seperti ini disebut dengan monisme.Monisme manganggap bahwa Tuhan itu transeden, tidak imanen. Tuhan ada di sana, bukan di sini.

Dua cara pandang di atas menyebabkan perbedaan dalam menyikapi dan menyelesaikannya. Yang pertama berusaha bagaimana agar Tuhan tidak lagi marah dan menghukum manusia yang tidak taat dan selalu melanggar aturanNya. Dengan demikian, alam akan kembali tenang dan bergerak normal. Sementara bagi yang kedua, mengembalikan keserasian, keharmonisan, dan keseimbangan alam dengan cara kembali pada alam itu sendiri, dengan cara hukum-hukumnya, karakteristiknya, ciri-ciri dan prinsip-prinsipnya.

Misalnya, bagaimana agar tidak terjadi banjir, maka kita harus menjaga hutan-hutan kita, memperbaiki sistem pengairan (drainase), tidak membuang sampah sembarangan, dll. sehingga, dengan cara seperti itu, penyebab terjadinya banjir akan dihindari. Mereka mempelajarinya berdasarkan hukum alam, sebab-akibat. Dengan demikian, kalau kita mau mengetahui sebuah “akibat” maka kita harus mengetahui sebabnya. Dengan cara seperti ini alam akan bisa “dikendalikan”.

Lantas, bagaimana kita menilai dan menyikapi dua cara pandang di atas yang seolah-olah berlainan dan bahkan bertolak belakang itu? Menurut hemat saya, kita harus malakukan sintesa atau mengawinkan kedua cara pandang itu. Inilah yang disebut dialektika pemikiran. Kedua-duanya diambil untuk kemudian diracik, diaduk, dan diberi bentuk lain.

Kita tidak mengingkari adanya Tuhan sebagai penyebab dari segala sesuatu. Keimanan yang sudah sedemikian kuat berkarat dalam diri kita meyakini tidak ada satupun yang luput dari perhatianNya. Semuanya dalam pengawasan, pantauan, dan perintah Tuhan. Karena alam ini diciptakan olehNya, maka dengan sendirinya alam tunduk kepadaNya.

Tetapi kita juga tidak serta-merta mengingkari bahwa tanda-tanda alam (rangkaian dan hukum sebab-akibat yang diciptakan Tuhan itu) sulit atau tidak mungkin dikenali oleh manusia. Dengan bantuan teknologi dan ilmu pengetahuan, manusia dapat mengenal dan mengetahui seluk-beluk alam ini. Sehingga, dengan pengetahuan itu, manusia bisa belajar atau mempelajari segala yang terjadi di alam ini.

Oleh karena itu, langkah yang menurut saya agak aman adalah menggabungkan keduanya. Caranya, pertama, memohon dan berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari segala bencana alam. Juga meminta kepadaNya agar mengampuni segala dosa-dosa yang telah dilakukan oleh mahlukNya. Keharmonisan khalik (Tuhan) dan makhluk (manusia) akan melahirkan kesimbangan, keserasian, dan keteraturan alam semesta ini.

Di samping itu, kita juga senantiasa untuk belajar dan mempelajari struktur alam ini. Misalnya, mengapa gempa bumi? Kita carikan sebab-sebabnya, hukum-hukum yang mengaturnya, kemudian kita antisipasi atau bahkan kita cegah agar tidak terjadi. Karena itu, peran ilmu pengetahuan sangat-sangat penting sekali, terutama untuk menjaga keselarasan, keteraturan dan keharmonisan alam, manusia, dan Tuhan.

Salam,

Jamaluddin Mohammad

Jumat, 08 Oktober 2010

MEMBONGKAR RELASI KUASA DI BALIK FATWA HARAM ROKOK

Telaah atas kitab “Irsyad al-Ikhwan: Fi Bayani Ahkami Syurb al-Dukhan wa al-Qahwa”

Oleh: Jamaluddin Mohammad

“MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANGKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”


Jauh sebelum MUI dan Majelis Tarjih Muhammadiyah menjatuhkan Fatwa Haram terhadap Rokok, Syeikh Ihsan bin Syeikh Muhammad Dahlan (1901-1952), Jampes, Kediri, Jawa Timur, sudah menuliskan perdebatan ulama seputar rokok dalam kitabnya “Irsyad al-Ikhwan: Fi Bayani Ahkami Syurb al-Dukhan wa al-Qahwa”. (Petunjuk Kawan: Tentang Hukum Merokok dan Meminum Kopi). Menurut Syeikh Ihsan, sejak kemunculannya di dunia Islam, rokok dan kopi memang sudah merangsang pembicaraan hangat (discourse) di kalangan ulama.

Tulisan ini akan mencoba membaca kembali kitab tersebut menggunakan kerangka pembacaan “relasi kuasa dan pengetahuan” yang diintrodusir dari Michel Foucault——salah satu filsuf pasca-strukturalis Prancis. Menurut Foucault, pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain. pengetahuan menciptakan kekuasaan. Juga sebaliknya. Keduanya tidak dapat dipisahkan.

Namun, kekuasaan yang dimaksud di sini bukanlah semacam otoritas tunggal yang mewujud dalam bentuk kekusaan negara atau institusi. Kekuasaan bukanlah kemampuan atau kepemilikan. Setiap masa dan waktu tertentu, kata Foucault, pengetahuan tentang sesuatu selalu dipengaruhi oleh “sistem pemikiran” (episteme) tertentu yang menjuruskan cara mempraktekkan ilmu pengetahuan pada zaman tersebut.

Kerja episteme sangat halus menguasai cara berpikir orang dalam kurun waktu tertentu. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana sebuah fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga kompnen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Untuk menggali epiteme agar tampil ke permukaan dibutuhkan “alat” yang oleh Foucault disebut arkeologi.

Melalui pelacakan jaringan kekuasaan yang melatar-belakangi (pembentukan) pengetahuan, kita akan mendapati bahwa pengetahuan tidaklah netral, bebas nilai, objektif, seperti yang selama ini diklaim ilmu pengetahuan modern (postivisme). Bahkan, dalam aras tertentu, kita dapat membongkar ideologi di balik klaim objektivitas ilmu pengetahuan tersebut.

Seperti yang akan kita buktikan dan akan kita temukan pada wacana tentang (hukum) rokok. Ternyata, dalam setiap masa dan waktu tertentu persepsi tentang rokok tidaklah tunggal.

Namun, sebelum melakukan penelusuran lebih jauh kandungan isi kitab ini, alangkah baiknya kita sajikan dulu biografi pengarang kitab ini.

Syeikh Ihsan

Salah satu ulama pesantren yang namanya sempat melambung dan diperhitungkan dunia Islam adalah Kiai Ikhsan bin Muhammad Dahlan. Ia dilahirkan pada 1901 di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo. Ayahnya, Kiai Dahlan bin Saleh, adalah seorang kiai pimpinan pesantren yang masih keturunan Syeh Syarif Hidayatullah, Cirebon, salah satu Wali Sembilan penyebar Islam di Jawa Barat. Sedangkan dari jalur neneknya, Nyai Isti’anah, Kiai Ihsan merupakan keturunan Kiai Hasan Besari, guru penyair Jawa kenamaan, Ronggowarsito.

Kiai Ihsan tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Namun, kiai yang semasa kecilnya dipanggil Bakri ini memiliki kegemaran menonton wayang dan bermain judi sembari ditemani secangkir kopi dan segepok rokok. Tak seorangpun yang dapat menghentikan dan memalingkan kegemarannya itu. Termasuk kedua orang tuanya. Hingga suatu ketika ia diajak orang tuanya berziarah ke makam Kiai Yahuda, Pacitan. Di sini Kiai Dahlan mengadu dan meminta (bertawasul) agar prilaku dan kebiasaan buruk anaknya berubah.

Selapas ziarah, malam harinya, Ihsan bermimpi ditemui seorang kakek-kakek berpakaian putih-putih membawa batu besar sambil berkata: “Ihsan, kalau kau tidak menghentikan kebiasaanmu berjudi, akan saya lemparkan batu ini ke kepalamu!”.

“Apa kepentinganmu mencampuri urusaku!” timpal Ihsan. Seketika itu juga sang kakek melempar batu itu mengenai kepala Ihsan hingga pecah. Begitu terjaga, Ihsan langsung mengucap istighfar dan memohon ampun kepada Allah SWT.

Mimpi itu telah merubah kehidupan dan kebiasaan Ihsan. Sejak itu, ia mengembara menuntut ilmu dari satu kiai ke kiai lain, singgah dari pesantren satu ke pasantren lain. Ia belajar tembang dan syair (ilmu ‘arudh) di pesantren Gondang Legi, Nganjuk, belajar Gramatika Arab (nahwu-shorf) di pesantren Kiai Khalil, Bangkalan, Madura, dan belajar astronomi (falak) di pesantren Kiai Saleh Darat, Semarang.

Pergulatan dan perjumpaan Kiai Ihsan dengan kiai-kiai sepuh di beberapa pesantren melahirkan banyak karya tulis, baik yang sudah atau belum dicetak. Di antaranya, Siraj at-Thalibin, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi al-Qahwah wa ad-Dukhan, Tasrih al-Ibarah, Manahij al-Imdad, dll.

Kitab yang sempat melambungkan namanya ke kancah dunia internasional adalah Siraj at-Thalibin, sebuah komentar (syrh) atas Minhaj al-‘Abidin-nya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Kitab setebal 800 halaman yang dibagi dalam dua jilid ini sempat membuat kagum Raja Faruk, penguasa Mesir waktu itu. Bayangkan, seorang Jawa yang tidak pernah mencicipi tanah Arab, tetapi sanggup membuat karya monumental dengan bahasa Arab yang baik, indah, mengalir, dan seolah-olah menyatu dengan kitab asalnya (matn).

Konon, menurut penuturan kakek saya, Abdul Hannan, yang sempat berdiskusi dan ditemui Kiai Ihsan, bahwa sebelum menulis kitab ini Kiai Ihsan berkeliling Jawa menemui ulama-ulama tasawuf, dukun, penganut mistik-kejawen, untuk berdialog dan berdiskusi seputar pesoalan-persoalan mistis guna lebih memperkaya pemahaman, pengalaman, dan pengamalan mistik-spiritualnya.

Sebelum meninggal, yaitu pada 15 September 1952, Kiai Ihsan sempat ditawari penguasa negeri para Firaun itu untuk mengajar di Universitas al-Azhar, Kairo. Namun, Kiai Ihsan menolak. Ia lebih memilih mengajar dan menghabiskan waktunya di pesantren kecil peninggalan ayahnya, Pesantren Miftahul Huda, Jampes, Kediri. Mungkin, Kiai Ihsan sadar bahwa “kecil itu indah”.

Kandungan Kitab Irsyadul Ikhwan

Di samping cerdas, berotak encer, dan memiliki segudang ide-ide cemerlang, Kiai Ihsan dikenal rajin dan tekun membaca. Buku dan kitab apapun dilahapnya habis. Kiai Ihsan termasuk produktif dan banyak menulis lintas disiplin. Bahkan, sangking produktifnya, ada yang menyebut ia memiliki ilmu laduni, yaitu ilmu yang memancar langsung dari Allah SWT, tanpa melalui usaha (kasb) dan proses belajar.

Dari tangan dinginnya ini, salah satunya, lahir kitab Irsyad al-Ikhwan yang akan kita kuliti dalam tulisan ini. Menurut sejarahnya, kitab ini ditulis untuk menjawab “sindiran” salah seorang kiai lantaran ia terlalu banyak merokok (perokok berat) dan hobi meminum kopi, yang menurut kiai tersebut hukumnya haram (kira-kira kalau sekarang adalah kiai Wahabi). Maklum, bagi kiai Ihsan, rokok dan kopi ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Irsyad al-Ikhwan merupakan komentar (syrh) atas syair (pusi) yang ditulis Kiai Ihsan sendiri yang diadaptasi dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayan al-Qahwah wa al-Dukhan yang ditulis Kiai Dahlan, Semarang, yang menjelaskan seputar rokok dan kopi. Kiai Ihsan menamai kitab syarh-nya ini agak mirip dengan kitab induknya (matn).

Kitab ini terdiri atas empat bab: bab pertama (hal. 1-9) berisi pembukaan, harapan, serta penjelasan penulisnya seputar kandungan kitab ini. Bab dua (hal. 9-19) menjelaskan tentang rokok dan kopi, sejarahnya, berikut sepintas pendapat-pendapat ulama seputar hukum keduanya.

Menurut Kiai Ihsan, pada awal-awal kemunculanya rokok (tembakau) belum dikenal dalam dunia Islam. Terbukti, misalnya, istilah tembakau sendiri bukanlah berasal dari Bahasa Arab. Ada beragam nama untuk menyebut kata ini, di antaranya “tûtûn” dan “at-tanbâk”. Istilah medis menyebutnya “banbajir”.

Tembakau pertama kali ditemukan di daerah Tabacco, Meksiko. Setelah bangsa Eropa (Colombus) menemukan kepulauan Karibia dan di sana banyak sekali tanaman tembakau, serta kebiasaan penduduknya menghisap rokok yang terbuat dari daun tembakau, orang-orang migaran Eropa membawa biji tembakau untuk dibudidayakan di Eropa. Diperkirakan hal itu terjadi pada 1518 M/930 H. Kemudian pada 1560 M/977 H rokok mulai populer dan menyebar luas di Dunia Eropa.

Begitu juga dengan kopi. Kopi baru dikenalkan pada Dunia Arab, Asia dan Afrika pada sekitar 1600 M/1017 H. Tentang hukum kopi, di antara ulama masih berbeda pendapat.

Bab tiga (hal. 19-62) berisi penjelasan seputar pendapat beberapa ulama yang mengharamkan rokok. Sejumlah ulama seperti Syihabuddin al-Qulyubi, Ibrahim al-Luqani, Hasan al-Syarnabila, al-Tarabisyi, memilih untuk menghukumi haram. Alasannya, rokok dapat mendatangkan bahaya, pemakainya akan mudah terserang penyakit, merusak otak, dan mengganggu kesadaran. Karena itu, merokok sama dengan menyakiti diri sendiri, di mana tindakan tersebut sangat-sangat dilarang oleh agama.

Menurut al-Allamah al-Syihab al-Qulyubi, rokok menyebabkan kekebalan tubuh melemah, sehingga mudah terserang penyakit. Penyakit yang biasa menghinggapi perokok adalah penyakit Tarahil dan Tanafis. Penyakit Tarahil adalah penyakit yang menyebabkan seluruh otot kendur. Sedangkan penyakit Tanafus menyebabkan pori-pori tubuh membesar. Juga menyebabkan kepala pusing dan mabuk. Al-Laqani malah menyamakan rokok dengan kecubung dan opium. (hal. 19)

Alhasil. Ada empat alasan ulama mengharamkan rokok. Pertama, rokok dianggap dapat membahayakan kesehatan, seperti yang banyak disinggung ahli medis. Kedua, rokok dapat “melemahkan” penggunanya. Seperti yang dikatakan Hadis Nabi SAW, bahwa beliau mencegas sesuatu yang memabukkan dan melemahkan. Rokok termasuk yang kedua. Ketiga, aroma dan asap rokok dapat mengganggu orang lain. Ini sangat dilarang agama. Bukankah banyak hasi-hadis Nabi SAW yang melarang memakan makanan yang baunya tak sedap. Menurut pendapat ini, rokok termasuk di dalamnya. Dan yang keempat lebih melihat pada asas manfaatnya. Menurut pendapat ini, rokok tidak ada manfaatnya sama sekali, bahkan membahayakan. Membeli rokok sama dengan membuang-buang harta.

Sedangkan Bab empat (hal. 26-41) berisi pendapat ulama yang membolehkan rokok sekaligus memuat bantahan (counter) terhadap ulama yang mengharamkannya. Bagi ulama yang membolehkan, seperti Abdul Ghani al-Nabulusi dan Ali al-Syibramilisi, pengaharam rokok tidak berdasar sama sekali, karena tidak ada satupun hadis ataupun ayat al-Quran yang secara tegas melarangnya.

Menurutnya, hukum haram hanya berlaku bagi mereka yang sakit, mudah terserang penyakit, yang apabila merokok maka akan membahayakan, bahkan memperparah sakitnya.

Sementara pendapat yang mu’tamad memilih hukum makruh. Pendapat ini disinyalir oleh al-Bajuri didalam kitabnya. Menurut al-Bajuri, pendapat yang mengharamkan rokok berasal dari qaul dha’if (lemah). Pendapat al-Bajuri ini didukung Muhammad Said dan Muhammad Ibnu Musa.

Dengan demikian, status hukum yang menempel pada rokok bukan disebabkan pada dirinya sendiri, dzat rokok, melainkan oleh sesuatu yang lain (amrun kharij). Hakikatnya, rokok tidak dapat dihukumi apapun. Yang mengatakan rokok haram, beralasan bahwa rokok membahayakan, dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya, bagi yang membolehkan, merokok tidak membahayakan. Apalagi, tidak ada satupun dalil-dalil yang menegaskan keharamannya.

Dalam kaidah fiqh dikenal “al-Ashl baqa’u ma kaana ala ma kana” (hukum asal sesuatu tergantung pada awal penciptaannya). Ada dua pendapat soal hukum asal sesuatu. Yang pertama mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah boleh (al-ashlu al-ibahah), kecuali terdapat dalil-dalil (nash) yang menyatakan sebaliknya. Sedangkan yang kedua mengatakan asal segala sesuatu adalah tidak boleh (al-ashlu al-tahrim). Pendapat yang pertama lebih unggul.

Uniknya, dari sekian pendapat yang ada, baik pro maupun kontra, tidak satupun yang mengungkapkan berdasarkan alasan-alasan keagamaan. Semuanya bermuara pada satu pertanyaan: apakah rokok berbahaya? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan status hukum rokok. Seperti kita ketahui, ulama yang mengharamkan rokok berpegang dan didasarkan pada pertimbangan dan temuan medis: rokok berbahaya bagi kesehatan. Sementara bagi yang menolak tidak percaya begitu saja terhadap pendapat tersebut.

Lantas, pertanyaannya: siapakah yang berhak menentukan bahaya-tidaknya rokok? Di sinilah peran kuasa dan kaitannya dengan pengetahuan dapat kita ketahui. Siapapun yang (dianggap) mengetahui sesuatu, maka ia berkuasa untuk menentukan sesuatu itu. Karena dokter dianggap (satu-satunya) memiliki pengetahuan tentang hal-ikhwal penyakit dan kesehatan, maka ia berhak untuk menentukan pasiennya.

Inilah zamannya ilmu medis yang dirasuki cara berpikir positivistik. Ilmu medislah yang berkuasa menentukan rokok sebagai patologi yang merusak masa depan kehidupan manusia. Sementara pengetahuan yang lain yang tidak sejalan akan disingkirkan dan ditaruh dalam kotak. Jangan harap pengetahuan dukun atau klenik mendapat tempat atau dapat bersuara di zaman sekarang ini.

Padahal, berdasarkan data-data sejarah, dalam kurun waktu tertentu rokok tidaklah dianggap penyakit, malah dijadikan sebagai media pengobatan, bahkan sebagai perantara dunia spiritual. Di sinilihah urgensi pemikiran Foucault dalam membedah relasi kuasa dan pengetahuan. Bagaimana persepsi tentang sesuatu (wacana) dipengaruhi oleh episteme yang berlaku pada saat itu.

Sejarah (hukum) rokok

Sebagaimana yang disebutkan Kiai Ihsan di atas, bahwa tembakau berasal dari benua Amerika. Menurut sejarahnya, sekitar 100 tahun SM suku-suku di sana, terutama suku Maya, Aztek, dan Indian, sudah terbiasa menggunakan rokok sebagai media pengobatan, ritual pemujaan terhadap dewa-dewa, juga sebagai pengusir roh-roh halus.

Setelah Colombus menemukan benua Amerika dan membangun koloni-koloni di sana, tembakau dan kebiasaan merokok mulai dikenalkan pada masyarakat Eropa. Bibit-bibit tembakau dibudidayakan di Eropa. Tercatat, Jean Nicot adalah orang yang pertamakali mempopulerka rokok di benua Eropa. Sejak itu, rokok menjadi satu-satunya komoditas yang menguntungkan. Idustri rokok bermunculan di mana-mana.

Begitu juga dengan sejarah penemuan rokok kretek (rokok racikan tembakau dan cengkeh). Konon, sejarahnya bermula dari Haji Djamari, laki-laki asal Kudus. Djamari mengeluh karena penyakit asma yang dideritanya tak kunjung sembuh. Awalnya ia mengoleskan minyak cengkeh di dadanya. Kemudian ia mencoba-coba mencampurkan cengkeh dengan tembakau untuk dijadikan rokok. Anehnya, dengan cara itu ia bisa sembuh dari penyakitnya. Mulai saat itu, Djamari mengenalkan rokok hasil racikannya ke masyarakat.

Baru pada pertengahan abad 20 pandangan terhadap rokok mulai berubah. Rokok mulai dihubung-hubungkan dengan kesehatan. Asosiasi dokter bedah Amerika mulai melakukan kampanye bahwa rokok dapat menyebabkan kangker paru-paru. Mulai saat itu iklan rokok dilarang. Di Inggris pelarangan rokok dimulai tahun 1965, sedangkan Amerika tahun 1970.

Di siniliah konstruksi tentang bahaya rokok mulai dibangun. Bermula dari penelitian medis yang menggunakan uji statistik, misalnya, sekelompok orang yang menghabiskan rokok dalam jumlah besar akan lebih mudah beresiko terkena penyakit dibanding orang yang merokok biasa saja. Uji sample ini diterapkan dan berlaku pada setiap perokok di belahan dunia manapun.

Selanjutnya, wacana rokok yang dibangun dan dikonstruksikan oleh kalangan medis pada akhirnya dipakai para ulama dalam merumuskan dan memutuskan status hukum rokok. Di sinilah antar wacana kemudian bertemu dan berbicara dalam tema yang sama. Hal ini, oleh Foucoult, disebut formasi diskursif. Dengan cara seperti inilah “kebenaran” dibangun.

Merawat keberagaman

Dalam kitabnya ini, Kiai Ihsan menyebutkan semua pendapat ulama, baik yang menghalalkan maupun yang mengharamkan rokok dan kopi, dengan argumentasi masing-masing, tanpa disembunyikan, ditutup-tutupi, apalagi dipukul rata (melakukan generalisasi). Dengan keragaman pendapat itu, Kiai Ihsan ingin menunjukkan bahwa “kebenaran” tidaklah tampil tunggal. Ia muncul dengan spektrum yang berbeda-beda. Semuanya diserahkan sepenuhnya tergantung pada pilihan, penilaian, dan persepsi pembaca (reader) untuk mengikuti qaul (pendapat) manapun.

Hal ini sangat berbeda denga fatwa haram rokok yang dikemukakan Majelis Tarjih Muhammadiyyah akhir-akhir ini. Fatwa itu “menyembunyikan” pendapat lain dengan cara membunuh keragaman pendapat yang merupakan kekayaan dan khazanah tersendiri. Dengan memutlakkan suatu pendapat, memukul rata sebuah keputusan, melakukan totalisasi, berarti telah menyingkirkan pendapat lain yang berbeda. Ini termasuk jenis “kekerasan” tersendiri, kekerasan yang dilakukan “yang kuat dan yang berkuasa” terhadap “yang lemah dan yang dikuasai”.

Sehingga, kita bisa melacak dan balik bertanya, ada apa di balik Muhammadiyyah mengeluarkan fatwa itu? Mengapa harus haram? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan oleh fatwa ini? Siapa pula yang berkepentingan terhadap fatwa ini? Di sinilah jaringan kekuasaan itu bisa kita lacak. Ternyata, pengetahuan tidak lepas dari kekuasaan yang berjalin-kelindan di antara keduanya.

Saya yakin, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah tunggal. Sebagaimana fatwa ini yang sesungguhnya tidak tunggal dan seragam. Mari kita rayakan perbedaan dan keragamaan itu.


Wallahu a’lam bi sawab....


Makalah ini disampaikan pada diskusi mingguan Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP) di Ciputat pada 07 Oktober 2010

Selasa, 14 September 2010

AGAMA YANG MEMBEBASKAN

Kita butuh agama yang membebaskan: agama yang tidak hanya disibukkan dengan seremonial keagamaan, akan tetapi dapat memberikan solusi pada problematika kehidupan.

Seperti di bulan Ramadhan ini, seolah-olah kita betul-betul tengah hidup di “bulan suci” yang dipenuhi hikmah, nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan.

Padahal, realitas di belakang kita sungguh-sungguh menyedihkan. Banyak sekali saudara-saudara kita yang masih dihimpit kesulitan hidup, kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan ketidakadilan. Agama seolah-olah tidak bisa memberikan jawaban dan penyelesaian. Nyatanya, agama mandul ketika dihadapkan pada realitas sosial yang sesungguhnya.

Lantas, apakah selama ini agama hanya sekedar untuk didakwahkan? Kalau begitu, apa gunanya Allah SWT mengutus 124.000 nabi kalau hanya untuk menghibur (al-ibsyar) dan menakut-nakuti (al-indzar) umat manusia? Apa sebetulnya fungsi agama bagi kehidupan manusia? Bagaimana agama memandang manusia dan kemanusiaan?

Kita butuh seorang ulama

Secara bahasa “ulama” merupakan bentuk jamak (plural) dari ‘alim yang berarti “orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, atau ilmuan. Dalam Al-Qur’an, kata “ulama” disebut sebanyak dua kali, yakni QS Al-Syu’ara (26): 197 dan QS Fathir (35): 28. Nabi Muhammad SAW pernah berujar bahwa “ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi). Ulama juga disebut-sebut sebagai “pemegang amanat Allah atas makhluk-Nya” (HR. Al-Qudla’i dan Ibnu ‘Asakir), dan “pemimpin panutan ummat” (HR. Ibnu Hajar).

Ini menunjukkan betapa mulia kedudukan ulama sampai Nabi SAW sendiri memposisikan mereka menggantikan peran dan fungsi nabi-nabi. Apa sebetulnya peran dan fungsi nabi? Sejarah para nabi adalah sejarah pembebasan, perjuangan dan pergulatan melawan ketidakadilan, merubah tatanan sosial-budaya yang korup, selalu berpihak pada golongan lemah, dan berorientasi pada transformasi sosial yang berkeadilan, egalitarian, kemaslahatan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kita bisa berkaca pada sejarah Nabi Ibrahim yang membebaskan umatnya dari “berhala-berhala” yang merenggut kebebasan manusia (QS Ibrahim [14]: 35). Berhala adalah simbol dari keterbelengguan manusia terhadap “idola-idola”. Idola, sebagaimana yang dikatakan Sir Francis Bacon, adalah semacam rintangan yang menghalangi kemajuan manusia. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola bisa merasuki pikiran kita sehingga kita enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis. Misi Nabi Ibrahim pada waktu itu adalah membebaskan umatnya dari idola-idola yang dapat menghalangi mereka dalam membaca realitas sosial dengan jernih dan kritis.

Begitu juga dengan Nabi Musa yang berani melawan dan menantang Firaun, penguasa tiranik dan despotis (taghut, QS Thaha [20]: 24), yang merampok hak-hak, martabat dan kebebasan rakyat (QS Al-Baqarah [02]: 49)। Atau Nabi Isa yang menebarkan kasih sayang dan melakukan pembebasan bagi umat manusia. Di samping itu, kita juga bisa menengok pada sejarah Nabi Muhammad SAW yang konsisten melawan ketidakadilan sistem sosial-budaya masyarakat Arab waktu itu. Ini adalah sebagian dari sunnah para Nabi. Teladan dan perjuangan seperti ini yang sepatutnya dilakukan para ulama selaku pewaris para nabi.

Autisme sosial

Kemandulan ulama terjadi karena mereka tidak lagi memainkan peran dan fungsinya di masyarakat. Mereka tidak lagi melakukan dakwah sebagaimana yang dipraktikkan oleh nabi-nabi. Ulama kita tengah mengidap penyakit autisme sosial. Cirinya, abai terhadap persoalan-persoalan sosial. Mereka lebih disibukkan dengan urusan langit yang sama sekali tidak berhubungan dengan problem-problem kemanusiaan.

Autisme adalah suatu gangguan neurobiologis yang terjadi pada anak di bawah umur 3 tahun. Ia ditandai dengan ketidakmampuan yang bersangkutan untuk berkomunikasi atau berbicara dengan orang lain, bahkan dengan orang tua atau saudaranya sendiri. Mereka hidup dalam dunianya sendiri, atau dunia khayalan, seolah-olah hanya mereka sendirilah yang ada dalam lingkungan hidup ini.

Sementara autisme sosial yang diidap para ulama adalah menyebabkan mereka rabun terhadap berbagai persoalan yang melilit masyarakat dan abai dengan keinginan masyarakat. Akibatnya, ulama/isntitusi keulamaan (Ormas keagamaan) hanya berada di atas menara gading. Suara mereka tidak pernah merepresentasikan persoalan-persoalan keumatan.

Misalnya, sebagai contoh kecil, mereka gencar mendesak pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah. Aliran yang satu ini dianggap membahayakan keyakinan umat Islam, karena memiliki Nabi dan Kitab Suci sendiri. Ahmadiyah dianggap telah menyimpang dari ajaran dan keyakinan mainstream.

Padahal, di tengah desakan tuntutan pembubaran Ahmadiyah, tidak sedikit umatnya yang sedang sekarat melawan beban hidup. Mereka menderita bukan karena agama atau keyakinan mereka dikotori aliran atau kepercayaan lain. Dalam benak mereka, tidak sedikitpun terbersit pertanyaan apakah Tuhan pernah mengutus seorang Nabi pasca Nabi Muhammad SAW?

Pernyataan seperti itu hanya muncul pada elit-elit agamawan. Masyarakat awam lebih merespon pengalaman-pengalaman kongkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Mereka butuh makan untuk menyambung hidup, membutuhkan biaya untuk sekolah anak-anak mereka, juga biaya kesehatan apabila mereka sakit.

Maka, sudah saatnya kita harus mengembalikan fungsi, peran serta kedudukan ulama sebagai “Pewaris Para Nabi”. Agama harus diabdikan untuk tujuan dan kepentingan manusia dan kemanusiaan, yakni kemaslahatan dunia maupun akhirat (sa’adah fi al-daraen).

Kamis, 19 Agustus 2010

TENTANG ARIEL, LUNA DAN CUT TARI

Oleh: Jamaluddin Mohammad

"Masyarakat kita mewarisi seksualitas zaman Victoria yang bercirikan menahan diri, diam, munafik, dan malu-malu"
[Michel Foucault]


Ariel, Luna, dan Cut Tari akhirnya menjadi tersangka. Dalam minggu-minggu terakhir media kita tak habis-habisnya mengekspos berita video panas yang diduga dilakukan ketiga artis tersebut. Pemberitaan tentang video syur itu mampu menyedot perhatian publik, bahkan menggeser isu-isu “seksi” lainnya yang sudah sekian minggu bertengger di papan atas tangga pemberitaan media, khususnya media televisi. Sampai-sampai, kasus-kasus besar seperti Century, KPK, Gayus Tambunan, yang nyata-nyata berdampak langsung dan merugikan negara juga ikut terlibas habis.

Sungguh dahsyat peran yang dimainkan dan dampak realitas yang disuguhkan media. Ariel, Luna dan Cut Tari adalah tokoh (publik figur) yang “diciptakan” media. Namun, sekarang ini citra ketiganya tengah dihabisi melalui pemberitaan yang tak habis-habisnya, sehingga menimbulkan ragam tanggapan dan persepsi masyarakat (opini publik).


Yang penasan dengan video itu langsung mencari atau mendownload dari internet. Yang merasa paling bertanggung jawab mengawal persoalan moral, semisal FPI, langsung bereaksi, mencaci, mencekal, hingga memboikot ketiganya. Pihak kepolisian sibuk mengusut tuntas kebenaran dan keaslian pelaku dalam video, sekaligus menangkap orang-orang yang diduga menyebarkan (mengupload) video tersebut ke internet. Bahkan, yang terakhir, menyeruak kembali wacana pentingnya memperketat UU Pornografi-Pornoaksi.


Jika melihat maraknya protes dan reaksi masyarakat terhadap video tersebut, agaknya masyarakat kita masih betul-betul menganggap penting dan menjungjung tinggi nilai-nilai moralitas. Namun, sayangnya, moralitas yang dipahami adalah moralitas yang sudah dikebiri dan direduksi. Buktinya, persoalan-persoalan lain, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, tindakan pemerintah mencaplok tanah rakyat untuk pembangunan, misalnya, seolah-olah bukan bagian dari problem moralitas.


Pertanyaannya, mengapa “polisi moral” seperti FPI tak berteriak lantang dan tak berani memboikot atau mencekal Anggodo dan Gayus yang jelas-jelas merampok uang negara triliunan rupiah? Apakah mereka berani memboikot aset-aset Abu Rizal Bakri yang nyata-nyayat telah mengubur nasib ribuan orang dengan lumpur Lapindo? Why?


Dari sini, saya kira penting “merubah” paradigma masyarakat dalam melihat, membaca, dan mencerna persoalan. Sebetulnya, kalau masyarakat mau bersikap kritis terhadap media, tidak ada yang perlu diributkan soal video mesum itu. Sayangnya, selama ini pemberitaan media terhadap ketiganya tidak adil. Ketiganya hanya diperlakukan sebagai objek. Polisi hanya sibuk mengusut kebenaran dan keaslian pelaku dalam video tersebut. Juga sibuk mencari siapa yang pertama kali menyebarkan video mesum itu. Laskar-laskar “moral” seperti FPI hanya bisa menuduh, mengutuk, dan mencaci meskipun belum terbukti kebenarannya.


Saya kira, di sinilah pentingnya bersikap kritis dalam membaca, menilai, dan memilah pemberitaan media; sanggup membedakan antara relitas yang diciptakan media (imajiner) dan realitas sesungguhnya (kongkrit), sehingga kita tidak mudah terjebak, apalagi sekadar menjadi konsumen dan mesin yang diciptakan media. Singkatnya, membiasakan tabayyun (klarifikasi) sebelum menjatuhkan pilihan dan penilaian.


Sayangnya, yang sering kali terjadi adalah sebaliknya: penilaian mendahului kenyataan. Seperti yang terjadi pada kasus Ariel dan video panasnya. Selama ini, respon, persepis, dan penilaian masyarakat terhadap video itu sebelumnya sudah dibentuk, diwarnai, dan diciptakan oleh media.


Akibatnya, muncullah tuduhan-tuduhan yang belum pasti kebenarannya. Padahal, menuduh zina juga hukumannya tidak kalah hebat dengan zina itu sendiri. Mari kita renungkan surat An-Nur 4-5 di bawah ini:


“Dan orang-orang yang menuduh (zina) wanita-wanita yang baik, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka adalah orang-orang fasik. Kecuali setelah itu orang-orang tersebut bertaubat dan mau memperbaiki kesalahannya. Maka sesuangguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Konon, ayat itu turun barkaitan dengan kebiasaan buruk masyarakat Arab yang mudah sekali menjatuhkan tuduhan zina kepada laki-laki atau perempuan yang duduk berdua meskipun sebetulnya hanya sekadar ngobrol atau berkenalan. Mereka juga kerap kali menuduh istrinya berzina jika anak yang dilahirkan tidak mirip suaminya.


Ayat ini memberikan semacam peringatan kepada siapapun untuk tidak gampang menuduh zina terhadap orang lain. Al-Quran memberikan syarat-syarat tertentu, seperti syarat harus menghadirkan empat orang saksi yang keempat-empatnya melihat secara kasat mata perbuatan tersebut. Apabila tidak dapat menunjukkan empat orang saksi, maka harus dihukum cambuk sebanyak 80 kali.


Menurut salah satu riwayat, ayat ini turun berkaitan dengan Hilal bin Umayyah, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, yang mengadu kepada Nabi SAW bahwa istrinya berselingkuh. Nabi tidak langsung percaya. Sebelumnya, Nabi mengkroscek kebenaran tuduhan tersebut. Kemudian turunlah Jibril membawa ayat ini.


Artinya, sebelum mendapatkan kepastian, sebaiknya menahan diri untuk tidak memberikan penilaian dan keputusan. Dan, menurut saya, kepastian itu hanya diperoleh dari pengakuan atau kesaksian langsung dari orang yang melihat perbuatan tersebut, bukan dari “keaslian” yang didasarkan pada kemiripan (video aseli belum tentu orangnya juga aseli).


Seandainya video itu betul-betul aseli dan pelakunya adalah Ariel, Luna, dan Cut Tari, saya kira ketiganya tidak harus membeberkan, membuat kesaksian, atau bahkan tidak perlu meminta maaf di depan publik. Biarlah disimpan rapat-rapat, menjadi rahasia terbesar dalam kehidupan mereka bertiga. Kesaksian dan permohonan maaf itu hanya cukup untuk Tuhan, dengan cara bertaubat dengan sebenar-benarnya bertaubat dan berbuat baik. Saya yakin Tuhan akan mengampuninya.

Senin, 21 Juni 2010

SEPAK BOLA API



Oleh: Jamaluddin Mohammad


Dalam satu bulan terakhir perhatian miliaran penduduk bumi tertuju ke Afrika Selatan, tempat pertandingan sepak bola dunia digelar. Sejumlah negara bertanding guna memperebutkan piala bergilir World Cup. Pemain-pemain tangguh dunia saling beradu dan mempertontonkan kepiawaian dan kelincahan mereka bermain dan memainkan si kulit bundar hingga menembus gawang musuh.


Olah raga Sepak Bola diperkirakan sudah ada semenjak 2-3 abad SM. Ia berasal dari China. Awalnya, di sana disebut Tsu Chu. Tsu berarti “menendang bola dengan kaki”. Sedangkan Chu artinya “bola dari kulit dan ada isinya”. Selanjutnya, permainan ini menyebar ke seluruh pelosok dunia dan paling digemari banyak orang.


Namun, berbeda dengan Tsu Chu yang bolanya terbuat dari kulit dan di dalam berisi angin, santri-santri Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin biasa bermain sepak bola yang bolanya terbuat dari api. Setiap menjelang Akhirussanah, santri-santri di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon merayakannya dengan pentas seni sepak bola api. Di pondok pesantren yang didirikan pada 1715 M itu, permainan ini sudah mentradisi sejak tahun 50an di.


Sepak bola api sebetulnya tidak jauh berbeda dengan sepak bola pada umumnya. Hanya saja, bolanya terbuat dari buah kelapa yang sudah kering, kemudian dikuliti lapisan luarnya. Setelah itu, di rendam di minyak tanah selama beberapa minggu. Pada saat akan dimainkan, bolanya dibakar dan dimainkan ketika menyala.


Berbeda dengan sepak bola biasa, sepak bola api tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, keberanian, kecerdikan, kepiawaian serta ketangkasan dalam memainkan bola, melainkan harus dibekali ketangguhan psikis dan kekuatan spiritual. Sebelum bermain, para santri harus melewati “ritual khusus” agar tahan panas dan tidak mempan api.


Mereka harus berpuasa selama 21 hari, mengamalkan aurad-aurad (wiridan/bacaan) tertentu, yang dibaca di waktu-waktu khusus, menghindari makanan-makanan yang dimasak dengan api (bila al-nar), mengandung unsur nyawa (bila al-ruh), dan biasanya diakhiri dengan “matigeni” (puasa satu hari satu malam tanpa tidur).


Setelah melewati ”ritual” tersebut, para santri memiliki kekuatan tahan panas dan tidak mempan api, sehingga dengan leluasa menendang, memegang, bahkan menyundul bola api tanpa merasakan panas, gosong, apalagi terbakar. Seolah-olah api itu sudah “ditundukkan” dan “dijinakkan” sehingga tidak lagi berbahaya, malah dijadikan tontonan dan permainan.


Biasanya, sebelum pertandingan bola api dimulai, para santri mementaskan segala permainan yang berhubungan dengan api, misalnya tongkat api, menggoreng pisang dengan tangan telanjang, hingga “mandi petasan” (melilitkan petasan renteng sebesar jempol kaki ke sekujur tubuh kemudian ditabuh).


Permainan-permainan tersebut seakan telah membalik ketentuan dan keteraturan hukum alam. Api yang seharusnya panas dan membakar, tidak lagi tunduk dan patuh pada asal kejadiannya.


Meneladani kisah Nabi Ibrahim AS

Dalam Islam, fenomena seperti itu sebetulnya sudah ada preseden sejarahnya, sebagaimana yang diceritakan di dalam a-Quran Surat Al-Anbiya. Waktu itu, Nabi Ibrahim AS dibakar hidup-hidup oleh Namrud, Raja Mesopotamia, karena dianggap telah menghina dan menghancurkan “tuhan-tuhan” mereka berupa Berhala.


Nabi Ibrahim dihukum dengan cara dibakar hidup-hidup. Namun, dalam kobaran dan jilatan api, Nabi Ibrahim malah menggigil kedinginan. Allah SWT, melalui Jibril, memerintahkan pada api agar menjadi dingin dan memberikan keselamatan pada kekasihnya itu (QS. Al-Anbiya 69)


Ismail Haqi dalam “Ruh al-Bayan” menceritakan: semenjak kejadian itu, dalam beberapa hari api tidak lagi panas (dingin). Nabi Ibrahim berada di dalam kobaran api sekitar 40-50 hari. Namun, di tengah-tengah kepungan dan gumpalan api, Ibrahim malah mendapatkan pengalaman terindah dalam hidupnya. “Tidak ada kehidupan yang paling indah selain ketika aku berada di dalam api,” kata Ibrahim.


Sementara, Ibnu Katsir mencoba memberikan alasan tidak terbakarnya Nabi Ibrahim. Menurutnya, api adalah dzat (substansi), sedangkan potensi yang dihasilkan api, semisal “panas” dan “membakar” adalah sifatnya (aksiden). Tidak terbakarnya Ibrahim karena Allah SWT sebagai Prima Cause (penyebab pertama) sudah melepaskan sifat-sifat tersebut, tetapi tetap membiarkan dzatnya berupa sinar dan nyala api.


Berbeda dengan panafsiran mainstream, Ibnu Arabi memahami peristwa dibakarnya Nabi Ibrahim bukanlah peristiwa sebenarnya. Kejadian itu bukanlah peristiwa historis yang mengacu pada realitas kongkrit. Menurutnya, ayat itu berbicara tentang perjalanan spiritual (al-wushul hal al-fana’) menuju panyatuan dengan Tuhannya. Api yang yang digambarkan dalam ayat itu adalah api cinta (al-isyq) yang membakar seseorang ketika melihat alam malakut.


Apapun pendapat dan interpretasinya, kejadian suprahuman dan supranatural seperti yang dialami Ibrahim, dalam Islam dikenal dengan nama mukjizat. Mukjizat diberikan Allah SWT kepada Nabi-Nabi-Nya sebagai bentuk legalitas kenabian sekaligus sebagi senjata untuk menundukkan dan mengalahkan musuh-musuh-Nya. Salah satunya mukjizat Nabi Ibrahim berupa kekebalan terhadap api.


Menurut Abu Zahrah, selain mukjizat Nabi Muhammad SAW berupa al-Quran, mukjizat Nabi-Nabi sebelumnya bisa bisa ditiru (dipelajari) dan dipraktikkan oleh umat Nabi Muhammad SAW. Nah, apa yang dilakukan santri-santri di Babakan, Ciwaringin, Cirebon merupakan hasil belajar dari kisah dan teladan yang dilakukan Ibrahim.


Bukan tontonan tapi tuntunan

Suatu ketika sebuah stasiun televisi swasta melakukan liputan khusus pertandingan sepak bola api untuk ditayangkan pada program khusus di televisi tersebut. Di tengah-tengah permainan, tiba-tiba host acara tersebut yang kebetulan orang Bule meminta ikut pertandingan. Tanpa puasa dan tanpa melewati ritual khusus, si Bule berbaur mengikuti pertandingan sampai selesai. Ternyata, ia tidak gosong juga tidak terbakar. Mengapa?


Memang, permainan sepak bola api bukanlah satu-satunya tradisi milik santri di Pesantren Babakan Ciwaringin, melainkan di daerah-daerah lain di Indonesia juga mempunyai tradisi yang sama. Bahkan, di daerah tertentu, bola api dimainkan oleh anak-anak kecil. Namun, rata-rata menggunakan trik dan kecepatan kaki sehingga tidak panas dan tidak sampai terbakar.


Dengan demikian, kalau hanya sekadar tontonan dan hiburan, bola api bisa dimainkan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Sebagaimana ketika pemodal (media massa) mengambil alih tradisi ini sebagai sebuah komoditas yang diproduksi, direproduksi secara massal, ia tidak lagi memiliki makna apa-apa selain sebuah “pertunjukan” yang berorientasi materi.


Tetapi, bagi santri-santri di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, sepak bola api bukanlah sekadar tontonan yang menghibur, melainkan mengandung sebuah tuntunan, pesan dan dakwah. Untuk memainkan permainan langka ini, para santri harus melakukan latihan spiritual (riadloh), seperti puasa dan menghindari makanan-makanan tertentu.


Dalam diri setiap manusia terdapat unsur (anasir) api. Api adalah nafsu yang membakar, menghuni, sekaligus menguasai setiap manusia. Orang yang membiarkan dirinya terbakar oleh nafsu, maka seluruh sikap, prilaku, dan tindakan akan berpotensi merusak. Sehingga, timbulah kekacauan (chaos), kerusakan, ketidakstabilan, dan disharmoni.


Oleh karena itu, agar hidup manusia tidak didikte dan dikendalikan oleh nafsu, maka ia harus dijinakkan dengan cara berpuasa dan melakukan keselarasan dan keseimbangan (harmoni) dengan alam (pantangan memakan makanan yang mengandung unsur nyawa dan dimasak dengan api). Dengan ini, terjadilah keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan hidup dan kehidupan (back to nature).


Bola api, bagi santri-santri Babakan Ciwaringin, adalah semacam ritual olah batin atau latihan spiritual yang tujuannya untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan, sekaligus menunjukkan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, yang dikemas dalam bentuk olah raga dan hiburan.


Lantas, bagaimana dengan sepak bola biasa? Makna apa yang bisa kita petik dari permainan ini?


Sekian. Wallahu a’lam bi sawab.

Senin, 07 Juni 2010

HABIB DJOKO

Judul buku : Habib Palsu Tersandung Cinta

Penulis : Ubay Baiquni

Penerbit : Pinus Book Publisher

Cetakan : cetakan 1, Januar 2010

Ukuran/hal : 12 x 19 cm, 234 Hal



Ketika membaca novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” yang ditulis Baiquni, ingatan saya jatuh ke tahun 2002-an saat masih berada di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Saya memiliki seorang teman bernama Djoko. Ia pernah mengguncang salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur itu. Namun, nasibnya sungguh tragis. Sebulan lagi tamat sekolah pesantren, ia dipaksa meninggalkan pondok. Sebelum diusir, ia diarak keliling pondok, dihujani caci-maki ribuan santri, dipukuli sampai berdarah-darah hingga nyaris mati.



Pasalnya, ia telah melakukan kesalahan, yang menurut ukuran pesantren, termasuk salah satu “dosa besar”: ia mengaku habib. Habib (di Jawa Timur disebut Ayik, di Jawa Barat Ayip. Keduanya berasal dari Syarif yang artinya Mulia/Yang Mulia) adalah sebutan untuk kerabat Nabi Muhammad SAW. Dalam budaya pesantren, habib menempati strata sosial paling tinggi. Habib berada di atas Gus, sebutan untuk keturunan kiai. Habib sangat dihormati, disegani, sekaligus ditakuti banyak orang. Tidak sedikit yang meyakini doanya maqbul, bebas “sensor” Tuhan, sehingga banyak yang meminta doa dan berkahnya. Segala kata-katanya dianggap doa. Karena itu, tidak sembarang orang berani menyinggung perasaannya, menghina apalagi sampai mencaci-maki, bisa-bisa kuwalat.



Banyak yang meyakini, darah Nabi SAW yang mengaliri sekujur tubuh setiap habib membuatnya “kebal syariat” dan tidak mempan api neraka. Sehingga, apapun yang dilakukan habib, baik ataupun buruk, tidak ada yang berani menegur, mengingatkan, apalagi sampai memarahi. Mungkin, inilah yang marangsang Djoko mengaku sebagai habib.



Awalnya, Djoko meniti karir sebagai penjaga warung kiai (ndalem). Pertama kali saya mengenalnya, Djoko seorang pendiam, ramah, meski pelit membagi senyum. Dari sini tidak ada tanda-tanda aneh. Ia hidup layaknya santri biasa: pagi hari sekolah madrasah, siangnya musyawarah, agak sore ngaji ngapsai (memaknai) kitab, menjelang malam ia mendapat giliran menjaga warung, dan seterusnya.



Namun, saya sempat kehilangan dia. Biasanya, menjelang tengah malam sehabis sekolah, saya dan kawan-kawan cangkruan (nongkrong sambil ngobrol-ngobrol dan membawa sisa diskusi di kelas) di warung Djoko, sambil menikmati kopi Brontoseno, salah satu kopi kesukaan santri Lirboyo karena racikannya yang halus sehingga mudah dibuat cete (mengecat sebatang rokok dengan ampas kopi) untuk menambah cita-rasa rokok. Rasanya nikmat sekali.



Satu tahun dia menghilang tak diketahui di mana rimbanya. Teman-temannya, termasuk saya, merasa kehilangan. Kepergiannya meninggalkan banyak cerita. Ada yang menyebut dia pindah pondok ke salah satu pesantren di Pasuruan. Ada lagi yang mengatakan bahwa dia kembali lagi ke habitat awalnya sebagai pedagang asongan di salah satu terminal di Sidoarjo. Juga ada yang bercerita bahwa dia bertapa di Gunung Lawu, meminta pesugihan. Namun, tidak satupun cerita-cerita tersebut yang menarik perhatianku. Satu-satunya keyakinan saya waktu itu, kondisi ekonominya yang buruk menyebabkan dia tak mampu meneruskan sekolahnya, apalagi untuk membeli kitab-kitab, dan membayar uang pondok.



Setahun kemudian Djoko datang lagi ke pondok dengan “bajunya” yang baru, gaya dan penampilan 300 persen berbeda. Ia suka bercerita, berdiskusi, dan obrolannya banyak dibumbuhi kata-kata Arab, seperti bahlul, harem, jama’ah, ahwal, qahwah, jid, dst. Ia tidak lagi menyebut “aku-awa’mu” (aku-kamu), melainkan “ane-ente”. Yang lebih mengagetkan banyak teman-temannya, menurut pengakuannya, ia seorang habib. Nama aselinya Muhammad bin Muhammad As-Segaf, salah satu marga habib paling bergengsi. Ia membuat pohon silsilah berukuran besar yang dipampang di biliknya. Banyak photo-photo habib berukuran besar menghiasi tembok kamarnya. Ia sering membawa orang-orang berhidung mancung dan berperawakan Arab ke pondok untuk dikenalkan kepada teman-temannya.



Untuk meyakinkan bahwa ia betul-betul habib, keturunan Arab aseli, ia menyuntik silicon dihidungnya agar kelihatan mancung. Di HP-nya (waktu itu masih sangat jarang orang memilikiHP) banyak berjejer nomor-nomor telepon habaib (bentuk plural dari habib) dan Syrifah (sebutan untuk perempuan keturunan Nabi SAW).



Semenjak itu namanya mulai harum dan dikenal banyak orang. Seperti halnya gus dan habib-habib, ia mulai mendapat perlakuan istimewa, previllage, ditempatkan di kamar khusus, disegani, dihormati, dan mulai disebut-sebut banyak santri, pengurus dan keamanan pondok. Ia mendapat dispensasi dan pengecualian untuk “melanggar” peraturan pondok, seperti membawa alat-alat elektronik, keluar-masuk komplek pondok tanpa izin, jarang masuk sekolah, dll. Meskipun demikian, ia tetap memilih menjadi ndalem, penjaga warung kiai, bahkan naik menjadi pimpinan warung.



Di Pondok Pesantren Lirboyo, untuk pertama kalinya, Djoko mendirikan “Jamaah Habaib(perkumpulan khusus habib) yang diketuai langsung oleh dirinya. Anggotanya para habaib yang ada di pondok tersebut. Tujuannya untuk melindungi kepentingan-kepentingan habaib. Setiap bulan mengadakan perkumpulan-perkumpulan. Sejak itu, eksistensinya semakin mantap dan diakui banyak santri



Suatu ketika, Djoko pernah bercerita kepada saya, bahwa dia pernah keliling silaturahim ke habib-habib yang ada di Jawa-Madura, sekaligus meminta barangkali punya anak perempuan yang mau dikawinkan dengannya. Bahkan, waktu itu saya sempat mendengar Djoko akan mengawini salah satu syarifah di Kaliwungu, Semarang. Namun, rencana perkawinan itu kandas di tengah jalan. Djoko sempat berseloroh, bahwa dia kehilangan selera terhadap perempuan-perempuan ahwal (bukan habib). Sehingga ia mencari syarifah yang cocok buat dirinya.



Menurut penuturan kawan saya, ceritanya begini: pada mulanya keluarga syarifah sudah menyetujui dan tinggal menentukan tanggal perkawinan. Hanya, untuk memastikan bahwa Djoko betul-betul keturunan habaib, pihak keluarga meminta Djoko menunjukkan asal-usul dan silsilah ke-habibannya. Djoko tidak keberatan. Ia segera menyerahkan secarik kertas bergambar pohon silsilah dari mulai Nabi Muhammad SAW sampai kepada dirinya.



Seminggu kemudian, pihak keluarga mengaku pohon silsilah itu hilang dan meminta Djoko untuk memberikannya kembali. Djoko pun tidak keberatan. Namun, setelah dicocokkan antara pohon silsilah pertama dan kedua, ternyata banyak perbedaan. Akhirnya, keluarga habib itu ragu dan membatalkan rencana mengawinkan anak putrinya. Djoko kecewa dan sempat “stress” berat. Apalagi, menurut pengakuannya, keduanya sudah cocok dan saling mencintai. Perbedaan kasta dan status sosial menyebabkan keduanya harus membunuh cintanya.



Dalam tradisi habaib, seorang syarifah harus kawin dengan jama’ah/alawiyyin (sesama habib), agar silsilahnya tidak terputus. Apabila syarifah kawin dengan “orang biasa” (ahwal), maka anak-keturunanya tidak diakui sebagai habib, melainkan akan menjadi orang biasa. Berbeda bagi laki-laki, nasabnya tidak akan terputus meskipun kawin dengan orang biasa (patriarchal). Anak-cucunya akan terus menjadi habib.



“Penyamaran” habib Djoko terbongkar lantaran terjadi insiden kecil. Salah satu anggota Jamiyyah Habaib yang dibentuknya melanggar peraturan pondok dan hendak di ta’zir dengan disiram air kotor di hadapan banyak orang (biasanya di tengah lapangan dan ditonton ribuan santri). Sebagai ketua, ia merasa terkena beban moral dan bertanggung jawab melindungi anak buahnya. Djoko menyelamatkan anak buahnya dari tangan keamanan pondok. Di tengah-tengah kerumunan santri yang hendak menonton proses penta’ziran, Djoko memaki-maki, mengumpat, dan memarahi keamanan pondok yang saat itu mau menta’zir anak buahnya. Lantaran takut kuwalat, saat itu juga “eksekusi” dibatalkan.



Namun, persoalannya tidak berhenti sampai di situ. Justeru bermula dari kejadian itu, karena merasa “ditelanjangi” di hadapan banyak orang, kemanan pondok membuat panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki ke-habiban Djoko. Mungkin, inilah pertamakalinya sepanjang sejarah seorang ahwal mencurigai dan melakukan penyelidikan terhadap keturunan seorang habib. Pertama-tama, mendatangi rumah Djoko dan menanyakan kepada orang tuanya apakah benar ia seorang habib. Ternyata, ayahnya adalah seorang pengamen “tiga senar” (gitar yang memiliki tiga senar). Bahkan, dia tidak tahu habib itu apa.



Begitu diketahui Djoko bukan seorang habib, ia ditangkap dan diintrogasi keamanan pondok. Awalnya, meskipun di bawah tekanan, ancaman, bahkan bogem mentah keamanan pondok, Djoko tetap bersikukuh mengaku dirinya seorang habib. Bahkan, ia masih sempat nyupatani, menghina dan mengancam orang-orang yang mengintrogasinya. Namun, setelah orang tuanya dihadirkan, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia pasrah tubuhnya jadi bulan-bulanan santri yang selama ini merasa telah ditipu dan dibohonginya.



***



Dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Baiquni berhasil menceritakan kisah tersebut dengan sangat menarik. Meskipun tidak tunduk pada kejadian sebenarnya, Baiquni mengambil inspirasi sekaligus merekonstruksi cerita tersebut dengan gaya bertutur dan gaya berceritanya yang khas. Jalan ceritanya sederhana, mengalir, dan mudah diikuti, menjadi kekuatan tersendiri bagi novel perdananya ini. Baiquni juga berhasil membumbui cerita tersebut dengan imajinasinya, mendramatisasi plot-plot cerita tertentu, sehingga alur ceritanya tidak kaku dan saklek.



Novel ini bercerita tentang dunia pesantren, tradisinya, juga pernak-pernik yang hidup di dalamnya. Secara khusus, novel ini menceritakan salah satu tradisi pesantren berupa penghormatan, pengistimewaan, bahkan pada taraf tertentu “pemujaan” terhadap habaib. Penulisnya melihat celah dari tradisi itu yang menyebabkan terjadinya “penyalahgunaan” dari orang-orang tertentu untuk mendapatkan kekayaan, penghormatan, bahkan kekuasaan melalui “pemalsuan” habib. Ia menggambarkan melalui tokoh Haedar sebagai “orang biasa” yang kemudian berevolusi menjadi habib setelah dia melihat betapa seorang habib dihormati, ditakuti, dan diperlakukan istimewa.



Kelebihan lain dari novel ini adalah, ia ditulis oleh “orang dalam” yang betul-betul merasakan aroma dan denyut nadi kehidupan pesantren. Sejak kecil Baiquni tumbuh dan dibesarkan dalam dunia santri, belajar dan menuntut ilmu dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Ia merekam seluruh pengalamannya ke dalam novelnya ini. Sayangnya, dalam novel ini, Baiquni tidak menawarkan apa-apa, terlebih memberikan penilaian ataupun kritik terhadap tradisi pesantren berupa penghormatan berlebihan terhadap habib/gus.



Bahkan, terlihat dari judulnya saja, Baiquni terkesan lebih mempertajam dikotomi habib/non-habib, memprioritaskan habib dan terlalu mendiskreditkan non-habib. Singkatnya, novel ini terkesan rasis dan tendensius!



Padahal, novel ini akan akan lebih menarik kalau Baiquni, misalnya, memberikan dan menawarkan semacam tesis baru terhadap makna habib. Semisal, jika selama ini diyakini bahwa habib adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis laki-laki, bukankan satu-satunya anak keturunan beliau yang berhasil melahirkan banyak keturunan adalah Khadijah?



Mungkin, bertolak dari sinilah, mengapa para ulama memberikan makna beragam terhadap habib. Syafii menyebut habib sebagai keturunan Hasyim dan Muthollib (Bani Hasyim dan Bani Muthollib). Pendapat lain mengatakan keturunan dan keluarga Nabi Muhammad SAW. Sementara yang lain (golongan ulama muhaqiqin) mengatakan seluruh umat Islam adalah “keluarga” Nabi SAW.



Harapan saya, Baiquni akan menulis lagi kelanjutan novel ini dengan lebih tajam dan mengigit. Kalau Dan Brown dalam “The Davinci Code” berhasil mengungkap rahasia di balik makna “Holy Grail” (cawan suci yang digunakan Yesus untuk meminum anggur) yang artinya istri Yesus alias Maria Magdalena. Dengan demikian, berarti Yesus memiliki isteri dan keturunan, sehingga meruntuhkan tesis dan bangunan keyakinan Gereja selama ini. Maka, di novelnya yang baru, Ubay menawarkan tesis baru pada makna habib di luar atau bahkan menyempal dari makna kebanyakan. Apapun hasilnya, kita berharap semua orang mau mengapresiasinya, bukan menghakimi atau menghujatnya. Semoga!




Salam,


Jamaluddin Mohammad

Sabtu, 24 April 2010

TRAGEDI PRIOK: Rasionalitas vs Irasionalitas



Tahun 1926 — sejumlah ulama membentuk sebuah perkumpulan (Komite Hijaz) guna membendung penetrasi Wahabi di Tanah Suci Makkah yang hendak menghancurkan situs-situs bersejarah dan makam-makam keramat di sana.

Pemerintah kita pun, baru-baru ini, akan melakukan hal serupa (cara-cara Wahabi), yaitu hendak menggusur makam Mbah Priuk — sebutan untuk Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad — yang sudah berumur ratusan tahun itu.

Namun, rencana tersebut mendapat perlawanan sekelompok masyarakat. Mereka, dengan alat seadanya, menghalau pasukan Satpol PP yang dibekali peralatan lengkap dan bulldozer yang hendak meratakan tempat tersebut. Tiga orang dikabarkan tewas, ratusan orang terluka, puluhan kendaraan dibakar. Kita patut menyayangkan insiden tersebut. “Perang” memang selalu menyisahkan duka dan kesedihan.

Para ulama dan habib berkumpul untuk menyikapi kejadian tersebut. Sejumlah petinggi Negara, termasuk SBY, “ketakutan” karena persoalan ini sudah mengarah dan menyulut sentimen keagamaan, yang jika dibiarkan berlarut-larut akan membesar dan bisa mengganggu kekuasaan. Dan, bisa dipastikan ledakannya akan melebihi Century yang “menyeramkan” itu.

Padahal, apa yang dilakukan Satpol PP merupakan hal biasa dan memang “pekerjaannya”: meratakan bangunan-bangunan liar dan kumuh, “menertibkan” PKL, merazia waria, WTS, anak jalanan, dan orang-orang miskin. Mereka, seperti kata Iwan Fals, “seperti peluru, tinggal tekan picu”.

Tetapi, tampaknya, persoalan kali ini bukan semata berurusan dengan persoalan “perut”. Yang dihadapi aparatus Negara, satuan Polri dan Satpol PP, bukan segerombolan “orang lapar” yang akan diam asalkan perut mereka diisi penuh.

Mempertahankan makam berkait-erat dengan “keyakinan” — sesuatu yang berumur purba dan yang menghujam kuat di bawah lapisan “kesadaran”. Mungkin, bagi sebagian orang, mempertahankan kuburan dan tempat-tempat yang (di)keramat(kan) adalah aneh dan irasional.

Di zaman semakin modern seperti sekarang ini, yang semuanya harus diukur, dinilai, dan ditimbang dengan akal dan ilmu pengetahuan, hal-hal yang dianggap “irasional” harus disingkirkan jauh-jauh, tidak boleh diberi tempat, bila perlu dimatikan dan dihilangkan.

Termasuk, misalnya, menyingkirkan kuburan yang dianggap tidak “rasional”. “Lebih baik dibuat pangkalan Petikemas yang nyata-nyata bernilai ekonomis”, begitu kira-kira logika mereka. Di sinilah pangkal persoalannya.

Sebaliknya, mengunjungi makam orang-orang salih —apalagi ia seorang wali — diyakini akan mendapatkan “barokah”, “karomah” dan “syafaat” para wali. Makam Mbah Priok, khususnya di hati masyarakat Betawi dan sekitarnya, memiliki tempat istimewa, yang tentunya tidak hanya bernilai sejarah, melainkan sekaligus sebagai tumpuan dan tempaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual mereka. Bukankah Priok sendiri secara bahasa berarti “tempat menanak nasi”? Itu artinya ia memberi “makan” bagi yang “lapar” secara sepiritual.

Yang jelas, peristiwa Priuk merupakan tamparan sekaligus peringatan buat pemerintah yang seringkali bertindak sepihak dan sewenang-wenang dalam merebut dan merampas “sumber daya strategis” milik rakyat. Jangan-jangan ini adalah akumulasi dari kekecewaan dan kemarahan rakyat selama ini.

Sebab, seringkali, atas nama “pembangunan”, “penertiban”, “kesejahteraan”, dan sejuta “kesadaran palsu” lainnya — yang sebelumnya sudah “dirasionalisasikan” penguasa — bisa dianggap halal dan ilegal, meskipun dilakukan dengan menyakiti, membunuh dan mengadudomba rakyatnya.


Wallahu a’lam bi sawab.

Selasa, 09 Februari 2010

Pandangan Ulama Terhadap Seni Musik

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Membincangkan dinamika dan wacana kesenian dan kebudayaan dalam dunia pesantren seolah sepi dan tidak begitu diminati. tulisan dalam artikel ini mencoba mencoba untuk menghidupkan kembali wacana tersebut.


Salah satu ulama yang memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun opusnya, Ihya ulumuddin, al-Ghazali menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik

Dalam menghukumi musik, kata al-Gazali, para ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam Syafi’i, ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.

Bahkan, kata al-Syafi’i, memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat hukumnya makruh. Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca al-Qur’an. Al-Syafi’i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu jenis permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-permainan yang lain. “Dan saya”, tegas al-Syafi’i, “sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis permainan. Sebab permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri (muru’ah).” [1]

Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya, “Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id. [2]

Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.[3]

Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi dikalangan ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik. [4]

Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi. Al-‘Ata juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.

Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.” [5]

Antara bentuk dan isi


Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar [6].

Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.

Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).

Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst [7]. Penilaian seperti itu mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal.

Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.

Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqh dan tasawuf. Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (al-Quran dan al-Hadits). Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada substansinya dengan berpijak pada realitas kongkrit.

Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.

Dalam kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu).

Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi.

Musik “Islam” dan “non-Islami”


Sekarang ini muncul penilaian di sebagian kalangan masyarakat yang mengidentifikasi musik dan lagu tertentu sebagai “Islami” dan “non Islami”. Asalkan lirik lagunya “dibumbui” nama-nama Tuhan, maka disebut “Islami”.

Bahkan cenderung menyamakan Arabisasi dengan Islamisasi. Semisal, musik/lagu yang beraroma padang pasir (gambus/berbahasa Arab) dianggap musik Islam sementara lainnya dicap bukan dari Islam.

Penilaian tersebut tidak hanya keliru, melainkan menyebabkan kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Keislaman bukan terletak pada bentuk dan penampilan (ekspresi) melainkan substansinya.

Juga muncul keinginan sebagian orang yang ingin “menundukkan” kesenian di bawah agama dengan memasukkan pesan-pesan keagamaan ke dalam kesenian tertentu. Contohnya dengan menaburi lirik-lirik lagu dengan “pesan-pesan keagamaan”.

Menurut Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antar keduanya. Agama mencoba menundukkan kebudayaan melalui proses legitimasi. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang sesuai atau bertentangan dengan agama. Dengan ini, yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sementara yang lain tidak [8].

Sebetulnya, tidak tepat menghadap-hadapkan antara agama dan kesenian (termasuk musik). Keduanya memiliki independensi masing-masing. Terkadang hubungan keduanya bersifat mutualis-simbiosis. Juga tidak jarang keduanya saling serang dan menyerang. Dalam kehidupan, itu pasti terjadi, dan tidak perlu disesalkan. Tinggal bagaimana menempatkan keduanya pada proporsi masing-masing secara adil, bebas, dan merdeka. Wallahu a’lam bi sawab.

Tulisan ini pernah dimuat dalam www.nu.or.id


Endnotes

[1] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 267
[2] Mughni Al-Muhtaj, hal 2, vol 3
[3] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[4] Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad, Kaf al-Ria’, hal 273
[5] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[6] Mohammad Nawawi, Syarh Sulam al-Taufik, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 75
[7] Mohammad bin Salim, Is’adu al-Rafik wa Bughyatu al-Syiddiq, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 106
[7]Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, cetakan 2