Sabtu, 30 Oktober 2010

REPUBLIK BENCANA

“menjaga keselarasan, keteraturan dan keharmonisan alam, manusia, dan Tuhan”


Dalam beberapa bulan terakhir ini negara kita dilanda banyak musibah atau bencana. Misalnya, tabrakan kereta api, pesawat jatuh, banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, gunung meletus, dll. Semuanya terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama, seolah-olah bergantian.

Bagi kalangan agamawan, kebanyakan menilai bahwa bencana diakibatkan oleh tindakan manusia yang membuat Tuhan marah. Kemarahan Tuhan digambarkan dalam banyaknya bencana di negeri ini. Oleh karena itu, kata mereka, manusia harus sesegera mungkin untuk bertaubat, mengakui dan mengakhiri segala dosa-dosa yang dia lakukan. Tuhan pasti akan mengampuni dan tidak marah lagi.

Cara pandang seperti ini banyak menghinggapi masyarakat kita yang masih patuh dan menjunjung tingggi nilai-nilai dan doktin-doktrin keagamaan. Mereka senantiasa menghubungkan segala persoalan yang terjadi di dunia ini dengan kuasa dan kehendak Tuhan. Mereka masih meyakini bahwa Tuhan pasti ikut campur mengurusi gerak dan keberlangsungan alam ini.

Selain cara pandang di atas, ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa bencana alam yang mengepung bangsa ini tidak lepas dari hukum alam (fenomena alam). Alam sebetulnya memiliki hukum tersendiri yang disebut hukum sebab-akibat. Alam bekerja sesuai mekanismenya sendiri. Karena itu, segala yang terjadi di alam ini tidak lepas dari adanya hukum yang mengaturnya.

Sehingga, mereka beranggapan, bahwa bencana alam ini murni terjadi karena adanya “ketidakberesan” pada alam. Tatanan yang seharusnya serasi, harmonis, dan berjalan sesuai hukum yang berlaku, karena ulah manusia, struktur dan tatanannya rusak. Kerusakan ini disebut dengan bencana.

Mereka sama sekali tidak menghubung-hubungkannya dengan Tuhan. Kalaupun mereka masih percaya terhadap Tuhan sebagai pencipta alam ini, mereka berkeyakinan bahwa Tuhan tidak lagi ikut campur terhadap ciptaannya ini. Tugas Tuhan sudah selesai. Seperti tukang pembuat sepeda, begitu sepeda itu sudah terbentuk sempurna, maka dia tidak lagi ikut campur menggerakkan sepeda itu. Kepercayaan seperti ini disebut dengan monisme.Monisme manganggap bahwa Tuhan itu transeden, tidak imanen. Tuhan ada di sana, bukan di sini.

Dua cara pandang di atas menyebabkan perbedaan dalam menyikapi dan menyelesaikannya. Yang pertama berusaha bagaimana agar Tuhan tidak lagi marah dan menghukum manusia yang tidak taat dan selalu melanggar aturanNya. Dengan demikian, alam akan kembali tenang dan bergerak normal. Sementara bagi yang kedua, mengembalikan keserasian, keharmonisan, dan keseimbangan alam dengan cara kembali pada alam itu sendiri, dengan cara hukum-hukumnya, karakteristiknya, ciri-ciri dan prinsip-prinsipnya.

Misalnya, bagaimana agar tidak terjadi banjir, maka kita harus menjaga hutan-hutan kita, memperbaiki sistem pengairan (drainase), tidak membuang sampah sembarangan, dll. sehingga, dengan cara seperti itu, penyebab terjadinya banjir akan dihindari. Mereka mempelajarinya berdasarkan hukum alam, sebab-akibat. Dengan demikian, kalau kita mau mengetahui sebuah “akibat” maka kita harus mengetahui sebabnya. Dengan cara seperti ini alam akan bisa “dikendalikan”.

Lantas, bagaimana kita menilai dan menyikapi dua cara pandang di atas yang seolah-olah berlainan dan bahkan bertolak belakang itu? Menurut hemat saya, kita harus malakukan sintesa atau mengawinkan kedua cara pandang itu. Inilah yang disebut dialektika pemikiran. Kedua-duanya diambil untuk kemudian diracik, diaduk, dan diberi bentuk lain.

Kita tidak mengingkari adanya Tuhan sebagai penyebab dari segala sesuatu. Keimanan yang sudah sedemikian kuat berkarat dalam diri kita meyakini tidak ada satupun yang luput dari perhatianNya. Semuanya dalam pengawasan, pantauan, dan perintah Tuhan. Karena alam ini diciptakan olehNya, maka dengan sendirinya alam tunduk kepadaNya.

Tetapi kita juga tidak serta-merta mengingkari bahwa tanda-tanda alam (rangkaian dan hukum sebab-akibat yang diciptakan Tuhan itu) sulit atau tidak mungkin dikenali oleh manusia. Dengan bantuan teknologi dan ilmu pengetahuan, manusia dapat mengenal dan mengetahui seluk-beluk alam ini. Sehingga, dengan pengetahuan itu, manusia bisa belajar atau mempelajari segala yang terjadi di alam ini.

Oleh karena itu, langkah yang menurut saya agak aman adalah menggabungkan keduanya. Caranya, pertama, memohon dan berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari segala bencana alam. Juga meminta kepadaNya agar mengampuni segala dosa-dosa yang telah dilakukan oleh mahlukNya. Keharmonisan khalik (Tuhan) dan makhluk (manusia) akan melahirkan kesimbangan, keserasian, dan keteraturan alam semesta ini.

Di samping itu, kita juga senantiasa untuk belajar dan mempelajari struktur alam ini. Misalnya, mengapa gempa bumi? Kita carikan sebab-sebabnya, hukum-hukum yang mengaturnya, kemudian kita antisipasi atau bahkan kita cegah agar tidak terjadi. Karena itu, peran ilmu pengetahuan sangat-sangat penting sekali, terutama untuk menjaga keselarasan, keteraturan dan keharmonisan alam, manusia, dan Tuhan.

Salam,

Jamaluddin Mohammad

Tidak ada komentar: