Selasa, 23 September 2008

Politik Tubuh

Oleh Jamaluddin Mohammad

"Masyarakat kita mewarisi seksualitas zaman Victoria yang bercirikan menahan diri, diam, munafik, dan malu-malu"
[Michel Faucault]

Ibarat anggur lama yang berganti botol, diskursus RUU APP [Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi] yang pertama kali muncul pada 1999, kini mencuat kembali. Hampir setiap media massa, baik cetak maupun elektronik, memuat pro-kontra penerapan undang-undang yang masih digodog itu. Sampai tulisan ini dibuat, RUU APP masih menjadi bahan perdebatan; apakah diundangkan atau tidak. RUU APP tidak hanya menyedot perhatian agamawan, para seniman, artis, penyanyi, bahkan dinas pariwisata pun ikut terlibat dalam perdebatan itu.

Sebelum kita menelisik lebih jauh, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu definisi pornografi dan pornoaksi yang tertulis dalam RUU tersebut, karena menurut saya disinilah titik persoalan yang sesunggugnya. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan: "Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika". Sedangkan definisi pornoaksi menurut pasal 1 ayat 2 adalah: "Perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".

Kita bisa mendekati RUU APP dari pelbagai perspektif, baik agama, sosial, politik, bahkan budaya. Pembacaan terhadap RUU itu pun multitafsir. Sebab, RUU APP berhubungan dan erat kaitannya dengan hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau saja RUU itu jadi diundangkan, hampir seluruh aktifitas kehidupan kita mendapat sensor ketat negara, seakan tidak ada celah untuk menghindar apalagi bersembunyi.

Kita ibarat hidup di dalam barak penjara, dan RUU itu sebagai menara yang selalu mengawasi dan memperhatikan segala aktifitas orang yang ada di dalamnya. Hak dan otonomi tubuh kita hampir-hampir tidak memiliki kebebasan sama sekali. Dan celakanya, yang dipenjarakan oleh RUU tersebut adalah tubuh dan pikiran kita, sehingga bukan humanisasi, melainkan dehumanisasi.

Untuk memperkaya kajian kita tentang RUU tersebut, alangkah baiknya kita kutip sejarah seksualitas yang pernah ditulis Michael Foucault. Sebab, menurut filsuf asal Prancis itu, pandangan tentang seksualitas mengalami pergulatan sejarah yang cukup panjang. Seksualitas tidak lepas dari perselingkuhan pengetahuan dan kekuasaan. Seksualitas, menurut Foucault, memiliki sejarahnya sendiri. Ia tidak muncul dari kesunyian dan ruang kosong. Seksualitas berbicara sekaligus dibicarakan lewat zamannya. Tetapi ia tidak berbicara sendiri melainkan dibicarakan, dikontrol dan diatur oleh kekuasaan pada saat itu.


Pada zaman Yunani-Romawi, persepsi tentang seksualitas memiliki ciri tersendiri. Dan saya kira perlu dicatat bahwa prilaku masyarakat Yunani-Romawi didasarkan pada sebuah etika yang tidak bersumber dari agama atau keyakinan-keyakinan tertentu yang bersifat transendental. Menurut Foucault, substansi etika di masa itu tercermin dalam istilah epimelia heautau, yakni suatu kewaspadaan seseorang akan penjagaan diri sendiri. Atau suatu sikap mawas diri atau mawas tingkah laku dan penuh perhatian seseorang terhadap sesuatu yang dikerjakannya.

Jadi, parameter yang digunakan masyarakat Yunani-Romawi dalam hal etika adalah epimelia heautau. Dalam mencapai kondisi epimelia heautau ini masyarakat Yunani-Romawi tidak mengenal adanya suatu sistem moral baku yang mengharuskan mereka bertingkah laku sama. Tidak ada koodifikasi pakem-pakem tingkah laku yang mengatur atau memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan dalam tindakan-tindakan mereka. Semua aturan itu tertanam pada diri individu atas dasar kesadaran dan tidak ada unsur paksaan dari luar.

Hidup sehari-hari masyarakat Yunani-Romawi disini pada hakikatnya didasarkan seni; seni untuk membentuk diri sendiri; seni mengolah hidup menjadi hidup proporsional dan bermoral. Aturan-aturan seperti ini juga berlaku pada aktifitas seksual mereka dan cara pandang mereka terhadap seksualitas.

Cara pandang seksualitas Eropa mengalami pergeseran penting setelah menginjak abad pertengahan. Pemahaman seksualitas tidak lagi digali dari pengalaman individual melainkan berganti pada cara pandang pastoral yang melihat seks berdasarkan hukum-hukum yang ditentukan gereja. Pergeseran ini, menurut Foucault, disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran antara Eropa dalam cakrawala kultur Yunani dengan Eropa dalam cakrawala kultur pasroral mengenai hakikat tubuh beserta hasrat kenikmatan seksual. Masyarakat Yunani-Romawi tidak memandang bahwa hasrat kenkmatan seksual pada dirinya sendiri mengandung semacam kejahatan. Ia hanya butuh diolah dan diatur demi kebaikan mental dan agar tidak membahayakan tubuh.

Sedangkan pandangan pastoral terhadap hasrat kenikmatan sebagai sesuatu yang pada dirinya sendiri mengandung unsur-unsur jahat. Manusia dianggap sebagai mahluk lemah yang mudah diombang-ambing oleh kekuatan syahwati. Oleh karena itu, segala pikiran-pikiran atau ilusi-ilusi erotisme harus dikontrol melalui mekanisme confession (pengakuan). Pada waktu itu, di setiap gereja terdapat bilik-bilik yang disediakan untuk orang-orang tertentu yang melakukan ritual. Dalam bilik-bilik itu, setiap orang yang datang membeberkan rahasia yang disembunyikannya termasuk rahasia seksual. Seseorang secara halus akan dipaksa untuk menceritakan seluruh bayangan-bayangan erotik yang dimilikinya sampai bayangan yang terkecil dan terlupakan sekalipun. Dimulai dari sini, kata Foucault, proses insinuasi dan pendeskreditan tubuh berlangsung.

Setelah mamasuki abad pencerahan, kontrol seksual tidak lagi berada di bawah otoritas pastoral melainkan berpindah ke tangan ahli-ahli mendis. Tekniknya pun sebetulnya tidak jauh berbeda dengan confession bahkan lebih canggih dan jauh menukik ke dalam. Kontrol seksual di pertengahan abad 18 ini adalah kontrol seksual yang tujuan utamanya adalah untuk pengendalian populasi dan pencetakan mutu penduduk demi menghasilkan sumber daya warga yang sehat. Seks dipahami pada waktu itu sebagai sumber dari segala bentuk sikap anomi manusia atau pelacakan terhadap seks adalah hal yang dapat menjelaskan serba serbi penyimpangan tingkah laku seorang individu. Karena itu, fantasi-fantasi dan hasrat-hasrat erotik dengan setatusnya sebagai penyimpangan ini dianggap sebagai hal membahayakan yang memunculkan tingkah laku-tingkah laku anomik atau destruktf dalam diri manusia.

***

Pergeseran pengertian seksualitas dari yang natural given seperti yang dipahami masyarakat Yunani-Romawi sampai pada "politik tubuh" sebagaimana yang diungkapkan Foucault membuktikan bahwa seksualitas pada awalnya adalah netral. Ia tidak sepatutnya "dibicarakan" tetapi biarkan ia "berbicara" dengan sendirinya. Seksualitas bukan untuk dipilah-pilah, dikategorsasi, atau didefinisikan. Seksualitas erat kaitannya dengan pengalaman individual. Pengobjektifikasian seksual hanya akan mereduksi kekayaan makna yang dikandungnya. Apalagi sampai diundang-undangkan.

Sehingga saya sendiri tidak habis pikir mengapa harus ada RUU APP. Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang "Berketuhanan Yang Maha Esa", bangsa yang beragama dan memiliki aturan-aturan moral sendiri berdasarkan ajaran agama yang dianutnya? Sudah seberapa parah "moral" bangsa kita sehingga harus ada "undang-undang moral"? Bukankah kebejatan moral justeru tanggung jawab "penjaga-penjaga agama?" Bukan malah diserahkan kepada negara. Apakah ini bentuk "ketidakberdayaan" mereka terhadap serbuan-serbuan "perusak-perusak moral"? pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya dijawab oleh mereka yang giat dan gigih memperjuangkan RUU APP agar segera di sahkan.

Atau ini hanya strategi pemerintah untuk mengalihkan opini publik berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa yang kian semerawut dan tanpa kendali, seperti dampak kenaikan BBM, penanganan korupsi, hutang negara yang semakin menggelembung yang sebentar lagi meledak, kemiskinan, dll. Sayang, kita hanya berpikir bagaimana supaya negara kita "beragama", sementara prilaku-prilaku pemimpin kita yang "tidak beragama" hampir “tak terpikirkan”. Ini potret bangsa kita yang sebenarnya. Coba pikirkan!

Minggu, 21 September 2008

SI HEBAT

oleh: Jamaluddin Mohammad


Dalam dunia anak, kita dikenalkan dengan tokoh-tokoh jagoan seperti Superman, Spider-man, Hulk, atau pun Wonder Woman. Mereka adalah icon dunia yang banyak sekali memberi pengaruh terhadap dunia anak, kendatipun mereka tercipta dari dunia imajinasi.

Superman, misalnya, dengan kekuatan supernya bisa terbang layaknya seekor burung. Kekutannya pun dipercaya mampu mengangkat Piramida yang berada di Mesir yang beratnya kira-kira 4 juta ton. Jadi, kekuatannya melampaui kekuatan manusia biasa. Sesosok hero yang diciptakan hasil kolaborasi Joe Shuster dan Jerry Siegel ini ahirnya berhasil menjaadi icon budaya pop di Amerika yang kemudian merambah ke berbagai belahan dunia.

Kita juga mengenal sesosok Spider-man, manusia hebat yang bisa merayap di tembok, bergerak lincah di antara gedung-gedung pencakar langit. Manusia laba-laba yang mendapatkan kekuatannya akibat terkena sengatan laba-laba yang terkontaminasi radio aktif ini pertama kali muncul lewat sebuah komik Marvel pada tahun 1992 yang diciptakan oleh Steve Ditko dan Stan lee. Superman ataupun Spider-man mampu mengalahkan musuh-musuhnya dengan kekuatan fisik yang dimiliki oleh keduanya.

Dengan kekuatannya yang ekstra human mampu melindungi manusia dari mahluk-mahluk jahat. Kedua tokoh ini ternyata mempunyai banyak kesamaan. Sama-sama mempunyai kekuatan super dan sudah menjadi icon dunia. Selain keduanya, masih banyak lagi tokoh-tokoh pahlawan dengan kelebihan yang berbeda-beda pula.

Dalam dunia Islam, kita pun mengenal seorang hero, juru penyelamat alam jagat raya, rahmatan lil’alamin. Disamping memiliki kekuatan fisik, ia juga dibekali kekuatan supranatural guna menghadapi lawan-lawannya. Dialah yang setiap bulan Maulid umat Islam sedunia merayakan hari kelahirannya. Ia adalah Muhammad, sang rosul, penyempurna peradaban manusia, “Liutammima makaarimal ahlaak”. Nabi muhammad saw. dibekali sebuah kekuatan yang lazim disebut mukjizat. Kekuatan itu kemudian diwariskan kepada ummatnya. Sampai kini kehebatannya masih bisa kita rasakan, yakni mu’jizat terbesar nabi yang bernama al Qur’an.

Dan sebelum saya membahas sisi kehebatan mukjizat Nabi Muhammad saw., saya akan memperkenalkan beberapa kekuatan supranatural yang dimiliki oleh manusia yang bertebaran di dunia ini semenjak kehadiran manusia itu sendiri. Kekuatan supranatural atau biasa disebut dengan kekuatan gaib dapat digolongkan sebagai berikut:

Mu’jizat
Mu’jizat adalah sebuah kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seorang rosul yang kemunculannya tanpa terikat oleh hukum kausialitas. Kekuatan semacam ini diberikan oleh Allah swt. sebagai legitimasi atas keabsahan pengakuannya sebagai pengemban risalah ilahiyyah. Berdasarkan definisi ini dengan sendirinya akan menegasikan kekuatan-kekuatan yang dihasilkan oleh yang lain (bukan mu’jizat), seperti karomah, maunah, istidraj atau pun sihir.

Mu’jizat seorang rosul tidak seperti kekuatan Superman, misalnya. Superman memiliki kekuatan disebabkan karena mengalirnya darah Krypton yang menjalar keseluruh tubuhnya dan adanya pengaruh grafitasi bumi.

Muhammad Abu Zahroh, seorang pakar Usul Fiqh, membagi mu’jizat menjadi dua bagian, madiyah dan ma’nawiyyah. Mu’jizat yang dimiliki oleh nabi Musa, misalnya, berupa tongkat saktinya yang bisa berubah menjadi seekor ular besar dan mampu membelah lautan menjadi dataran ketika dikejar oleh Firaun dan balatentaranya, tergolong bersifat madiyah (materi). Adapun al Qur’an sebagai mu’jizat terbesar nabi Muhammad bersifat ma’nawiyyah (immateri), sehingga kekuatannya masih bisa kita rasakan sampai saat ini, meski beliau sudah meninggalkan kita ratusan tahun silam. Berbeda dengan mu’jizat madiyah yang kini hanya tinggal puing-puing sejarah. Sebab kekuatan Al-Quran bukan pada kumpulan-kumpulan huruf yang kemudian membentuk sebuah kalimat, tetapi pada nilai-nilai yang terkandung didalam kata-kata itu. Inilah diantara sisi kehebatan al Qur’an.

Karomah
Dalam sejarah Wali songo, kita banyak mendengar berbagai karomah yang dimiliki mereka. Sunan Kudus, misalnya, ia sanggup menangkap petir yang mencoba mengganggunya. Atau Sunan Bonang yang bisa merubah buah kolang-kaling menjadi gumpalan emas. Cerita seperti ini sudah lama berkembang di masyarakat. Lepas dari itu sebuah mitos atau bukan, namun keberadaannya bisa saja terjadi. Itu semata-mata bukan kekuatan manusia, melainkan kekuatan Tuhan yang sengaja diberikan kepada orang-orang tertentu.

Antar karomah dan mu’jizat jelas dapat dibedakan. Karomah tidak bersamaan dengan pengakuan menjadi nabi atau rasul. Keberadaanya hanya dapat dimiliki oleh mereka yang benar-benar taat kepada Allah, menjauhi segala larangan-Nya dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya, sehingga, oleh Allah, mereka diberi kekuatan diluar rata-rata manusia biasa.

Maunah
Maunah bisanya dimiliki oleh mereka yang tingkat ketaatannya tidak sampai mencapai drajat Auliya. Dan ini bisanya dimiliki oleh orang-orang saleh, yakni seseorang yang sudah mencapai drajat yang tinggi di mata Allah swt. Disamping itu, keberadaannya tanpa melalui usaha-usaha atau harapan-harapan untuk mewujudkannya. Lebih tepatnya, antara Maunah dan Karomah hampir tidak ada perbedaan, hanya saja penamaan Maunah dikhusukan untuk mereka yang belum mencapai drajat Auliya (Wali).

Istidraj/Sihir
Istidraj atau sihir biasanya dimiliki oleh seseorang yang sebelumnya telah melakukan amalan-amalan tertentu yang sehingga pada akhirnya dapat melakukan sesuatu yang ganjil, sulit diterka oleh kekuatan daya nalar manusia, ataupun sesuatu di luar kekuatan rata-rata manusia biasa. Setiap manusia dapat memilikinya asalkan ia mau melakukan amalan-amalan tertentu, seperti puasa, membaca aurod-aurod (wirid), ataupun melakukan semedi di sebuah Gua atau tempat-tempat yang di anggap keramat. Kekuatannya akan tetap ada meskipun ia melakukakan sesuatu yang dilarang oleh syareat (Agama). Sehingga sihir/istidraj lebih identik digunakan untuk melakukan kejahatan, seperti teluh, santet dan lain sebagainya.

Antara Karomah dan sihir jelas ada perbedaan yang mendasar. Sebab karomah dihasilkan bukan dengar ikhtiar/usaha manusia, melainkan ia datang dengan sendirinya tanpa ada usaha-usaha untuk mewujudkannya. Praktis disebabkan karena kecintaannya kepada Allah yang kemudian Allah membalasnya dengan sebuah kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya.

Muhammad sang Superman
Adalah nabi Muhammad saw satu-satunya pemimpin dunia terbesar yang tiada tolok bandingannya, karena hanya dalam waktu 23 tahun, dengan biaya kurang dari 1% dari biaya yang dipergunakan untuk revolusi Prancis dan dengan korban kurang dari 1000 (seribu) orang, beliau telah menghasilkan tiga karya besar. Pertama, beliau telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang semula mempercayai Tuhan sebanyak 360 (tigaratus enampuluh), menjadi bangsa yang memiliki satu keyakinan, “tauhid mutlak” (monotheisme absolut).

Kedua, beliau telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang semula antara sesama suku dan kabilah saling berperang, menjadi bangsa yang bersatu padu dalam ikatan keimanan dibawah naungan panji agama Islam.

Dan yang ketiga, beliau telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang belum pernah memiliki negara merdeka, berdaulat penuh, menjadi bangsa yang pernah berhasil mendirikan negara kesatuan yang tebentang luas mulai dari benua Afrika, Asia, sampai semenanjung Eropa.

Keberhasilan gemilang beliau nabi ini dicapai, karena ditopang oleh berbagai hal yang jarang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin dunia lainnya, yakni ketepatan metode dan system yang beliau pergunakan, juga keperibadian dan akhlak mulia yang dimilikinya.

Nabi Muhammad saw mengalahkan musuh-musuhnya melalui kekuatan yang rasional dan manusiawi, tidak seperti Superman atau Spider-man misalnya. Cara-cara yang manusiawi yang beliau pergunakan agar dapat ditiru dan ditauladani oleh pengikutnya. Wujud dari musuh-musuh beliau bukan berbentuk monster ganas yang sulit di tangkis oleh kekuatan manusia biasa. Monster musuh nabi adalah manusia itu sendiri, hanya saja mengambil wujud menjadi kebodohan, tindakan amoral, dan penguasa tiranik. Namun, monster dalam bentuk inilah yang justeru lebih berbahaya, karena wujudnya dapat kita temukan pada setiap manusia. Sehingga butuh ketekunan dan kesabaran dalam memeranginya. Monster yang dihadapi oleh beliau nabi akan selalu muncul sepanjang zaman, sehingga butuh kekuatan yang manusiawi dan rasional dalam memeranginya, agar tetap bisa ditiru oleh pengikut-pengikutnya. Hanya saja beliau telah mewariskan senjata ampuhnya kepada ummatnya, yakni al Qur’an.

Disamping Al-Qur’an sebagai pedoman hidup ummat Islam, ia juga tergolong mu’jizat nabi yang siapapun dapat memilikinya, mempergunakannya, atau bahkan mempelajarinya. Dengan memilikinya berarti kita dapat ikut andil dalam memerangi monster-monster jahat yang banyak bergentayangan di muka bumi ini. Mempergunakan Al-Qur’an sebagai mu’jizat adalah membumikannya, mengejawentahkannya kedalam kehidupan nyata, atau, meminjam istilah Goenawan Muhammad, dengan menghidupkan kembali puisi-puisi Al-Qur’an. Karena ia bukan hanya untuk sekedar dibaca, dipahami, tanpa adanya sosialisasi kedalam kehidupan nyata.

Tetapi memahami isi kandungan Al-Qur’an harus didukung oleh seperangkat disiplin ilmu yang memadai. Hal ini perlu ditekankan, karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Allah yang diterjemahkan kedalam bahas Arab. Didalamnya sarat dengan kandungan makna baik secara implisit maupun eksplisit. Sehingga tidak cukup kalau hanya mengetahui arti dari bahas itu, tanpa memahami kandungannya, baik yang tersirat ataupun yang tersurat. Belum lagi, setiap bahasa memiliki kandungan filosofis tersendiri yang kalau diterjemahkan kedalam bahas lain belum tentu mewakili bahasa asalnya. Oleh sebab itu, amatlah mentah jargon “kembali kepada Al- Qur’an” apabila tidak ada tuntutan untuk mempelajari bahasa al Qur’an secara utuh, nilai sasteranya, atau metode penafsirannya.

***

Superman, Batman, Spider-man dan hero children yang lainnya tercipta dari dunia imaji. Pengaruhnya pun menjalar kesetiap benak anak dibelahan dunia ini. Pengarangnya mampu menciptakan opini publik, merubah wajah dunia menjadi fantastik, dan mampu menjajah mental berjuta-juta anak di dunia. Anak-anak kita merindukan hadirnya sesosok pahlawan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah itu. Mereka ingin bisa terbang seperti Superman atau pun mereka ingin dibekali sebuah senjata berupa Perisai seperti Capten Amerika. Disisi lain mereka ingin seperti The Flash yang bisa mencerap kecepatan benda apapun. Atau setidaknya bisa merayap di tembok layaknya Spider-man. Tapi sayang, itu semua hanya bisa didapatinya lewat lelap tidurnya atau membeli kostum seperti yang dikenakan oleh super hero idolanya itu, kemudian bertingkah seperti layaknya dalam film yang ditontonnya.

Padahal ada sesosok hero yang bisa ditauladani oleh mereka. Ia bukan hadir dari dunia imaji. Dialah Muhammad saw., seorang nabi sekaligus rasul. Tapi kenapa nabi Muhammad jarang dikenal, atau bahkan tidak sama sekali, oleh dunia anak (khususnya anak-anak non Muslim) Jawaban untuk pertanyaan ini sangatlah vareatif. Satu sisi, pengarang hero childrenn pandai mengemas kekayaan intelektualnya, sehingga bisa hadir kedunia anak. Mereka pun bisa menghadirkannya dalam bentuk tulisan atau pun visual, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dewasa ini, disamping gencarnya promosi lewat berbagai media massa. Dan yang lebih penting, mereka tahu selera anak seluruh dunia.

Penutup
Tulisan ini bukanlah sebuah upaya untuk memperbandingkan nabi Muhammad saw dengan herois anak, melainkan hanya sebatas bentuk keperihatinan atas perkembangan dunia anak dewasa ini yang banyak sekali dipengaruhi oleh tokoh-tokoh komik itu. Maka dari itu, pada momentum perayaan maulid nabi ini, kita setidaknya bisa mengatakan bahwa yang patut dijuluki hero, si hebat, dan icon dunia adalah Muhammad. Karena ia benar-benar wujud, bukam tercipta dari dunia imajinasi. Wallahu ‘alam bi sawab

Minggu, 18 Mei 2008

Mencerdaskan Pemilih

'Belajar dari Kegagalan Partai Politik dalam Pilkada Jabar'

Pilkada Jabar (Jawa Barat) sudah lewat. Masyarakat banyak yang tidak tertarik “merayakan” pesta rakyat yang diadakan pada 13 April yang lalu. Tingkat partisipasi pemilih tergolong rendah. Hampir di setiap TPS sepi peminat.

Setidaknya, berdasarkan pengamatan di lapangan dan saat penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum [KPU], tingkat partisipasi masyarakat di kawasan III Cirebon atau wilayah Pantura terbilang rendah, hanya 65 persen. Padahal wilayah ini menyumbang 16,5 persen suara. [Kompas, 15/04].

Meski diadakan pada hari libur, masyarakat lebih memilih bekerja daripada mendatangi TPS untuk mencoblos. Ternyata, masyarakat semakin apatis terhadap masa depannya sendiri.

Pilkada Jabar juga menandai jatuhnya kredibilitas dan popularitas Partai politik. Berdasarkan hasil perolehan suara terakhir yang terkumpul di KPU, suara DA’I (Dany-Iwan) yang diusung Partai Golkar dan Demokrat terpuruk di urutan terakhir. Padahal, Jabar merupakan lumbung suara partai yang bergambar beringin ini.

Setidaknya, berdasarkan pemilu 2004, Golkar berhasil menguningkan Jabar dengan mengantongi 27,9 persen dari 20,7 juta suara atau menguasai 17 daerah. Ini belum menghitung suara Demokrat yang meraup 8,25 persen suara. Di atas kertas, koalisi keduanya sedikitnya mengantongi 36 persen [Kompas, 01/04] .

Begitu juga dialami pasangan AMAN (Agum-Nu’man) yang diusung oleh PDIP, PPP, PKB, PKPB, PBB, PBR, dan PDS. Namun, koalisi 7 partai ini tidak mampu mengungguli pasangan HD (Heryawan-Dede Yusuf) yang hanya didukung PKS dan PAN. Padahal, berdasarkan “sunnatullah”, suara AMAN seharusnya berada di posisi aman.

Pemimpin ganteng
Banyak kejadian yang tidak terduga dalam politik. Melambungnya perolehan suara HD mencengangkan sekaligus membingungkan banyak orang. Orang hanya bisa menduga-duga bahwa kemenangan HD lebih disebabkan popularitas Dede Yusuf sebagai selebritis.

Alasan tersebut ada benarnya. Jauh sebelum mencalonkan diri, Dede lebih dulu dikenal banyak orang, terutama ibu-ibu, melalui film, sinetron, iklan, dan tayangan entertaint lainnya. Di mata orang, Dede lebih dikenal sebagai artis ketimbang politisi atau sesosok intelektual. Wajahnya yang ganteng dan senyumannya yang simpatik mampu menyihir banyak pemilih.

Belum lagi menghitung sosok Heryawan yang di back-up pengikut setia PKS yang militan. Heryawan termasuk “orang baru” yang tidak banyak dikenal publik Jabar. Namun, momentum kemunculannya sangat tepat dikala masyarakat banyak berharap tampilnya “pemimpin muda" yang diharapkan mampu membawa perbaikan dan perubahan. Orang tidak lagi peduli pada visi, misi, serta program-program yang ditawarkan para calon.

Kemenangan HD mengulang sukses pasangan SBY-JK pada Pilpres 2004 kemarin. Waktu itu, kegantengan dan popularita SBY mampu mengantarkannya ke istana negara. Lagi-lagi “ganteng” masuk dalam kamus politik kita. Pertanyaannya, sejak kapan “kegantengan” termasuk dalam kriteria kepemimpinan kita?

Kegagalan demokrasi?
Plato pernah mewanti-wanti salah satu kelemahan demokrasi adalah terpilihnya orang bodoh menjadi pemimpin. Penilaian seperti itu wajar. Sebab, dalam iklim demokrasi, suara mayoritas mengalahkan suara minoritas; suara rakyat adalah suara Tuhan.

Sehingga, seringkali logika yang bermain adalah logika mayoritas yang bersifat anonim. Di sini kesadaran individual terkalahkan oleh kesadaran kawanan yang biasanya lebih bermain pada wilayah permukaan atau pencitraan. Atau dengan kata lain, perasaan (irasionalitas) lebih didahulukan ketimbang akal dan pikiran (rasionalitas).

Kecenderungan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan berdasarkan popularitas dan kegantengan, misalnya, adalah bentuk irasionalitas pemilih dalam menentukan kriteria pemimpin mereka. Visi, misi, program kerja atau rekam jejak (track record) kandidat/calon pemimpin tidak masuk dalam imajinasi politik mereka.

Ini merupakan cermin kegagalan partai politik dalam melakukan kerja-kerja pendidikan politik di masyarakat. Selama ini partai politik masih memperlakukan rakyat sebagai suporter [pendukung] ketimbang voter [pemilih] yang sesungguhnya.

Akibatnya, banyak masyarakat yang asal mencoblos, sekadar ikut-ikutan, terseret arus pencitraan, atau bahkan terjebak pada money politics [politik uang]. Sebab, sebelumnya masyarakat tidak dibekali pemahaman, landasan, dan dasar acuan dalam pemilihan, baik gagasan, visi, misi, reputasi, latar belakang, dan rekam jejak calon.

Karena itu, agar demokrasi melahirkan pemimpin yang ideal, cerdas, kapabel, dan bisa membawa perbaikan dan perubahan, demokratisasi harus terus dikawal sehingga berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan (demokrasi substansial tidak sekadar prosedural). Salah satunya dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar lebih cerdas dan rasional dalam menjatuhkan pilihan dan menentukan masa depan mereka.

Jumat, 02 Mei 2008

Mengawal Proses Demokratisasi

Oleh Jamaluddin Mohammad

Sudah menjadi fenomena umum dalam setiap momen-momen pemilu/pilkada, masyarakat kecil masih sering dijadikan komoditas politik. Wacana kemiskinan, pendidikan murah, terbukanya lapangan pekerjaan, biaya kesehatan gratis, dipastikan akan mengalir deras dari mulut-mulut politisi.

Di sini seolah-olah derajat masyarakat ditinggikan; nasib masyarakat menjadi bagian terpenting dari visi dan misi calon. Biasanya, setelah menang atau terpilih nanti, nasib mereka akan kembali tersungkur ke tanah.

Sehingga tidak aneh apabila belakangan muncul apatisme masyarakat dalam menyambut Pilkada. Mereka menanggapi perhelatan pesta rakyat ini dengan sambutan biasa-biasa saja.

Apatisme masyarakat dalam merespon Pilkada salah satunya disebabkan karena rendahnya pendidikan politik di masyarakat. Pilkada lebih dimaknai sebatas “suksesi” belaka, tidak lebih dari itu.

Akibatnya, pertimbangan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan tidak lagi didasarkan pada kesadaran dan pilihan politik yang rasional. Masyarakat lebih terseret cara berpikir kawanan atau kesadaran komunal.

Kegagalan partai politik
Salah satu tugas terpenting partai politik adalah melakukan pendidikan politik di masyarakat. Namun, yang terjadi sekarang, partai lebih disibukkan dengan urusan-urusan teknis seperti sosialisasi calon, membentuk tim sukses, membuat baligho, dll.

Namun, apakah partai politik pernah mengajak konstituennya untuk mengkritisi pasangan calon yang diajukan partai tersebut? Apakah partai pernah mengajak masyarakat untuk memilih calon berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, bukan didasarkan pada sentimen keagamaan, kesukuan, etnis, dan pertimbangan primordial lainnya?

Yang terpenting, apakah masyarakat dapat menagih janji-janji, program-program, sekaligus kontrak politik setelah calon terpilih menjadi kepala daerah? Ini seharusnya yang dijadikan pertimbangan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan politiknya.

Seringkali partai politik justeru malah melakukan pembodohan terhadap masyarakat, semisal mempraktikkan politik uang (money politics) untuk mempengaruhi pemilih. Cara-cara seperti ini kerap dilakukan ketika pemilu/pilkada. Sangsi hukum yang diatur pasal 82 UU No. 32 Tahun 2004 tetap saja tidak dapat menghentikan praktik politik uang yang terus tumbuh subur mewarnai dinamika perpolitikan kita.

Karena itu, agaknya kita tidak bisa berharap banyak kepada partai politik. Kita harus meningkatkan dan melakukan sendiri kerja-kerja pendidikan politik kepada masyarakat agar lebih dewasa dan berdaya secara politik.

Masyarakat sudah bosan terus-menerus dijadikan “sapi perah” untuk memuaskan nafsu elit-elit politik yang jarang sekali menyapa dan bersentuhan dengan rakyat kecil kecuali dalam ritual pemilu/Pilkada.

Mengawal demokrasi
Pilkada merupakan salah satu instrumen demokrasi guna menjaring sebanyak mungkin partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan kebijakan publik. Lewat Plkada, masyarakat bisa memilih, menentukan, sekaligus menjatuhkan arah kebijakan pemerintah selama 5 tahun ke depan.

Di samping itu, selain sebagai mekanisme pergantian penguasa politik, pemilu/pilkada juga sangat penting untuk mengukur kebenaran klaim-klaim politik yang dibuat oleh banyak pihak tentang kedekatan mereka dengan masyarakat.

Lewat Pilkada, partai politik atau pemimpin akan diuji kembali kelayakannya oleh masyarakat. Idealnya, pasca pemilu/pilkada masyarakat akan menikmati hasilnya, terlepas siapapun pemenangnya. Namun, yang terjadi adalah pemilu hanya sekadar ritual politik tanpa ada perubahan mendasar bagi prilaku politik masyarakat.

Demokrasi kita masih sebatas prosedural, tidak substansial. Ini yang banyak dikritik oleh banyak kalangan. Karena itu, agar menghasilkan kualitas demokrasi yang lebih baik, maka proses demokratisasi harus dikawal.

Salah satunya dengan memantau proses pemilu/pilkada, memberikan kesadaran dan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pemilu/pilkada bukan sekadar mekanisme politik untuk menghasilkan pemerintahan yang baik (good governance) melainkan sudah menjadi pilihan hidup dan mati.

Kamis, 03 April 2008

Kiai yang Dipikat v Kiai yang Memikat

Oleh Jamaluddin Mohammad

Dalam momen-momen pemilu/pilkada, kiai sering dijadikan target silaturahmi politik. Kiai masih dianggap memiliki pengaruh dan karisma yang luar biasa di masyarakat sehingga menarik perhatian banyak politisi/calon. Mereka beramai-ramai "meminta doa dan restu" dari sang kiai agar kelak dipilih masyarakat.

Fenomena kiai yang dipikat banyak politisi untuk dijadikan komoditas politik adalah sisi lain wajah perpolitikan bangsa Indonesia. Ketika musim pemilu/pilkada, seolah-olah kedudukan kiai ditinggikan sekaligus diistimewakan. Kiai sering dikunjungi calon/tim sukses untuk sekadar dimintai nasihat dan doanya. Namun, setelah pemilu usai dan atau calon itu terpilih, doa dan nasihat sang kiai tidak lagi dibutuhkan.

Biasanya, kiai yang diperlakukan seperti itu adalah "kiai kampung": kiai yang sehari-hari ikhlas ngopeni santri, berkutat dengan problem-problem yang dihadapi masyarakat, dan memiliki akar pijakan lokal yang kuat. Umumnya, sang kiai sebetulnya tidak sadar dirinya sedang "dimanfaatkan" orang.

Ketidaksadaran tersebut disebabkan kejujuran, keikhlasan, dan kejernihan hati sang kiai sehingga tidak mudah suudzon (buruk sangka) kepada orang lain, apalagi punya pikiran buruk untuk memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi.

Namun, ada juga kiai yang senang bersolek ke sana kemari. Terlebih ketika musim pemilu/pilkada. Mereka sibuk memikat calon/tim sukses untuk sekadar mendapatkan uang atau jabatan. Misalnya, menggalang dukungan dan memobilisasi massa, mengadakan khalaqoh ulama, atau sekadar mengadakan doa bersama untuk salah satu kandidat. Mereka menggadaikan kekiaiannya untuk tujuan-tujuan duniawiah. Pada umumnya, kiai model seperti itu sudah tahu atau minimal merasakan manisnya kekuasaan.

Dua model kiai yang disebutkan di atas sudah pernah disinggung Abu Hamid al-Ghazali. Hanya, al-Ghazali menggunakan kategori dan istilah sendiri. Sang Hujatul Islam tersebut membagi kiai/ulama ke dalam dua kategori: ulama su’ dan ulama akhirat. Yang pertama ialah ulama yang memanfaatkan keulamaannya untuk mencari kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Antitesisnya ialah ulama akhirat yang memiliki sifat dan karakteristik sebaliknya (Abu Hamid Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, juz I hal 80).

Ulama su’ menganggap kekuasaan (politik) dan kekayaan sebagai tujuan. Berbeda dengan ulama akhirat yang menjadikan keduanya sebagai "musuh" yang harus diwaspadai. Ulama akhirat percaya bahwa harta dan kedudukan tidak perlu dicari, melainkan datang sendiri. Sebab, keduanya merupakan cobaan yang diberikan Allah SWT.

Nabi Isa AS mengilustrasikan ulama su’ ibarat sebatang pohon yang terjatuh ke mulut danau: ia akan terapung dan tidak bisa meninggalkan air untuk berpijak ke tanah. Artinya, ulama su’ sebetulnya tidak memiliki prinsip dan komitmen yang jelas sehingga mudah tergoda dan terombang-ambing oleh pesona duniawiah. Atau, ia seperti telur busuk yang tampak dari luar mulus tetapi di dalamnya busuk.

Al-Ghazali menambahkan, ciri ulama akhirat -di samping tidak suka harta dan kekuasaan-, mereka pada umumnya enggan mendekati penguasa, apalagi sampai bergaul dengan mereka. "... jangan pernah mendekatinya (penguasa) sama sekali. Selagi ada kesempatan untuk menghindar, maka menghindarlah. Bahkan, sebaiknya jangan pernah bergaul dengan mereka, kendati mereka sendiri yang mengajak. Sesungguhnya dunia itu manis dan kendalinya ada di tangan penguasa," kata al-Ghazali.

Statemen al-Ghazali sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang juga mengecam prilaku ulama yang "melacurkan diri" kepada penguasa. "Ulama adalah pemegang amanat para Rasul selagi mengambil jarak dengan kekuasaan. Jika mendekati penguasa, sesungguhnya mereka telah mengkhianati para Rasul. Jika demikian, jauhi dan tinggalkan mereka!" tegas Nabi SAW (HR. Anas).

Kategorisasi ulama yang disampaikan al-Ghazali masih relevan sampai sekarang. Terlebih untuk membaca fenomena banyaknya kiai/ulama yang terjerembap ke dalam politik praktis sehingga banyak umatnya yang terbengkalai. Sebetulnya, bukan berarti kiai/ulama haram berpolitik. Politik yang dianut kiai/ulama adalah politik kerakyatan, bukan politik kekuasaan.

Dengan demikian, kerja-kerja kiai/ulama yang sesungguhnya adalah memberdayakan masyarakat, mengontrol dan mengawasi jalannya kekuasaan, sekaligus membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang diperjuangkan banyak Nabi menjadi tidak terwujud.

Bukankah ulama adalah pewaris para Nabi? Wallahu a’lam bisawab

Jawa Pos, 17 Maret 2008

Sabtu, 15 Maret 2008

RESOLUSI JIHAD TOLAK TOL


Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin adalah salah satu pesantren tertua di Jawa yang didirikan pada 1715 M/1127 H. oleh Kyai Hasanuddin atau lebih dikenal dengan Kyai Jatira. Di samping sebagai ulama pemimpin pesantren, beliau juga termasuk salah satu pahlawan perjuangan melawan kolonialisme Belanda pada Perang Kedongdong atau disebut juga Perang Cirebon yang terjadi pada 1816-1818.

Setelah Indonesia merdeka, perjuangan dan pengabdian Kyai Jatira diteruskan oleh keturunan-keturunan beliau, yang mengembangkan dan memajukan pondok pesantren yang sudah berdiri lebih dari dua abad ini. Kini, sudah ribuan bahkan ratusan ribu alumni yang tersebar di pelbagai pelosok negeri bahkan sampai luar negeri.

Namun sayang, saat ini keberadaan Pesantren Babakan terusik oleh rencana pembangunan jalan tol yang melintasi areal pondok pesantren. Akibatnya, tidak sedikit tanah-tanah milik pesantren dan masyarakat sekitar akan tergusur oleh rencana pemerintah tersebut.

Peristiwa serupa pernah terjadi pada masa kolonialisme Belanda. Pada 1808 seorang Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1762-1818) membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer, Jawa Barat, sampai Panarukan, Jawa Timur.

Pada waktu itu, rute jalan yang dibangun Daendels akan mengenai lahan pesantren dan tanah masyarakat Babakan Ciwaringin Cirebon. Tentu saja rencana tersebut ditentang oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira bersama masyarakat dan santri-santrinya memindah patok-patok pengukur jalan agar tidak mengenai tanah masyarakat dan pesantren yang dirintisnya.

Bagi Kyai Jatira, Daendels tidak hanya mengambil tanah rakyat secara paksa, berupaya menghambat dan membunuh pendidikan, melainkan sudah merenggut hak-hak dan kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri. Karena itu, ia bersama para santri dan masyarakat melakukan pembelaan, perlawanan, dan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya itu.

Namun, setelah Indonesia lepas dari genggaman penjajah, eksistensi Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin kembali terusik oleh rencana pembangunan jalan tol Cikapali (Cikampek-Palimanan) ¾ salah satu mega proyek tol trans java yang meniru proyek Daendels.

Tentu saja rencana tersebut mendapat penolakan luar biasa dari para ulama, santri, dan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran (26/8/2007, 30/11/2007, dan 29/1/2008) menentang proyek yang diperkirakan menghabiskan Rp 4,5 triliun itu.

Kyai, para santri, dan masyarakat meyakini perjuangan mereka saat ini pararel dengan apa yang dilakukan Kyai Jatira dulu ketika melawan Daendeles. Para kyai keberatan karena tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf), yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan.

Di sekelingnya terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan. Di samping itu, para kyai dan masyarakat memiliki ikatan emosional dan sejarah yang kuat terhadap tanah tersebut, sehingga tidak mungkin digantikan dengan tanah lain.

Oleh karena itu, kami selaku warga, tokoh masyarakat, pemimpin dan pengasuh, serta keluarga besar Pesantren Babakan menolak keberadaan jalan tol yang melintasi pesantren dengan pelbagai pertimbangan:


[1] Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu

[2] Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan konstribusi pembangunan kepada negara.

[3] Para kyai dan sesepuh Pondok Pesantren Babakan ikut andil dalam perjuangan melawan Belanda dan Jepang guna merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia


Adapun alasan penolakan Kami sebagai berikut:

[1] Pembanguan dan aktifitas jalan tol akan mengganggu kegiatan pendidikan dan aktifitas lain, seperti istighatsah, tahlil, hadiyu, pengajian, dll, yang sudah menjadi tradisi turun temurun semenjak ratusan tahun yang silam.

[2] Tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf) yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan.

[3] Di bumi Babakan Ciwaringin terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan.

[4] Pendidikan pesantren merupakan aset Negara yang memberikan konstribusi besar terhadap perkembangan Sumber Daya Manusia.

[5] Pendidikan lebih penting dan lebih mahal dari pembangunan jalan tol

[6] Keberadaan tol akan membelah keutuhan pesantren yang sudah ada semenjak 1715 M.

[7] Proses dan perencanaan pembangunan jalan tol tidak pernah melibatkan masyarakat pondok pesantren dan lembaga pendidikan yang ada di Babakan.
Oleh karena itu, Kami selaku pengasuh pesantren, santri, alumni, mahasiswa dan masyarakat yang masih peduli terhadap masa depan pendidikan MENOLAK KERAS JALAN TOL MELEWATI PESANTREN dan MENUNTUT AGAR SEGERA DIPINDAHKAN. Kami siap ber-JIHAD membela PONDOK PESANTREN, masa depan pendidikan Islam, dan memperjuangkan nasib masyarakat lemah dan terpinggirkan. ALLAHU AKBAR...!!! ALLAHU AKBAR...!!! ALLAHU AKBAR...!!!

Minggu, 20 Januari 2008

Agama Pusat Agama Pinggiran

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Baru-baru ini kekerasan atas nama “agama” kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh Negara (Kejaksaan Agung). Ahmadiyah dicap “sesat” oleh Negara sehingga tidak boleh hidup di Indonesia.

Nampaknya, beberapa tahun terkahir ini Indonesia menjadi lahan subur bagi tumbuhnya aliran-aliran “sesat”. Setelah Ahmadiayah, komunitas Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, entah aliran apalagi yang akan diadili Negara.

Ternyata, agama tidak hanya berputar-putar pada wilayah penafsiran, melainkan sudah masuk ke lingkaran kekuasaan. Sehingga, yang terjadi adalah perebutan “makna agama”. Antara satu dan lainnya saling menghegemoni, mendominasi, dan mendzalimi.

Ini yang terjadi di Indonesia: ada Islam versi Negara dan Islam versi masyarakat awam (rakyat). Masing-masing meyakini “kebenaran” yang dipeluknya. Dalam Islam, perbedaan “kebenaran” adalah keniscayaan. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak membawa satu “kebenaran”.

Islam merupakan kumpulan “kebenaran” yang sudah ada sebelumnya. “Kebenaran-kebenaran” itu dirawat dan dikumpulkan dalam satu “mangkuk” bernama Islam, namun unsur-unsur perbedaanya tetap dibiarkan dan dipelihara. Karena itu, Islam sangat-sangat menghargai perbedaan.

Yang menjadi problem adalah, apabila “kebenaran” itu dikontrol, diawasi, didisiplinkan oleh regim yang berkuasa. Maka, yang terjadi adalah “kanonisasi kebenaran”, pemusatan kebenaran. “Kebenaran” akan berubah menjadi “pembenaran”. Sebagaimana fatwa “sesat” yang dikeluarkan MUI. Dengan fatwa itu, MUI berubah menjadi semacam “melting pot” (panci pelebur) yang mencoba menyeragamkan “Islam” sesuai penafsiran mereka.

Fatwa MUI sangat berbahaya mengingat realitas masyarakat kita adalah multikultural. Kita tidak bisa menunggalkan cara pandang (penafsiran), penghayatan, dan pengamalan orang terhadap “Islam”. Terbukti, setelah “Islam” dikonsumsi oleh publik, warna dan tampilannya berbeda-beda, sesuai dengan pemahaman dan pengalaman orang maupun kelompok masing-masing. Ada Komunitas Lia Eden, Jakarta, Komunitas Nurul Yaqin, Banten, Islam Sejati di Jember, Jawa Timur, dll.

Begitu juga ketika “agama” dipahami oleh masyarakat pedalaman, maka akan melahirkan Agama Kaharingan di Kalimantan, Agama Parmalim di Sumatera Utara, Agama Djawi Sunda di Cigugur, Jawa Barat, dan masih banyak lagi. Kita tidak bisa menafikan eksistensi mereka. Apalagi mengeluarkan fatwa “sesat” untuk menghakimi mereka. Ini tidak adil!

Apakah agama perlu diresmikan Negara?
Negara sebaiknya tidak usah ikut campur dalam urusan agama. Ketika Negara ikut mengutak-atik agama, agama tidak netral lagi. Ia menjadi alat kuasa Negara.

Agaknya ini yang menjadi kekhawatiran orang seperti Soekarno ketika merumuskan dasar Negara Republik Indonesia. Dalam sidang BPUPKI Soekarno mengusulkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila kelima, dan bukan sebagai sumber moral bagi sila-sila lainnya. Bahkan Soekarno dapat memeras 5 sila menjadi 2 sila, yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Atau hanya menjadi ekasila yaitu Gotong Royong (Syafii Maarif, 1987:104).

Soekarno bukan berarti alergi terhadap agama. Agama tetap penting dan tetap menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Namun, ketika ditarik dalam wilayah publik, simbol-simbol dan institusi-institusi keagamaan harus dilucuti. Tujuannya, agar tercipta kesetaraan dan keadilan, terlepas dari diskriminasi dan kekerasan atas nama agama, seperti yang dialami Jamaah Ahmadiyyah akhir-akhir ini.

Setiap orang atau kelompok punya pemahaman dan pengamalan keagaamaan berdasarkan konteks budaya dan sejarahnya sendiri-sendiri. Pendek kata, beragama bukanlah melalui sesuatu yang berada di luar diri manusia, tapi berasal dari dalam manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, (ber)agama tidak butuh pengakuan, pengabsahan, dan penertiban dari institusi keagamaan apalagi Negara. Karena itu, instiusi-institusi keagamaan seperti MUI mutlak tidak diperlukan lagi.


Butuh dialog dan rekonsiliasi
Untuk mengendurkan ketegangan yang terjadi antar paham keagamaan, maka perlu ditanamkan pemahaman multikulturalisme. Multikulturalisme berbeda dengan pluralime yang hanya sekadar mengakui dan meniscayakan tentang keanekaragaman, kemajemukan atau kebhinekaan (Ahmad Baso, 2002:97).

Oleh karena itu, untuk mendudukkan semua aliran-aliran yang tersebar di Indonesia, dibutuhkan dialog dan rekonsiliasi. Namun sebelum itu, Negara harus bisa menjamin hak-hak kultural masyarakat lokal, melindungi dan memposisikan secara sejajar, tanpa berpretensi untuk menghukumi atau menghakimi. Dengan kata lain, Negara harus mengakui kenyataan multikultural yang ada di masyarakat sekaligus menjamin hak-hak dan kebebasan yang ada di dalamnya.

Tanpa ada perlindungan dan jaminan kebebasan dari Negara, dialog dan rekonsiliasi antar aliran/agama tidak akan bisa terwujud. Akibatnya, fenomena kekerasan atas nama “agama” akan terus mewarnai bangsa ini. Kita akan gagal menjadi bangsa yang besar, yang menghargai perbedaan sebagai kenyataan bukan ancaman.

Rabu, 02 Januari 2008

Takdir Manusia

Refleksi Tahun Baru
Oleh Jamaluddin Mohammad

Ada beberapa persoalan yang mengendap dalam pikiran saya selama setahun belakangan. Terutama yang terkait dengan kepemimpinan SBY-JK. Sepanjang pemerintahan SBY-JK, Indonesia di dera pelbagai macam musibah dan bencana:tsunami dan gempa bumi, kecelakaan kapal terbang, kereta api, kapal laut, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, gunung meletus, sampai lumpur lapindo.

Pemerintahan SBY-JK juga masih mewarisi patalogi kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan segudang penyakit bangsa lainnya. Nampaknya, di bawah kendali SBY-JK, Indonesia masih belum beranjak dari posisi semula. Problem yang menghimpit bangsa ini masih berputar-putar dalam pusaran yang sama.

Ada dua sudut pandang teologis untuk membaca problem bangsa Indonesia. Pertama, pandangan Jabariyah yang mengatakan bahwa problem yang mengepung bangsa Indonesia adalah “takdir Tuhan”. Sejak permulaan waktu yang tidak dapat dipastikan (zaman azali), Tuhan punya rencana dan sekenario untuk bangsa Indonesia. Manusia Indonesia hanya bisa bergerak dan mengikuti berdasarkan rencana dan sekenario itu. Kita tidak boleh usul, protes, apalagi berkeinginan untuk merubahnya.

Sudut pandang kedua berkebalikan dengan yang pertama. Mereka menyebut bahwa Tuhan tidak ikut campur dengan persoalan yang menimpa bangsa Indonesia. Manusia Indonesia sendiri yang menyusun rencana, berbuat dan bertindak. Apa yang dialami bangsa Indonesia saat ini merupakan buah dari rencana, tindakan, dan perbuatan itu. Dengan kata lain, problem bangsa Indonesia bukanlah “takdir Tuhan”, melainkan “takdir manusia”. Mereka disebut Qadariyah.

Dari kedua sudut pandang (cara berpikir) di atas melahirkan tindakan dan penyelesaian yang berbeda-beda. Yang pertama cenderung statis, menunggu dan menerima segala tantangan-tantangan dan kejadian-kejadian yang datang dari luar. Sangking besarnya perhatian mereka terhadap “kekuasaan Tuhan”, sehingga tidak menyisihkan sedikitpun, bahkan menafikan “kekuasaan manusia”. Cara berpikir seperti ini menghinggapi banyak orang Indonesia.

Sementara yang kedua cenderung aktif, progresif, dan menganggap segala sesuatu sebagai “kemungkinan-kemungkinan” yang harus terus dihadapi dan diperbaharui. Apa yang disebut orang sebagai “takdir Tuhan” sebetulnya hanya bagian dari hukum alam yang diciptakan Tuhan. Dengan belajar dan mempelajari hukum alam, manusia bisa menciptakan takdirnya sendiri.

Karena itu, menurut pandangan Qadariyah, musibah dan bencana yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini bukanlah muncul secara tiba-tiba dan tanpa sebab sama sekali. Ia diakibatkan oleh keserakahan manusia ketika berhadapan dengan alam. Begitu juga ketika menghadapi problem-problem kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, adalah diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam mendesain sekenario yang tepat untuk bangsa Indonesia.

Lantas, apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia di tahun 2008 ini? Indonesia butuh manusia-manusia yang bisa menciptakan takdirnya sendiri: orang-orang yang kreatif, inovatif, progresif, dan berani menghadapi kenyataan sebagai sebuah kemungkinan yang menuntut untuk terus dihadapi dan diperbaharui. Wallahu a’lam bi sawab.