Jumat, 02 Mei 2008

Mengawal Proses Demokratisasi

Oleh Jamaluddin Mohammad

Sudah menjadi fenomena umum dalam setiap momen-momen pemilu/pilkada, masyarakat kecil masih sering dijadikan komoditas politik. Wacana kemiskinan, pendidikan murah, terbukanya lapangan pekerjaan, biaya kesehatan gratis, dipastikan akan mengalir deras dari mulut-mulut politisi.

Di sini seolah-olah derajat masyarakat ditinggikan; nasib masyarakat menjadi bagian terpenting dari visi dan misi calon. Biasanya, setelah menang atau terpilih nanti, nasib mereka akan kembali tersungkur ke tanah.

Sehingga tidak aneh apabila belakangan muncul apatisme masyarakat dalam menyambut Pilkada. Mereka menanggapi perhelatan pesta rakyat ini dengan sambutan biasa-biasa saja.

Apatisme masyarakat dalam merespon Pilkada salah satunya disebabkan karena rendahnya pendidikan politik di masyarakat. Pilkada lebih dimaknai sebatas “suksesi” belaka, tidak lebih dari itu.

Akibatnya, pertimbangan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan tidak lagi didasarkan pada kesadaran dan pilihan politik yang rasional. Masyarakat lebih terseret cara berpikir kawanan atau kesadaran komunal.

Kegagalan partai politik
Salah satu tugas terpenting partai politik adalah melakukan pendidikan politik di masyarakat. Namun, yang terjadi sekarang, partai lebih disibukkan dengan urusan-urusan teknis seperti sosialisasi calon, membentuk tim sukses, membuat baligho, dll.

Namun, apakah partai politik pernah mengajak konstituennya untuk mengkritisi pasangan calon yang diajukan partai tersebut? Apakah partai pernah mengajak masyarakat untuk memilih calon berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, bukan didasarkan pada sentimen keagamaan, kesukuan, etnis, dan pertimbangan primordial lainnya?

Yang terpenting, apakah masyarakat dapat menagih janji-janji, program-program, sekaligus kontrak politik setelah calon terpilih menjadi kepala daerah? Ini seharusnya yang dijadikan pertimbangan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan politiknya.

Seringkali partai politik justeru malah melakukan pembodohan terhadap masyarakat, semisal mempraktikkan politik uang (money politics) untuk mempengaruhi pemilih. Cara-cara seperti ini kerap dilakukan ketika pemilu/pilkada. Sangsi hukum yang diatur pasal 82 UU No. 32 Tahun 2004 tetap saja tidak dapat menghentikan praktik politik uang yang terus tumbuh subur mewarnai dinamika perpolitikan kita.

Karena itu, agaknya kita tidak bisa berharap banyak kepada partai politik. Kita harus meningkatkan dan melakukan sendiri kerja-kerja pendidikan politik kepada masyarakat agar lebih dewasa dan berdaya secara politik.

Masyarakat sudah bosan terus-menerus dijadikan “sapi perah” untuk memuaskan nafsu elit-elit politik yang jarang sekali menyapa dan bersentuhan dengan rakyat kecil kecuali dalam ritual pemilu/Pilkada.

Mengawal demokrasi
Pilkada merupakan salah satu instrumen demokrasi guna menjaring sebanyak mungkin partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan kebijakan publik. Lewat Plkada, masyarakat bisa memilih, menentukan, sekaligus menjatuhkan arah kebijakan pemerintah selama 5 tahun ke depan.

Di samping itu, selain sebagai mekanisme pergantian penguasa politik, pemilu/pilkada juga sangat penting untuk mengukur kebenaran klaim-klaim politik yang dibuat oleh banyak pihak tentang kedekatan mereka dengan masyarakat.

Lewat Pilkada, partai politik atau pemimpin akan diuji kembali kelayakannya oleh masyarakat. Idealnya, pasca pemilu/pilkada masyarakat akan menikmati hasilnya, terlepas siapapun pemenangnya. Namun, yang terjadi adalah pemilu hanya sekadar ritual politik tanpa ada perubahan mendasar bagi prilaku politik masyarakat.

Demokrasi kita masih sebatas prosedural, tidak substansial. Ini yang banyak dikritik oleh banyak kalangan. Karena itu, agar menghasilkan kualitas demokrasi yang lebih baik, maka proses demokratisasi harus dikawal.

Salah satunya dengan memantau proses pemilu/pilkada, memberikan kesadaran dan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pemilu/pilkada bukan sekadar mekanisme politik untuk menghasilkan pemerintahan yang baik (good governance) melainkan sudah menjadi pilihan hidup dan mati.

Tidak ada komentar: