Minggu, 18 Mei 2008

Mencerdaskan Pemilih

'Belajar dari Kegagalan Partai Politik dalam Pilkada Jabar'

Pilkada Jabar (Jawa Barat) sudah lewat. Masyarakat banyak yang tidak tertarik “merayakan” pesta rakyat yang diadakan pada 13 April yang lalu. Tingkat partisipasi pemilih tergolong rendah. Hampir di setiap TPS sepi peminat.

Setidaknya, berdasarkan pengamatan di lapangan dan saat penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum [KPU], tingkat partisipasi masyarakat di kawasan III Cirebon atau wilayah Pantura terbilang rendah, hanya 65 persen. Padahal wilayah ini menyumbang 16,5 persen suara. [Kompas, 15/04].

Meski diadakan pada hari libur, masyarakat lebih memilih bekerja daripada mendatangi TPS untuk mencoblos. Ternyata, masyarakat semakin apatis terhadap masa depannya sendiri.

Pilkada Jabar juga menandai jatuhnya kredibilitas dan popularitas Partai politik. Berdasarkan hasil perolehan suara terakhir yang terkumpul di KPU, suara DA’I (Dany-Iwan) yang diusung Partai Golkar dan Demokrat terpuruk di urutan terakhir. Padahal, Jabar merupakan lumbung suara partai yang bergambar beringin ini.

Setidaknya, berdasarkan pemilu 2004, Golkar berhasil menguningkan Jabar dengan mengantongi 27,9 persen dari 20,7 juta suara atau menguasai 17 daerah. Ini belum menghitung suara Demokrat yang meraup 8,25 persen suara. Di atas kertas, koalisi keduanya sedikitnya mengantongi 36 persen [Kompas, 01/04] .

Begitu juga dialami pasangan AMAN (Agum-Nu’man) yang diusung oleh PDIP, PPP, PKB, PKPB, PBB, PBR, dan PDS. Namun, koalisi 7 partai ini tidak mampu mengungguli pasangan HD (Heryawan-Dede Yusuf) yang hanya didukung PKS dan PAN. Padahal, berdasarkan “sunnatullah”, suara AMAN seharusnya berada di posisi aman.

Pemimpin ganteng
Banyak kejadian yang tidak terduga dalam politik. Melambungnya perolehan suara HD mencengangkan sekaligus membingungkan banyak orang. Orang hanya bisa menduga-duga bahwa kemenangan HD lebih disebabkan popularitas Dede Yusuf sebagai selebritis.

Alasan tersebut ada benarnya. Jauh sebelum mencalonkan diri, Dede lebih dulu dikenal banyak orang, terutama ibu-ibu, melalui film, sinetron, iklan, dan tayangan entertaint lainnya. Di mata orang, Dede lebih dikenal sebagai artis ketimbang politisi atau sesosok intelektual. Wajahnya yang ganteng dan senyumannya yang simpatik mampu menyihir banyak pemilih.

Belum lagi menghitung sosok Heryawan yang di back-up pengikut setia PKS yang militan. Heryawan termasuk “orang baru” yang tidak banyak dikenal publik Jabar. Namun, momentum kemunculannya sangat tepat dikala masyarakat banyak berharap tampilnya “pemimpin muda" yang diharapkan mampu membawa perbaikan dan perubahan. Orang tidak lagi peduli pada visi, misi, serta program-program yang ditawarkan para calon.

Kemenangan HD mengulang sukses pasangan SBY-JK pada Pilpres 2004 kemarin. Waktu itu, kegantengan dan popularita SBY mampu mengantarkannya ke istana negara. Lagi-lagi “ganteng” masuk dalam kamus politik kita. Pertanyaannya, sejak kapan “kegantengan” termasuk dalam kriteria kepemimpinan kita?

Kegagalan demokrasi?
Plato pernah mewanti-wanti salah satu kelemahan demokrasi adalah terpilihnya orang bodoh menjadi pemimpin. Penilaian seperti itu wajar. Sebab, dalam iklim demokrasi, suara mayoritas mengalahkan suara minoritas; suara rakyat adalah suara Tuhan.

Sehingga, seringkali logika yang bermain adalah logika mayoritas yang bersifat anonim. Di sini kesadaran individual terkalahkan oleh kesadaran kawanan yang biasanya lebih bermain pada wilayah permukaan atau pencitraan. Atau dengan kata lain, perasaan (irasionalitas) lebih didahulukan ketimbang akal dan pikiran (rasionalitas).

Kecenderungan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan berdasarkan popularitas dan kegantengan, misalnya, adalah bentuk irasionalitas pemilih dalam menentukan kriteria pemimpin mereka. Visi, misi, program kerja atau rekam jejak (track record) kandidat/calon pemimpin tidak masuk dalam imajinasi politik mereka.

Ini merupakan cermin kegagalan partai politik dalam melakukan kerja-kerja pendidikan politik di masyarakat. Selama ini partai politik masih memperlakukan rakyat sebagai suporter [pendukung] ketimbang voter [pemilih] yang sesungguhnya.

Akibatnya, banyak masyarakat yang asal mencoblos, sekadar ikut-ikutan, terseret arus pencitraan, atau bahkan terjebak pada money politics [politik uang]. Sebab, sebelumnya masyarakat tidak dibekali pemahaman, landasan, dan dasar acuan dalam pemilihan, baik gagasan, visi, misi, reputasi, latar belakang, dan rekam jejak calon.

Karena itu, agar demokrasi melahirkan pemimpin yang ideal, cerdas, kapabel, dan bisa membawa perbaikan dan perubahan, demokratisasi harus terus dikawal sehingga berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan (demokrasi substansial tidak sekadar prosedural). Salah satunya dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar lebih cerdas dan rasional dalam menjatuhkan pilihan dan menentukan masa depan mereka.

1 komentar:

Zidni mengatakan...

alternatifnya tetep demokrasi kang?
nggak menawarkan revolusi?