Kamis, 24 Mei 2012

Pribumisasi Islam Melawan Lady Gaga



Agama Islam tidak lahir dari kesunyian. Islam senantiasa bersentuhan dengan kultur dan budaya tempat ia (di)muncul(kan). Karena itu, tak perlu dirisaukan ketika terjadi ketegangan dan benturan antar Islam dan Budaya; “langit” dan “bumi”. Di sinilah perlunya mendamaikan keduanya melalui “pribumisasi Islam”.

Gagasan pribumisasi Islam pertama kali dimunculkan Gus Dur setelah melihat realitas keberagamaan umat Islam di setiap kawasan yang tidak seragam. Kita boleh mengatakan bahwa Islam muncul dan berpusat di Arab, tempat Nabi Muhammad SAW lahir dan mendakwahkan Islam. Karena itu, Islam identik dengan Arab. Warna Arab begitu kental dan mendominasi pelbagai bentuk ajaran Islam: al-Quran berbahasa Arab, salat lima waktu pakai Arab dan harus menghadap ke Negara Arab (Ka’bah), haji juga harus datang ke sana, dan masih banyak lagi. Namun, kita juga tak bisa menutup mata bahwa setelah Islam menyebar, berkembang, dan berbaur dengan bangsa-bangsa non-Arab, warna Islam tak lagi tunggal. Warna Arabnya tak lagi dominan karena sudah berbaur dan bahkan berganti rupa menjadi warna lokal. Islamnya (substansinya) tetap utuh, tetapi “bungkusnya” berbeda. Ibarat Bunglon yang berganti dan menyesuaikan warna kulitnya ketika ia berada di tempat-tempat tertentu. Bunglonnya tetap bunglon meski warna kulitnya berganti-ganti.

Begitu juga dengan Islam. Islam mengalami akulturasi, asimilasi, dan inkulturasi dengan budaya setempat di mana Islam (di)hadir(kan). Ketika Islam (di)datang(kan) ke Nusantra, masyarakat di sini sudah mengenal ajaran dan kepercayaan purba: Kapitayan, Hindu dan Budha. Artinya, ketika Islam dikenalkan di sini, masyarakat di sini sudah berbudaya. Mereka sudah memiliki kepercayaan, sistem nilai, standar moral, tradisi,  norma dan budaya yang sudah dikenalkan oleh nenek moyang mereka.

Lantas, kenapa mereka begitu mudahnya menerima Islam? Penting dicatat: konversi Islam di Nusantara tanpa melalui sejarah berdarah-darah tak seperti di negara asalnya. Bayangkan, kita tak pernah mengenal dan bertemu Nabi SAW, tapi begitu mudahnya percaya kepadanya: sebuah kepercayaan tanpa reserve. Sementara banyak orang yang hidup dan mengenal Nabi SAW tetap tak menaruh simpati, kepercayaan, bahkan malah memusuhi dan memeranginya.

Di sinilah hebatnya para Wali Songo dalam mendakwahkan dan melakukan islamisasi di sini. Para wali tak melakukan resistensi terhadap budaya dan tradisi lokal, melainkan tetap memeliharanya dan menjadikannya sebagai alat Islamisasi.

Tradisi yang sudah berurat-berakar berabad-abad lamanya, seperti mitung dina, matangpuluh, nyatus dina, tingkepan, sesajen, dll tetap dipelihara tetapi “maknanya” dirubah. Misalnya, kalau dulu orang sesajen ditunjukkan kepada arwah nenek moyang mereka, setelah “diislamkan” maknanya berubah. sesajen dianggap sebagai bagian dari sedekah yang (pahalanya) ditunjukkan kepada Allah SWT. Hal ini mirip dengan ritual Kurban sebagai warisan agama Ibrahim AS. Dengan demikian Islam mudah diterima masyarakat lokal karena mereka tak merasa terasing oleh kehadiran Islam. Mereka malah memahami Islam sebagai “masa lalu”, “sekarang”, dan “masa yang akan datang”. Strategi dakwah model seperti ini, menurut istilah Gus Dur, disebut “Pribumisasi Islam”.

Pribumisasi Islam, kata kata Gus Dur, bukanlah “jawanisasi” atau sinkretisasi, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Dengan demikian, ritual salat tetap berbahasa Arab, haji tetap ke Makkah, tapi ketika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, Islam bisa bersinergi dan melakukan akomodasi terhadap kebudayaan tersebut.

Contoh kongkritnya, ketika kita hendak menolak pagelaran konser Lady Gaga karena dianggap terlalu vulgar mempertontontkan erotika dan sensualitasnya yang bertolak belakang dengan agama dan budaya ketimuran, kita tak perlu teriak-teriak, ngajak perang, atau sesumbar dan mengancam siapapun (panitia atau pihak kepolisian), tapi cukup melawan dan meredamnya dengan budaya ketimuran yang selaras dengan budaya keislaman, seperti malu (al-haya’), sopan santun, menghormati orang lain, tenggang rasa, dll. Jadi, saya yakin, ketika orang Indonesia ini masih konsisten memegang nilai-nilai budaya timur yang bersinergi dengan nilai-nilai keislaman, tiket konser Lady Gaga tak bakalan laku dan kita tak merasa risau apalagi terganggu dengan kedatangan Mother Monster itu.

Namun, pertanyaan yang kemudian muncul, masihkan budaya Timur itu? Buktinya, kita tak bisa “melawan” lewat kebudayaan karena kita mengalami krisis identitas. Kita merasa sebagai orang Timur tapi ke-Timur-an kita sudah hilang. Kita juga tak bisa melawan menggunakan agama (Islam), karena ke-islam-an kita lebih dekat dengan Arab yang berwatak keras, barbar, tak santun, dan tak mengenal kompromi. Akibatnya, kita kehilangan diri kita sendiri, tak memiliki pijakan dan akar yang kuat, sehingga mudah diombang-ambing oleh arus dan kekuatan luar yang setiap saat datang mengepung kita. Wallahu a’lam