Kamis, 27 September 2007

Sejarah Hukum Poligami




Oleh Jamaluddin Mohammad

Akhir-akhr ini wacana tentang poligami kembali menyeruak. Ini terkait dengan rencana pemerintah SBY merevisi Peraturan Pemerintah (PP) no 45/1990 tentang izin perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta Pejabat Negara. Pemerintah juga bertekad memperketat aturan mengenai poligami bagi masyarakat luas.

Karena itu, sebelum poligami jadi/tidak jadi diundang-undangkan, alangkah baiknya kita menengok kembali sejarah hukum poligami pada masa Nabi-Nabi. Ini penting, sebab sejarah hukum selalu terkait dengan kondisi sosio-kultur masyarakat pada zamannya. Seperti yang dikatakan kaidah fiqh, “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wuhudan wa ‘adaman” (keberadaan hukum selalu terkait dengan illat [sebab] yang melatarbelakanginya).

Ketentuan seperti ini berlaku pada setiap hukum (syariat). Dinamika hukum selalu berjalin-kelindan dengan gerak sejarah yang terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah hukum poligami. Setiap Nabi memiliki perspektif sendiri-sendiri dalam memandang poligami.

Sejarah hukum poligami
Menurut Ibnu Abdu al-Salam (Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, juz II hal. 93), syariat Nabi Musa (alaihi al-salam) tidak melarang laki-laki beristeri lebih dari satu. Bahkan, pada waktu itu, laki-laki sangat dianjurkan berpoligami. Ini terkait dengan jumlah laki-laki yang sedikit dibanding populasi perempuan yang terus meningkat. Sebagaimana yang diceritakan al-Qur’an, Fir’aun, penguasa pada saat itu, melakukan pembunuhan besar-besaran setiap bayi laki-laki yang lahir, sementara bayi perempuan terus dibiarkan hidup. (QS al-Baqarah [02]: 49)

Era “kebebasan” laki-laki berakhir pada masa kenabian Isa (alaihi al-salam). Syariat Isa hanya membolehkan monogami. Konon, ketentuan seperti ini berpulang pada sosok Nabi Isa sendiri. Seperti yang kita ketahui, Nabi Isa terlahir dari rahim wanita yang sepanjang hidupnya tidak pernah bersuami. Dalam kandungan Maryam—ibu Isa—tiba-tiba terdapat janin tanpa diketahui asal- muasalnya.

Dalam hal ini, Isa adalah aseli produk wanita: proses pembuahan janin Isa tanpa ada campuran sperma laki-laki dan ovum wanita. Maryam adalah asal dari Isa. Nah, sebagai bentuk “penghormatan” terhadap asal, maka laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari satu.

Berbeda dengan syariat Nabi Musa yang terlalu ekstrim dalam membebaskan poligami, dan Nabi Isa yang hanya membolehkan monogami, syariat Nabi Muhammad mengambil posisi tengah-tengah, sebagai sintesis dari syariat Musa dan Isa.

Nabi Muhammad SAW membolehkan laki-laki beristeri maksimal empat (QS an-Nisa [4]: 03). Bahkan Nabi SAW sendiri memiliki sembilan istri dari lima belas wanita yang pernah dikawininya.

Kendatiun demikian, syariat Nabi Muhammad SAW juga terkait dengan kondisi sosio-kultur msyarakat Arab waktu itu. Dalam tradisi Arab, tidak ada batasan bagi laki-laki untuk mengawini perempuan. Bahkan, pada waktu itu, posisi perempuan sangat direndahkan. Batasan empat yang diberikan al-Quran dalam rangka mengangkat harkat-martabat perempuan yang direndahkan itu. Namun, model perubahan yang dipilih al-Qur’an adalah halus (soft) dan bertahap (al-tajrid). Dan ini ciri dari syariat Nabi Muhammad SAW.

Yang perlu ditekankan di sini, seperti yang dikatakan Khudlori Bek dalam “Tarikh al-Tasyri’ al-Islami”, bahwa poligami bukanlah pokok syariat yang bersifat pasti (laisa ta’addudu al-zaujaat min al-sya’aair al-asasiyyah allati labudda minha). Sejatinya, yang berhak menentukan boleh-tidaknya poligami adalah manusia, tentunya dengan bertitik-tolak pada realitas sosio-kultur yang berlaku di masyarakatnya.

Disamping itu, kita juga harus mempertimbangkan alasan serta tujuan dari nikah itu sendiri, agar tidak terjadi kesilap-pahaman dalam memahami poligami. Menurut para ulama, tujuan nikah ada tiga (maqasid al-nikah tsalasah): pertama, menjaga keturunan/fungsi reproduksi (hifdzu al-nasal); kedua, mendistribusikan sperma yang apabila terus ditimbun dalam tubuh maka akan membahayakan (ikhraj al-ma’ alladzi yadurru ihtibasuhu fi al-badan); dan ketiga, menyalurkan kebutuhan biologis, rekreasi (nailu al-ladzzat). (Abi Bakr bin Syato’, Ianah al-Tholibin, hal 295 juz III).

Nikah hanyalah sarana (wasail) untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Jika tujuan itu bisa diperoleh dengan monogami, maka mengapa harus berpoligami? Sayangnya, seringkali kita terjebak pada “sarana”, melupakan tujuan. Sehingga terlepas dari cita-cita nikah yang diinginkan al-Qur’an, yakni taskunuu ilayha (keharmonisan dalam rumah tangga) dan mawaddah wa rahmah (kasih sayang). (QS al-Rum [30]: 21)

penutup
saya kira, pemerintah harus melakukan survai dan penelitian terlebih dahulu sebelum menetapkan UUAP (Undang-Undang Anti Poligami). Biarkan realitas berbicara sendiri. Saya kira masyarakat lebih arif dan bijak dalam melihat persoalan. Masyarakat memilki pengetahuan berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Ini yang tidak dibaca oleh pemerintah. Seolah-seolah pemerintah lebih tahu dan lebih berhak menentukan “apa yang terbaik” buat rakyatnya, tanpa berpijak pada kondisi objektif rakyat itu sendiri. Wallahu a’lam bi sawab

1 komentar:

Zidni mengatakan...

argumen yang bijak.
walau sebenarnya di realitas pesantren sang kiyai lebih banyak yang berpoligami