Sabtu, 29 September 2007

Myth and Meaning

Memaknai Mitos


“Asal segala sesuatu adalah air”, kata Thals, filsuf Yunani yang hidup sekitar 6 abad sebelum masehi. Mungkin, untuk saat ini, hipotesis Thals tidak menarik lagi untuk ditelusuri kebenarannya. Yang perlu kita catat adalah, bahwa pada saat itu Thals telah melampaui zamannya. Ia telah menggunakan pikirannya [baca: logos], meninggalkan jauh warisan-warisan mitologi yang kala itu mendominasi peradaban manusia. Dari sini mulai dipertentangkan antara mitos dan logos. Yang pertama “kebenarannya” sulit dimengerti dan dianggap tidak ilmiah, sedangkan yang kedua “kebenarannya’ dapat ditelusuri dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Disinilah awal perseteruan antara filsasafat dan mitos.

Orang sering membedakan antara mitos dan logos. Dua istilah ini sebenarnya hanya untuk membedakan antara hasil pemikiran primitif dan modern, antara yang rasional dan irasional. Padahal, keduanya sama-sama memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan manusia. Perbedaannya, yang pertama lebih didasarkan pada kepercayaan dan keyakinan, sedangkan yang kedua didasarkan pada proses penalaran dan bukti-bukti empiris.

Mitos dianggap sesuatu yang ilusif, tahayul, dan tidak memiliki makna. Pandangan seperti ini jamak kita temukan pada masyarakat modern. Implikasi pandangan seperti ini tidak sederhana. Manusia akan terjebak pada satu model pemikiran dan menolak pluralitas ‘kebenaran’. Manusia digiring pada satu aras pemikran tertentu yang justeru akan menjebaknya. Padahal kalau kita mau jujur bahwa “kebenaran” bisa datang dari mana saja, bergantung pada dasar pijakan proses berpikir kita.

Sebagai contoh klasik, bagi penganut empirisme, akal adalah tabula rasa. Ia ibarat kertas kosong yang ditulis oleh pengalaman-pengalaman kita. Sebaliknya, penganut idealisme menganggap bahwa pengalaman adalah copy dari ide-ide yang mengeram dalam alam bawah sadar kita. Perdebatan-perdebatan seperti itu terus mengalami dialektika dan perubahan seiring perkembangan pemikiran manusia. Sehingga tidak aneh apabila dalam filsafat muncul pelbagai aliran yang terkadang satu sama lain saling bertolak belakang, saling melengkapi dan saling mengisi kekurangan masing-masing. Tetapi kita tidak bisa mengklaim bahwa pemikiran/aliran tertentu benar dan yang lainnya salah.

Begitupun halnya dengan mitos. Tidak menutup kemungkinan bahwa mitos mengandung sebuah “kebenaran” yang sampai sekarang tidak terpecahkan oleh model pemikiran apapun. Bahkan kalau kita menerima kriteria Nietzsche bahwa “kebenaran” itu tidak ada, yang ada hanyalah penafsiran dan persepsi tentang dunia”. Artinya, bahwa yang selama ini kita lakukan hanyalah sebatas menafsiri dunia. Manusia hanya bisa merangkum lewat bahasa, sedangkan bahasa terlalu sederhana untuk merepresentasikan makna yang terdapat pada dunia. Menurut Nietzshe, klaim “kebenaran” adalah sia-sia dan “ilusi” belaka. Apalagi jika kita mereduksi “kebenaran” hanya pada akal (logos) semata.

Ini sebetulnya yang ingin dikatakan Claude Lévi-Strauss, Antropolog sekaligus bapak strukturalis, dalam bukunya “Myth and Meaning” (Mitos dan Makna). Buku kumpulan ceramah Lévi-Strauss ini mengungkapkan sekaligus membuktikan bahwa “mitos sesungguhnya punya logika dan kerumitannya sendiri yang baru bisa dibongkar justeru oleh sains modern”. Sebagai antropolog, Lévi-Strauss meneliti dan menelusuri kebudayaan-kebudayaan primitif, sekaligus meruntut kembali struktur yang membentuknya.

Selama ini kita menjauhi dan membelakangi peninggalan-peningalan kebudayaan primitif berupa mitos. Mitos seolah-olah hilang dari diri kita. Kita sudah beranjak jauh meninggalkan mitologi dan beralih pada pemikiran saintifik. Mitos dianggap tidak produktif dan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan, tuntutan dan kebutuhan manusia modern. Mitos sudah dimasukkan ke dalam museum kebudayaan layaknya barang antik. Padahal, menurut Lévi-Strauss, saat ini mitos kian mencoba mengintegrasikan dalam lingkup penjelasan saintifik.

Lévi-Strauss mengidentifikasi bahwa perpisahan riil antara mitos dan pemikiran saintifik mulai terjadi pada abad 17-18. Sebagai pioneer-nya adalah Bacon, Descartes, Newton, dll. Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan tokoh-tokoh ini mencoba melawan pemikiran-pemikiran mitis dan mistis, dan menganggap bahwa sains hanya bisa eksis dengan membelakangi jagat inderawi; dunia yang kita lihat, bau cercap, dan cerap. Indera adalah dunia yang delusif, sedangkan dunia nyata adalah dunia dengan ciri matematis yang hanya bisa ditangkap oleh akal dan yang sama sekali bertentangan dengan testimoni palsu indera. [hal. 4]

Tetapi sekarang, ketika lompatan sains semakin jauh, ada kecenderungan bahwa sains kian mendekati kesenjangan itu. Banyak data-data inderawi yang diintegrasikan kembali kedalam penjelasan ilmiah sebagai sesuatu yang mempunyai makna, punya “kebenaran”, dan bisa dijelaskan. Sebagai contoh adalah dunia pembauan. Kini ahli kimia bisa memberitahukan kepada kita bahwa setiap bau atau setiap rasa punya komposisi kimiawi tertentu. Mereka memberikan alasan mengapa secara subjektif beberapa rasa atau bau terasa ada kesamaannya bagi kita dan beberapa lainnya terlihat sangat jauh.

Kita bisa melihat bahwa sesuatu yang sebelumnya ditolak sains secara berangsur-angsur mulai mendekati/bisa dijelaskan oleh sains itu sendiri, seperti yang kita lihat pada contoh di atas. Begitupun halnya dengan pemikiran mitis atau mistis. Lama-kelamaan misteri yang terkandung di dalam pemikiran mitologis akan terkuak berkat pemikiran saintifik.

Memang, selama ini kita sudah ketelanjur mengatakan bahwa cara berpikir orang-orang primitif sebagai model pemikiran berkualitas rendah atau suatu jenis pemikiran yang secara fundamental berbeda. Malinowski, misalnya, mengatakan bahwa pemikiran orang-orang primitif sangat ditentukan oleh kebutuhan mereka pada saat itu. Sedangkan Levy-Bruhl menganggap bahwa perbedaan antara pemikiran primitif dengan pemikiran modern adalah bahwa yang pertama sepenuhnya ditentukan oleh emosi dan representasi-representasi mistik.

Anggapan-anggapan di atas ditolak oleh Lévi-Strauss. Sebetulnya Lévi-Strauss sendiri enggan menggunakan kata “primitif”. Ia lebih suka menyebutnya “nir aksara”. Perbedaan dalam penggunaan istilah jelas akan memengaruhi citra yang ditampakkan. Kata “primitif” akan berimplikasi merendahkan daripada kata “nir aksara”. Menurutnya, bahwa pemikiran-pemikiran primitif pada satu sisi tidak harus terkait dengan kebutuhan, dan pada sisi yang lain bisa bersifat intelektual. Artinya, pemikiran-pemikiran primitif tidak harus muncul karena didorong kebutuhan dasar mereka, seperti menghindari kelaparan, berjuang demi untuk bertahan hidup ditengah kekutan alam yang begitu dahsyat. Orang-orang “nir aksara” juga memiliki hasrat untuk memahami dunia seputar mereka, alam dan masyarakatnya. Dan untuk mencapai tujuan-tujuan itu dibutuhkan kerja intelektual.

Menurut Lévi-Strauss, perbedaan mendasar antara pemikiran primitif dengan pemikiran saintifik terletak pada prosedur dan tujuan pemikiran yang dihaslkan keduanya. Yang pertama cenderung bertujuan mencapai sesingkat mungkin untuk memperoleh pemahaman umum tentang alam semesta. Pemikiran primitif berambisi totalitas dalam mengetahui sesuatu. Ini sangat berbeda dengan pemikiran saintifik yang berproses setapak demi setapak, mencoba memberikan penjelasan pada fenomena secara terbatas, lantas memasuki fenomena yang lain dan seterusnya. Sehingga hasil yang diperoleh pun berbeda. lewat penalaran saintifik kita mampu menundukkan alam, memberikan banyak daya material kepada manusia. Sedangkan mitos hanya mampu memberikan manusia sebuah ilusi bahwa ia bisa memahami semesta dan sungguh-sungguh memahaminya, meskipun hanya ilusi.

Kendatipun secara fundamental kedua model pemikiran itu berbeda, namun bukan berarti bahwa kapasitas mental yang dimiliki orang-orang nir aksara dan modern berbeda. Setiap orang, kata Lévi-Strauss, memiliki kadar mental yang sama. Hanya penggunaannya saja yang berbeda. Orang-orang nir aksara punya pengetahuan yang luar biasa ihwal lingkungan mereka dan segenap sumber dayanya. Ini tidak dimilii oleh kita. Tetapi sekarang kita bisa mengendarai mobil, menonton televisi atau mendengarkan radio yang tentunya tidak dimiliki oleh masyarakat nir aksara. Karena itu, semua kembali pada penggunaan dan latihan kapasitas mental. Kalau saja orang-orang nir aksara memiliki tuntutan dan kebutuhan yang sama dengan kita niscaya mereka juga akan sama dengan kita. Hanya saja kebutuhan mereka berbeda sehingga kapasitas mental yang digunakannya pun berbeda.

Yang perlu kita waspadai sekarang adalah menjalarnya penyakit yang oleh Lévi-Strauss dinamakan “over komunikasi”, yakni sebuah penyakit keingintahuan secara pasti budaya apa saja yang ada di dunia lain sembari mengkonsumsi budaya itu secara mentah-mentah. Sehingga masyarakat yang terjangkit penyakit ini akan kehilangan orisinilitas budayanya. Padahal, menurut Lévi-Strauss, agar semua budaya benar-benar menjadi dirinya sendiri dan menghasilkan sesuatu, maka budaya tersebut dan anggotanya harus yakin akan orisinilitasnya, bahkan sampai taraf tertentu, akan superioritasnya di atas yang lain.

Perkawinan Mitos dan Pemikiran Saintifik
Nah, sekarang kita beralih pada korelasi antara mitos dan saintifik. Dalam buku ini, Lévi-Strauss mencomot sebuah mitos Kanada Barat tentang ikan pari yang berhasil menaklukkan atau mendominasi Angin Selatan. Konon, kisah ini terjadi sebelum ada manusia di muka bumi ini. Pada masa itu antara manusia dan hewan tidak sepenuhnya berbeda. Makhluk hidup adalah separuh hewan dan separuhnya lagi manusia; “menusia-hewan”. Saat itu manusia-hewan sangat terganggu oleh kehadiran angin yang selalu berhembus setiap hari. Sehingga mereka tidak bisa beraktivitas seperti mencari makan, memancing ikan, dll. Dalam kondisi seperti ini ikan pari turut andil. ia menangkap angin dan berjanji untuk tidak melepaskannya sebelum angin itu berjanji untuk tidak berhembus sepanjang hari. Angin menuruti permintaan ikan pari, sehingga ia hanya berhembus pada waktu-waktu tertentu saja dan dalam waktu senggang itu hewan-manusia bisa menjalankan aktivitasnya tanpa ada hambatan dari angin.

Dari sudut pandang logika saintifik, mitos di atas jelas-jelas absurd, tidak masuk akal, dan hanya ilusi belaka. Tetapi kita tidak hendak memakan mentah-mentah makna mitos itu. Mari kita telusuri bahan-bahan yang digunakan dalam mitos itu. Mengapa ikan pari? Dan mengapa angin selatan? Ada dua karakteristik yang dimiliki ikan pari. Pertama, ia adalah ikan sebagaimana ikan-ikan ceper lainnya. Ia memiliki perut licin dan punggung kasar. Kedua, yang memungkinkan pari lolos saat berkelahi dengan hewan lainnya adalah tubuhnya sangat lebar bila dipandang dari atas atau bawah, dan luar biasa tipis ketika dipandang dari samping. Dan ketika busur panah dibidikkan persis ke arahnya, seketika itu pari menggelesot dan yang tampil hanya profilnya saja.

Maka, sebagai alasan mengapa harus ikan pari yang digunakan dalam mitos ini adalah bahwa hewan ini mampu memberikan jawaban “ya” atau “tidak”, seperti yang biasa digunakan dalam istilah sibernetika. Ikan pari mampu berada dalam posisi berseberangan; negatif dan positif. Manfaat yang dibubuhkan dalam mitos ini sama seperti unsur-unsur dalam komputer modern yang biasa digunakan untuk memecahkan permasalahn sulit dengan menambahkan serangkaian jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Kendatipun dari sudut pandang empiris bahwa ikan pari bisa menundukkan angin jelas-jelas mustahil. Tetapi, kata Lévi-Strauss, dari sudut pandang logis, kita bisa memahami mengapa imaji-imaji yang dipinjam dari pengalaman itu bisa dimanfaatkan. Ikan ini bertindak sebagai “operator biner” yang mempunyai hubungan dengan problematika yang juga problematika biner. Jika saban hari angin berhembus niscaya manusia tidak akan bisa menjalankan aktivitasnya. Namun jika ia berhembus dua kali dalam sehari---“ya” dalam sehari, “tidak” pada hari kemudian---maka dimungkinkan ada kompromi antara kebutuhan manusia dan kondisi alam yang dihadapinya. [hal 21-22]

Secara harfiah kisah itu tidak mungkin ada. Tetapi, kita bisa memaknai mitos itu bukan dalam arti harfiahnya. Setidaknya ada keterkaitan erat antara ikan pari dan masalah yang berusaha dipecahkan oleh mitos ini. Misteri yang terbungkus dalam mitos ini baru bisa kita pecahkan setelah kita memasuki era sibernetika dan komputer yang memberikan kita pemahaman tentang operasi biner. Maka, sebetulnya tidak ada perceraian antara pemikiran mitis dengan pemikiran saintifik. Perbedaannya hanya pada soal waktu.

Dalam bab “Bibir Sumbing dan Anak Kembar: Mitos Terbelah Dua”, Lévi-Strauss juga mencoba mencari keterkaitan antara mitos bibir sumbing, anak kembar, dan anak yang lahir sungsang [lahir kaki terlebih dahulu]. Setelah Lévi-Strauss meneliti pelbagai mitos yang tersebar di kalangan masyarakat nir aksara, ternyata ada semacam keserupaan antara bibir sumbing, anak kembar, dan orang yang lahir sungsang. Untuk itu, mari kita bandingkan beberapa mitos yang berkembang di Benua Amerika.

Diantara suku Tupinamba (Indian kuno, pesisir Brazil), sama persis yang ada pada kalangan Indian Peru, ada sebuah mitos seorang wanita yang digoda oleh lelaki miskin dengan cara licik. Wanita itu melahirkan anak kembar; yang satu dari benih lelaki miskin, dan satunya lagi dari benih suaminya yang sah. Karena berasal dari benih yang berbeda, sifat kedua anak kembaran itupun berbeda; yang satu pemberani, satunya lagi pengecut; yang satu pelindung kaum Indian, satunya lagi pelindung kulit putih, dan seterusnya.

Mitos serupa berkembang di kalangan suku Kootenay yang tinggal di Pegunungan Rocky, Kanada. Cuma kembaran dalam versi ini terlahir dari satu benih, yang satu jadi mentari, sedangkan satunya lagi jadi rembulan. Sedangkan mitos yang berkembang di antara orang Indian British Columbia dari rumpun linguistik Salish (suku Indian Thomson dan Okanaga) adalah ada dua perempuan kakak-beradik yang keduanya sama-sama dikelabui oleh dua lelaki yang berbeda. Masing-masing melahirkan anak laki-laki. Kedua anak ini tidak kembar karena lahir dari ibu yang berbeda. Namun, karena dilahirkan dalam situasi yang sama, setidaknya dari sudut pandang moral dan psikologis, sehingga setara dengan anak kembar.

Dari sekian mitos-mitos yang disebutkan tadi, kesemuanya akan menuju pada ending yang sama. Anak kembar atau yang diyakini kembar, seperti dalam versi Kootenay, akan mengalami petualangan dan sifat-sifat berbeda yang nantinya akan membelah sisi kembar mereka. Dan perbedaan antara dua pribadi yang awalnya dihadirkan sebagai kembaran ini, entah benar-benar kembar atau ekuivalen dengan kembar, adalah ciri dasar seluruh mitos yang berkembang di benua Amerika.

Anak kembar juga sering diidentikkan dengan orang yang berbibir sumbing dan yang lahir sungsang. Dalam mitos versi Salish, yang sebagian sudah disebutkan di atas, bahwa ada dua perempuan bersaudara yang mencari suami. Neneknya memberitahukan bahwa mereka akan menemukan suaminya dengan ciri-ciri tertentu. Namun, ditengah perjalanan kedua perempuan tadi bertemu dengan dua Penyaru yang mengakui sebagai suaminya. Sehingga mereka berdua menghabiskan malam bersama dengan kedua Penyaru tadi yang sebetulnya bukan suaminya. Pada akhirnya masing-masing melahirkan anak lelaki.

Keesokan harinya, sang kakak dari kedua perempuan naas itu pulang dan menemui neneknya. Sang nenek adalah seekor kambing gunung sekaligus seorang penyihir. Neneknya tahu bahwa cucuknya akan datang, sehingga dia menyuruh seekor terwelu untuk menyambut kedatangan sang gadis. Terwelu sembunyi di bawah sebuah batang pohon yang tumbang di tengah jalan. Ketika sang gadis mengangkat kaki untuk menyeberangi kayu tadi, terwelu itu melihat kemaluan sang gadis dan melontarkan sejenis gurauan yang tidak pantas. Sang gadis marah dan memukul terwelu tadi dengan galah sehingga hidungnya robek. Itu sebabnya kelinci atau terwelu memiliki hidung dan bibir agak terbeleh, yang pada manusia disebut sumbing. Dengan kata lain, bahwa gadis telah membelah tubuh hewan itu. Sehingga bila pembelahan itu sampai selesai maka akan mengubah hewan itu menjadi kembar.

Selanjutnya ada juga mitos yang berkembang di Indian Kwakiutl, kepulauan Vancouver. Mitos ini bercerita tentang gadis cilik yang dibenci semua orang karena bibirnya sumbing. Suatu ketika muncul wanita kanibal supranatural dan menculik semua anak-anak termasuk gadis cilik berbibir sumbing. Anak-anak itu dimasukkan ke dalam keranjang untuk dibawa pulang dan dimakan. Si gadis cilik berbibir sumbing berada di posisi paling bawah dan berhasil membelah keranjang dengan kerang yang ia kumpulkan di pantai. Gadis sumbing itulah yang pertama kali kabur. Dia keluar kaki terlebih dahulu.

Posisi gadis sumbing ini cukup simetris dengan posisi terwelu dalam mitos yang tadi disebutkan---meringgkuk di bawah si gadis saat sembunyi di bawah batang kayu. Dalam hal ini terwelu tersebut berada dalam posisi yang sama persis seperti sedang terlahir dari si gadis dan yang keluar kaki terlebih dahulu. Jadi, kita bisa melihat bahwa dalam semua mitologi ini ada kaitan aktual antara anak kembar di satu sisi dengan lahir sungsang atau posisi-posisi yang secara metaforis identik dengannya disis lain. Hal ini jelas menjernihkan kaitan awal kita tadi tentang hubungan antara anak kembar, orang yang lahir sungsang, dan orang yang berbibir sumbing.

Dan dalam proses kelahiran pun, ada kaitan erat antara anak kembar dan yang lahir sungsang. Dalam rahim sang ibu, anak kembar seakan-akan bertarung siapa diantara mereka yang akan lahir terlebih dahulu. Keduanya saling beradu cepat, dan tidak jarang salah satunya mengambil jalan pintas dengan merobek perut ibu (operasi caesar, misalnya). Maka, baik anak kembar maupun kehamilan sungsang merupakan tanda persalinan berbahaya. Begitu pun halnya dengan terwelu [yang dalam hal ini sering diidentikkan dengan anak kembar]. Dalam semua mitologi yang berkembang di Amerika, terwelu dianggap sebagai dewa yang memiliki watak ambigu: a) sesosok dewa tunggal yang murah hati pada manusia; dan b) kembaran, yang satu baik dan satunya jahat.

Pada bab 4 [empat], Lévi-Strauss menjelaskan proses transformasi mitos menjadi sejarah, dan pada tataran tertentu justeru sejarah telah menggantikan peranan dan fungsi mitos.

Seperti yang dikatakan Lévi-Strauss dalam buku ini bahwa bahan-bahan mitologi yang berkembang di seluruh penjuru dunia mengambil dua bentuk. Pertama, berupa cerita yang utuh dan koheren. Dan kedua, berupa penggalan-penggalan cerita yang tidak bersambung. Keduanya memiliki makna yang berbeda: yang pertama merupakan kondisi primitif [kondisi awal], sedangkan yang kedua sudah mengalami keretakan atau disorganisasi. Atau sebaliknya, yang tak bersambung merupakan kondisi awal, kemudian diurutkan oleh orang-orang cerdik dan pandai.

Bahan-bahan mitologi yang sampai kepada kita adakalanya disusun oleh orang sendiri [pribumi] dan adakalnya disusun oleh orang luar [antropolog]. dan belakangan keduanya menjadi sejarah, sejarah tanpa arsip, tak ada dokumen-dokumen tertulis, hanya tradisi lisan yang kemudian diklaim sebagai sejarah.

Lantas, apakah ada perbedaan bahan mitologi yang disampaikan orang luar dan orang dalam? Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa setiap klan atau kelompok memiliki sejarah [mitos], tujuan dan watak yang berbeda-beda. Dan terkadang data-data yang dikumpulkan antropolog justeru menyesatkan. Mereka membuat semacam gado-gado yang disusun dari tradisi dan kepercayaan milik banyak kelompok sosial yang berbeda-beda.

Dan pada akhir buku ini dijelaskan titk kesamaan antara mitos dan musik. Sebagai bagian dari kebudayaan modern, musik memiliki kesamaan dengan mitos, baik dari sisi similaritas maupun kontiguitas. Dari aspek semiliritas, keduanya tidak bisa dipahami kecuali secara totalitas. Memahami musik tidak seperti membaca buku, novel ataupun berita dalam koran; yakni dari atas ke bawah, kiri ke kanan, dari paragraf ke paragraf yang lain. Makna musik akan bisa didapatkan setelah kita mendengarkan secara totalitas dan utuh. Demikian pula dengan mitos. Mustahil kita memahami mitos sebagai sekuens yang runut. Makna mitos hanya akan bisa kita temukan pada bundelan peristiwa, sekalipun peristiwa-peristiwa itu tampil pada saat yang berbeda-beda.


***

Yang jelas, Lévi-Strauss tidak hendak mengajak kita untuk mundur kebelakang, mempercayai kembali mitos-mitos warisan peradaban nir aksara. Lévi-Strauss hanya ingin membuktikan bahwa mitos, dalam aras tertentu, memiliki nilai “kebenaran”. Dan justeru “kebenaran” mitos bisa diungkapkan ketika pemikiran saintifik memperoleh kematangannya. Secara tidak langsung, Lévi-Strauss hendak menggugat “mitos” yang diusung pemikiran positivistik yang menganggap bahwa “kebenaran” hanya bisa bermakna apabila sesuai dengan pengamatan-pengamatan secara empiris [observasi]. Padahal tidak demikian, kata Lévi-Strauss, bahwa “kebenaran” memiliki masanya sendiri-sendiri, diproduksi oleh zamannya, dan bagian dari kebudayaan pada saat itu.

Sebagai penganut setrukturalis, Lévi-Strauss banyak dipengaruhi oleh Ferdinan de Saussure, seorang pakar bahasa dan semiotika. Lévi-Strauss memandang mitos sebagai teks atau sistem tanda yang menghasilkan makna. Makna-makna itu ditemukan lewat susunan simbolik antara petanda dan penanda. Artinya, bahwa makna [petanda] yang direpresentasikan mitos [penanda] tidak harus merujuk pada realitas.

Yang menarik dari buku ini adalah ajakannya untuk memikirkan kembali sesuatu yang terkadang sudah kita tinggalkan dan kita lupakan, memaknai kembali sesuatu yang selama ini sudah kita anggap tidak bermakna lagi. Saya menangkap dari buku ini berupa ajakan Lévi-Strauss untuk tidak terpaku pada satu sistem pemikiran. Karena kalau kita hanya terpaku pada satu sistem maka jangan harap kita akan menemukan makna yang utuh dan holistik. Lévi-Strauss juga berusaha untuk merangkai dan mencari keteraturan dibalik penampakan yang semerawut dan tidak beraturan. Ia mengaitkan satu fenomena dengan fenomena yang lain, dan berusaha mencari titik temunya. Dan lepas dari kekurangan yang terdapat pada buku ini, buku ini layak untuk dibaca terutama bagi mereka yang terlalu “mendewakan” satu sistem pemikiran.

Tidak ada komentar: