Selasa, 25 September 2007

Descartes dan al-Ghazali






Oleh Jamaluddin Mohammad

Salah satu diktum yang menandai awal modernitas adalah perkataan Descartes yang terkenal: ‘Cogito Ergo Sum’, Aku Berpikir maka Aku Ada. Descartes mengandaikan subjek yang mandiri, bebas, dan sekaligus sebagai ‘pusat ada’. Kesadaran, dalam filsafat Descartes, menempati posisi segala-galanya.

Pintu masuk untuk memahami filsafat Descartes adalah ‘ragu-ragu’, skeptisisme radikal. Untuk mendapatkan pengetahuan sejati, kata Descartes, kita harus meragukan semuanya, tidak ada satupun yang tersisa kecuali kita yang meragukan.

Oleh karena itu, kita harus ‘meruntuhkan’ segenap pengetahuan yang kita miliki, termasuk ‘mencurigai’ semua ‘kebenaran’ yang kita terima sedari kecil. Dengan ini, kata Descartes, kita akan mendapatkan pengetahuan absolut. Pengetahuan absolut/kebenaran sejati hanya didapatkan setelah lolos dari ujian ‘keragua-raguan’ itu.

Pendapat serupa dapat kita temukan dalam pernyataan al-Ghazali. Menurut ‘pendekar’ kaum Sunni ini, ‘jangan pernah menerima ‘kebenaran’, kecuali ia betul-betul tampak dengan jelas, tanpa menyisahkan keraguan di dalamnya, dan tidak mengandung kemungkinan salah atau prasangka’ (yankasyifu fihi al-ma’lum inkisyafan la yabqa ma’ahu raibun, wala yuqarinuhu imkanu alghalat wa al-wahm).

Zakaria Basyir Imam dalam buku ‘Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah’ berhasil menemukan persamaan kriteria al-Ghazali dan Descartes dalam menguji dan memverifikasi ‘kebenaran’. Menurutnya, setelah membandingkan dengan tulisan Descartes dalam ‘A Discourse on the Method’, ia menemukan 4 prinsip filsafat Descartes yang memiliki kemiripan dengan cara-cara al-Ghazali dalam menggali kebenaran (Zakaria Basyir Imam, Tarikh al-falsafah al-Islam, [Khortum: Al-Dar Al-Saudanoyah, 1998] h. 291-292).

(1) sesuatu tidak disebut sebagai ‘kebenaran’ kecuali dapat diterima akal, dan tidak mengandung keragu-raguan sedikitpun.
(2) mulailah dengan ‘kebenaran’ (aksioma/proposisi/premis) yang paling sederhana, selanjutnya melangkah pada aksioma yang kompleks.
(3) jangan pernah menerima ‘kebenaran’, kecuali setelah melalui eksperimen dan observasi (al-tamhis wa al-tafkir al-naqdi).
(4) terbuka terhadap segala pendapat, teori, dan pemikiran; tidak terjebak hanya pada satu teori atau pemikiran (fanatik); tidak membuang atau mengindahkan pendapat atau teori orang lain, sebelum kemudian melakukan pengujian, pembagian, dan pemilahan.

Al-Ghazali dan Descartes sepakat bahwa pengetahuan sejati (al-ilmu al-hakiki) adalah pengetahuan absolut (al-ilmu al-yaqini; absolutely certain knowtedge). Untuk mencapai pengetahuan absolut, otomatis harus dilakukan pengujian, penelitian, pemilahan, pembagian, dan seterusnya, sampai betul-betul ditemukan keyakinan dan kepastian.

Sebagai metodenya, Descartes menggunakan metode kesangsian (le doute methodique). Kesangsian itu harus berangkat dari dalam diri sendiri, bukan datang atau berasal dari luar, seperti Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka,dll. Artinya, Descartes menggunakan ‘kesangsian’ sebagai pintu masuk untuk mendapatkan kebenaran absolut. Kesangsian bukanlah sebuah tujuan, melainkan alat yang digunakan untuk sampai pada tujuan. Intinya adalah pada kesadaran (Budi Hardiman, Filsafat Modern, 2004/39).

Menurut saya, walaupun tidak persis-persis amat, al-Ghazali juga berangkat dari skeptisisme kendatipun pada akhirnya beliau menemukan puncak pemikiran dan metode filsafatnya. Ini bisa dilihat dari pengakuan al-Ghazali di dalam ‘al-Munqidz min al-Dhalal’:

“... akhirnya aku sampai pada puncak keraguan. Aku tidak menemukan rasa aman terhadap mahsusat. Dalam keraguan itu aku bertanya pada diri sendiri: atas dasar apa aku percaya pada mahsusat? Sebut saja indra penglihatan; saat kita melihat bayangan sesuatu, seolah bayangan itu tidak bergerak. Ia sedikitpun tidak bergeming dari tempatnya. Padahal, kalau kita teliti secara mendalam, dan membiarkan mata kita terus tertuju pada bayangan itu, kita akan mendapati bayangan itu sebetulnya bergerak, tetapi tidak spontan. Ia secara perlahan-lahan bergeser meninggalkan tempatnya semula.

Atau mata kita melihat bintang di atas langit. Dalam penangkapan mata kita, bintang itu terlihat sangat kecil sekecil uang logam. Padahal, menurut perhitungan ilmu ukur/geometri, bisa saja ukuran bintang itu sebetulnya lebih besar dari bumi.

Ini adalah realitas yang disuguhkan mahsusat. Ia menghukumi berdasarkan hukumnya sendiri. Tentu saja akan berbeda dengan hukum akal. Bahkan hukum akal pasti akan mencela dan menganggapnya bohong. Pada akhirnya, kepercayaanku terhadap mahsusat berangsur-angsur runtuh. Aku beralih pada akal. Akal menginformasikan bahwa bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan tiga; nafy dan itsbat, hadits dan qadim, ada dan tiada, tidak mungkin bertemu dalam waktu dan kesempatan yang sama dan bersamaan.

Begitulah cara akal menghukumi sesuatu. Namun, adakah hukum
lain yang akan membantah dan meruntuhkan hukum akal? Aku menemukan jawabannya melalui pengalaman mimipi. Ketika kita bermimpi, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) di luar kenyataan indrawi.

Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar/ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Karena akal maupun indra tidak mampu memahaminya. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah. (untuk lebih jelas baca: al-Munqidz min al-Dhalal, hal. 27)”


Di sini al-Ghazali menemukan puncak filsafatnya setelah melewati masa-masa hairah (skeptisisme). Hanya saja setelah melampaui masa-masa kritis itu, al-Ghazali berhasil menemukan metodenya sendiri, selain empirisme dan rasionalisme, yakni metode intuitif (mukasyafah). Sementara Descartes menjadikan sekeptisismenya itu sebagai metode dalam menemukan ‘kebenaran absolut’

Menurut al-Ghazali, untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita jangan mudah percaya dengan segala pengetahuan yang sampai kepada kita, baik yang berasal dari pengalaman maupun akal. Karena itu, al-Ghazali sangat meragukan pengetahuan empirisme maupun rasionalisme. Sebab keduaanya, menurut al-Ghazali, sama-sama tidak mendatangkan ‘pengetahuan sejati’ (ilm al-yaqini) sehingga tidak mungkin akan sampai pada ‘kebenaran absolut’ (haqiqah al-umur).

‘Secercah cahaya kebenaran hanya akan memancar dari intuisi’, kata al-Ghazali. Di sinilah letak perbedaannya dengan Descartes. Kalau Descartes keragu-raguan itu berakhir pada akal (rasionalitas), sementara al-Ghazali pada intuisi. Pengetahuan intuitif (mukasyafah), kata al-Ghazali, ibarat cahaya yang memancar dari hati yang bersih sehingga tersibaklah segala pengetahuan. Ia semacam ilham atau wahyu yang datang dengan sendirinya tanpa campur tangan akal maupun pengalaman. Di sinilah persamaan dan perbedaan antara al-Ghazali dan Descartes (al-Ghazali, Ihya ulum al-Dien, 31/vol 1)

Tulisan ini bukan berarti ingin membanding-bandingkan al-Ghazali dan Descartes. Sebab, baik dari segi waktu, tradisi maupun lingkungan intelektual, kedua tokoh besar ini jelas-jelas berbeda. Al-Ghazali setengah abad (sekitar 539 tahun) lebih tua dari Descartes. Disamping itu, keduanya dilahirkan dari dua peradaban besar yang berbeda. Al-Ghazali Timur, sedangkan Descartes Barat; al-Ghazali tokoh sufi dan tidak begitu suka dengan filsafat (?), sementara Descartes adalah seorang filsuf yang sangat mengangungkan rasionalitas, menolak intusi (kemungkinan besar anti tasawuf [?]).

Disamping itu, menurut A. Hanafi dalam bukunya ‘pengantar Filsafat Islam’, mengatakan bahwa metode skeptisisme Descartes lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: terpengaruh terhadap konsep idea plato, ketidakpercayaannya terhadap mitos-mitos dan pengetahuan yang dihasilkan gereja pada waktu itu, dan berdasarkan pengalaman bahwa panca indara memiliki kelemahan untuk mendapatkan pengetahuan sejati.

Di antara perbedaan yang lain, Descartes dipandang sebagai ‘pahlawan’ yang telah membuka filsafat modern, sedangkan al-Ghazali dituduh sebagai ‘pecundang’ yang telah membunuh filsafat sebelum dan sesudahnya. Benarkan demikian? Untuk mengujinya kita harus mengkaji kedua tokoh ini secara tuntas, proporsional, jujur, dan lepas dari prasangka-prasangka apapun. Yang jelas kedua tokoh ini memiliki jasa besar menyumbangkan gagasan dan pemikirannya untuk generasi-generasi setelahnya.

ِAl-Ghazali adalah ikon dunia Timur saat ini, yang terlalu akrab dan lebih menonjolkan spiritualitas dan mistisisme. Sebaliknya, Descartes juga mewakili dunia Barat yang terlalu mendewa-dewakan rasionalitas dan materialitas. Ini yang menjadikan Timur dan Barat mengalami kesenjangan yang cukup tajam, bahkan saling berbenturan. Karena itu, untuk mengurangi kesenjangan itu, salah satu caranya adalah dengan mengawinkan keduanya, rasionalitas dan spiritualitas, sembari mengenyampingkan perbedaan-perbedaan yang ada.

Dan yang tidak boleh kita lupakan adalah, bahwa al-Ghazali dan Descartes memiliki watak dan karakteristik yang sama, yakni ‘kritis’. Kritisisme inilah yang harus kita ikuti dan miliki sebagai wujud apresiasi terhadap jasa besar kedua tokoh kaliber dunia ini. Wallahu a’lam bi sawab

1 komentar:

SAPERE AUDE mengatakan...

Anda keliru menggolongkan Descartes dalam "Skeptisisme radikal". Descartes berbeda dengan para skeptisis. menurut hemat saya Descartes menyampaikan pemikirannya mengnai keraguan pada tingkat metodis bukan pada pemikiran filosofis. senang membaca blog anda. tHANKS