Oleh Jamaluddin Mohammad
Agar semua budaya benar-benar menjadi dirinya sendiri dan menghasilkan sesuatu, maka budaya tersebut dan anggotanya harus yakin akan orisinilitasnya, bahkan sampai taraf tertentu, akan superioritasnya di atas yang lain.
(Claude Lévi-Strauss)
Di tengah derasnya arus globalisasi yang menggerus budaya-budaya lokal, tantangan yang nyata dan sesungguhnya adalah bagaimana kita harus menyelamatkan identitas kebudayaan kita yang secara berangsur-angsur mulai tercerabut dari akarnya. Kita dihadapkan pada “krisis kebudayaan” yang kemudian disusul dengan krisis-krisis yang lain.
Pendidikan, sebagai pilar dan pondasi kebudayaan, kini sudah kehilangan fungsi fundamentalnya. Tugas serta fungsi pendidikan yang seharusnya melakukan kerja-kerja kebudayaan, mencipta dan mengisi kehidupan, malah tenggelam dan larut dalam tuntutan globalisasi yang memapankan budaya kapitalistik.
Salah satu sifat buruk kapitalisme adalah wataknya yang eksploitatif. Ini tidak hanya berlaku bagi majikan terhadap buruh, juga berlaku bagi institusi pendidikan terhadap siswa-siswanya. Hal ini bisa dilihat dari mahalnya biaya pendidikan, kurikulum-kurikulum pendidikan yang dipaksakan, dan orientasi dunia pendidikan yang hanya menyiapkan “buruh-buruh” baru untuk dipekerjakan pada lahan-lahan tertentu. Sehingga, untuk mengukur seberapa jauh kualitas pendididkan sekarang, kita melihat dari sejauh mana ia dapat menciptakan pekerja-pekerja yang handal dan memiliki kemampuan dan keterampilan dibidang-bidang tertentu.
Para siswa sudah dikapling-kapling oleh silabi yang menjadi konsumsi mereka sehari-hari. Sehingga watak pendidikan kita tidak lagi membebaskan. Pendidikan hanya menjadikan kita terasing dari dunia kita sendiri. Kita dituntut untuk mengikuti budaya global yang menyeragamkan segala tingkah laku, pola pikir, pengetahuan, dan kebutuhan manusia. Ini sebetulnya cikal-bakal krisis kebudayaan kita.
Krisis kebudayaan berurat-berakar pada krisis identitas. Kita sebetulnya tidak memiliki identitas yang jelas semenjak kolonialisme-imperialisme menginjakkan kaki di negara kita. Kolonialisme-imperialisme dalam bentuk fisik memang sudah terkubur dalam kubangan sejarah. Namun, jejak-jejaknya masih bisa kita rasakan sampai sekarang, dan itu masuk dalam alam bawah sadar kita.
Bahkan, kalu kita mau jujur, kolonialime-imperialisme sebetulnya masih berlanjut sampai sekarang melalui penaklukan pikiran, budaya, ekonomi, bahkan politik. Dan justeru bahaya paling serius yang dihadapi bangsa-bangsa saat ini adalah imperialisme kultural yang tengah berlangsung sampai sekarang itu. Imperialisme kultural, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi atas kebudayaannya sendiri, sehingga kita tercerabut dari akarnya. (Shimogaki, 2004:98)
Neo kolonialisme-imperialisme itu kemudian menemukan momentumnya dalam dunia pendidikan yang merangkum ide-ide modernisme, liberalisme dan pencerahan. Pusat orbitnya memancar dari pusat ke pinggiran. Semakin kita mendekati titik orbit, maka kita semakin modern dan maju. Artinya, kalau kita ingin maju maka harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pusat. Ini yang saya maksud dengan krisis identitas itu. Akibatnya, kita kehilangan kepercayaan diri prihal masa depan dan ide tentang kemajuan. Mentalitas kita sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga kita tidak mampu lagi mengenali jati diri yang sebenarnya. Subjek kita adalah subjek buatan yang dibentuk semenjak kita masuk bangku sekolah.
Pesantren: pendidikan multikulturalisme
Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren dituntut untuk tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, Pesantren [khususnya pesantren salaf] tidak harus melebur ke dalam arus globalisasi dan tuntutan-tuntutan modernitas. Biarkan ia menciptakan kebudayaannya sendiri yang memiliki dinamika, corak, ciri khas, dan paradigma “kemajuan” sendiri.
Identitas pesantren tidak bisa dinilai dan didefinisikan oleh “orang luar”, biarkan ia mendefinisikan identitasnya sendiri. Selama ini pesantren selalu “dipandang”, maka untuk saat ini dan seterusnya biarkan ia “balik memandang”. Pesantren adalah ciri pendidikan Indonesia yang bercorak keindonesiaan (indigenous). Ketika pesantren di-modern-kan dan kurikulumnya disesuaikan dengan pendidikan formal, indigenous pesantren akan hilang dan tidak memiliki nilai tawar lagi di mata dunia internasional. Akibatnya, kita tidak bisa membedakan: mana pendidikan pesantren dan pendidikan nonpesantren; pendidikan nonkapitalistik dan yang bercorak kapitalistik; produk “aseli Indonesia” dan “bikinan luar negeri”.
Selama ini “citra diri” pesantren dibentuk dan ditampilkan berdasarkan kesadaran “orang lain” itu. Pesantren diobjektivasi layaknya situs-situs peninggalan purba. Adanya kategori-kategori yang dilekatkan pada pesantren, seperti tradisional atau modern adalah contoh nyata hasil dari pembentukan “citra diri” itu. Pesantren dianggap “primitif”, terbelakang, dan masih akrab dengan mitos, tahayul, khurafat, dll (irasional), sehingga perlu dicerahkan dengan memasukkan keilmuan modern yang berpondasikan pada rasionalisme, empirisme, dan berbau positivisme. Dengan ini, pesantren akan mampu beradaptasi dengan modernitas sekaligus mampu bersaing dengan lembaga pendidikan modern.
Padahal, untuk saat ini kita butuh model pendidikan multikulturalisme, yakni pendidikan yang dihasilkan dari wacana lokal dan rasionalitas lokal yang selama ini sudah menjadi custom atau tradisi pesantren. Pesantren memiliki paradigma tersendiri tentang kemajuan. Bagi pesantren, kemajuan haruslah bertitik tolak dari tradisi agar tidak mengalami keterputusan sejarah. Salah satu prinsip yang dipegang pesantren sampai sekarang adalah: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah
Penutup
Di tengah maraknya tuntutan biaya pendidikan murah, pesantren sebetulnya sudah memulai melakukannya sedari awal terbentuknya lembaga ini. Namun, pendidikan murah saja tidak cukup tanpa disertai perubahan paradigma dan orientasi pendidikan. Sebab, selama ini paradigma “kemajuan” yang kita miliki bukan datang dari diri kita sendiri, melainkan berasal dari kebudayaan Barat. Mentalitas kita adalah mentalitas “budak” yang menuruti apa kata “majikan”. Kita tidak pernah memiliki inisiatif untuk “maju” dan “berubah” karena “kemajuan” dan “perubahan” itu milik “sang majikan”.
Orientasi pendidikan kita pun lebih berpihak pada pasar (market oriented). Pengetahuan dan keilmuan dipahami sebagai “komoditas” yang terus direproduksi demi kepentingan dan kemauan pasar. Ini adalah ciri pendidikan kapitalistik. Ciri seperti ini jamak kita temukan dalam setiap intitusi pendidikan dari mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dan sudah mulai merasuk ke institusi pendidikan pesantren (pesantren modern).
Satu-satunya cara untuk menyelamatkan krisis identitas kebudayaan kita, yang kemudian berujung pada melemahnya peran serta fungsi institusi pendidikan, adalah dengan kembali pada tradisi kita sendiri (wisdom lokal). Dengan bertitik tolak pada tradisi, minimal kita bisa menawarkan jalan tengah (the third way) antara globalisme dan tribalisme; universalisme dan lokalisme; totalisme dan partikularisme.
Kita harus yakin sekaligus bisa meyakinkan bahwa tradisi kita pun mampu melakukan perombakan, perubahan, dan perbaikan umat manusia. Maka, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, tugas pertama kita adalah melokalisasi Barat, mengembalikan pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos “mendunia”, yang selama ini dibangun melalui upaya menjadikan dirinya sebagai “pusat peradaban dunia” dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai “paradigma” kemajuan bagi bangsa-bangsa lain.
Agar semua budaya benar-benar menjadi dirinya sendiri dan menghasilkan sesuatu, maka budaya tersebut dan anggotanya harus yakin akan orisinilitasnya, bahkan sampai taraf tertentu, akan superioritasnya di atas yang lain.
(Claude Lévi-Strauss)
Di tengah derasnya arus globalisasi yang menggerus budaya-budaya lokal, tantangan yang nyata dan sesungguhnya adalah bagaimana kita harus menyelamatkan identitas kebudayaan kita yang secara berangsur-angsur mulai tercerabut dari akarnya. Kita dihadapkan pada “krisis kebudayaan” yang kemudian disusul dengan krisis-krisis yang lain.
Pendidikan, sebagai pilar dan pondasi kebudayaan, kini sudah kehilangan fungsi fundamentalnya. Tugas serta fungsi pendidikan yang seharusnya melakukan kerja-kerja kebudayaan, mencipta dan mengisi kehidupan, malah tenggelam dan larut dalam tuntutan globalisasi yang memapankan budaya kapitalistik.
Salah satu sifat buruk kapitalisme adalah wataknya yang eksploitatif. Ini tidak hanya berlaku bagi majikan terhadap buruh, juga berlaku bagi institusi pendidikan terhadap siswa-siswanya. Hal ini bisa dilihat dari mahalnya biaya pendidikan, kurikulum-kurikulum pendidikan yang dipaksakan, dan orientasi dunia pendidikan yang hanya menyiapkan “buruh-buruh” baru untuk dipekerjakan pada lahan-lahan tertentu. Sehingga, untuk mengukur seberapa jauh kualitas pendididkan sekarang, kita melihat dari sejauh mana ia dapat menciptakan pekerja-pekerja yang handal dan memiliki kemampuan dan keterampilan dibidang-bidang tertentu.
Para siswa sudah dikapling-kapling oleh silabi yang menjadi konsumsi mereka sehari-hari. Sehingga watak pendidikan kita tidak lagi membebaskan. Pendidikan hanya menjadikan kita terasing dari dunia kita sendiri. Kita dituntut untuk mengikuti budaya global yang menyeragamkan segala tingkah laku, pola pikir, pengetahuan, dan kebutuhan manusia. Ini sebetulnya cikal-bakal krisis kebudayaan kita.
Krisis kebudayaan berurat-berakar pada krisis identitas. Kita sebetulnya tidak memiliki identitas yang jelas semenjak kolonialisme-imperialisme menginjakkan kaki di negara kita. Kolonialisme-imperialisme dalam bentuk fisik memang sudah terkubur dalam kubangan sejarah. Namun, jejak-jejaknya masih bisa kita rasakan sampai sekarang, dan itu masuk dalam alam bawah sadar kita.
Bahkan, kalu kita mau jujur, kolonialime-imperialisme sebetulnya masih berlanjut sampai sekarang melalui penaklukan pikiran, budaya, ekonomi, bahkan politik. Dan justeru bahaya paling serius yang dihadapi bangsa-bangsa saat ini adalah imperialisme kultural yang tengah berlangsung sampai sekarang itu. Imperialisme kultural, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi atas kebudayaannya sendiri, sehingga kita tercerabut dari akarnya. (Shimogaki, 2004:98)
Neo kolonialisme-imperialisme itu kemudian menemukan momentumnya dalam dunia pendidikan yang merangkum ide-ide modernisme, liberalisme dan pencerahan. Pusat orbitnya memancar dari pusat ke pinggiran. Semakin kita mendekati titik orbit, maka kita semakin modern dan maju. Artinya, kalau kita ingin maju maka harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pusat. Ini yang saya maksud dengan krisis identitas itu. Akibatnya, kita kehilangan kepercayaan diri prihal masa depan dan ide tentang kemajuan. Mentalitas kita sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga kita tidak mampu lagi mengenali jati diri yang sebenarnya. Subjek kita adalah subjek buatan yang dibentuk semenjak kita masuk bangku sekolah.
Pesantren: pendidikan multikulturalisme
Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren dituntut untuk tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, Pesantren [khususnya pesantren salaf] tidak harus melebur ke dalam arus globalisasi dan tuntutan-tuntutan modernitas. Biarkan ia menciptakan kebudayaannya sendiri yang memiliki dinamika, corak, ciri khas, dan paradigma “kemajuan” sendiri.
Identitas pesantren tidak bisa dinilai dan didefinisikan oleh “orang luar”, biarkan ia mendefinisikan identitasnya sendiri. Selama ini pesantren selalu “dipandang”, maka untuk saat ini dan seterusnya biarkan ia “balik memandang”. Pesantren adalah ciri pendidikan Indonesia yang bercorak keindonesiaan (indigenous). Ketika pesantren di-modern-kan dan kurikulumnya disesuaikan dengan pendidikan formal, indigenous pesantren akan hilang dan tidak memiliki nilai tawar lagi di mata dunia internasional. Akibatnya, kita tidak bisa membedakan: mana pendidikan pesantren dan pendidikan nonpesantren; pendidikan nonkapitalistik dan yang bercorak kapitalistik; produk “aseli Indonesia” dan “bikinan luar negeri”.
Selama ini “citra diri” pesantren dibentuk dan ditampilkan berdasarkan kesadaran “orang lain” itu. Pesantren diobjektivasi layaknya situs-situs peninggalan purba. Adanya kategori-kategori yang dilekatkan pada pesantren, seperti tradisional atau modern adalah contoh nyata hasil dari pembentukan “citra diri” itu. Pesantren dianggap “primitif”, terbelakang, dan masih akrab dengan mitos, tahayul, khurafat, dll (irasional), sehingga perlu dicerahkan dengan memasukkan keilmuan modern yang berpondasikan pada rasionalisme, empirisme, dan berbau positivisme. Dengan ini, pesantren akan mampu beradaptasi dengan modernitas sekaligus mampu bersaing dengan lembaga pendidikan modern.
Padahal, untuk saat ini kita butuh model pendidikan multikulturalisme, yakni pendidikan yang dihasilkan dari wacana lokal dan rasionalitas lokal yang selama ini sudah menjadi custom atau tradisi pesantren. Pesantren memiliki paradigma tersendiri tentang kemajuan. Bagi pesantren, kemajuan haruslah bertitik tolak dari tradisi agar tidak mengalami keterputusan sejarah. Salah satu prinsip yang dipegang pesantren sampai sekarang adalah: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah
Penutup
Di tengah maraknya tuntutan biaya pendidikan murah, pesantren sebetulnya sudah memulai melakukannya sedari awal terbentuknya lembaga ini. Namun, pendidikan murah saja tidak cukup tanpa disertai perubahan paradigma dan orientasi pendidikan. Sebab, selama ini paradigma “kemajuan” yang kita miliki bukan datang dari diri kita sendiri, melainkan berasal dari kebudayaan Barat. Mentalitas kita adalah mentalitas “budak” yang menuruti apa kata “majikan”. Kita tidak pernah memiliki inisiatif untuk “maju” dan “berubah” karena “kemajuan” dan “perubahan” itu milik “sang majikan”.
Orientasi pendidikan kita pun lebih berpihak pada pasar (market oriented). Pengetahuan dan keilmuan dipahami sebagai “komoditas” yang terus direproduksi demi kepentingan dan kemauan pasar. Ini adalah ciri pendidikan kapitalistik. Ciri seperti ini jamak kita temukan dalam setiap intitusi pendidikan dari mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dan sudah mulai merasuk ke institusi pendidikan pesantren (pesantren modern).
Satu-satunya cara untuk menyelamatkan krisis identitas kebudayaan kita, yang kemudian berujung pada melemahnya peran serta fungsi institusi pendidikan, adalah dengan kembali pada tradisi kita sendiri (wisdom lokal). Dengan bertitik tolak pada tradisi, minimal kita bisa menawarkan jalan tengah (the third way) antara globalisme dan tribalisme; universalisme dan lokalisme; totalisme dan partikularisme.
Kita harus yakin sekaligus bisa meyakinkan bahwa tradisi kita pun mampu melakukan perombakan, perubahan, dan perbaikan umat manusia. Maka, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, tugas pertama kita adalah melokalisasi Barat, mengembalikan pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos “mendunia”, yang selama ini dibangun melalui upaya menjadikan dirinya sebagai “pusat peradaban dunia” dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai “paradigma” kemajuan bagi bangsa-bangsa lain.
Majalah LaDuni, No 01/April 2007
1 komentar:
Bagaimana dalam tataran praktis kalau Departemen Kebudayan itu bergaung dengan pesatren. Mestinya, pengusung kebudayaan dan yang mempertahankan budaya2 lama adalah pesantren. Sayangnya depbud sangat abai dalam hal ini...
sampean tulisane apik2. Saking pundi wih Mas Cerbone, pecile habib Muhammad tah?
Kula saking buntet, amit, bade gasab tulisan nggih kanggo meramaikan situs buntet. sederenge matur kesuhun.
Posting Komentar