Sesunggunhnya akan Kami (Allah SWT.) berikan cobaan kepada kalian semua dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yakni) Orang-orang yang ketika tertimpa oleh musibah maka akan berkata: “ Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya” (QS 2:155-156)
Masih mengendap dalam memori otak kita betapa gempa berkekuatan besar dan badai tsunami mengguncang, meluluhlantakkan dan menyapu bersih bangunan, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan yang ada di Aceh dan Sumatra Utara (26/30/’04). Kini, gempa bumi kembali mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah (27/05/'06). Dalam waktu sekejap, ratusan ribu nyawa melayang, bangunan-bangunan roboh dan hancur berkeping-keping.
Sebagai orang awam, saya tidak mengerti mengapa Tuhan menjatuhkan bencana alam kepada manusia? Kenapa harus bangsa Indonesia yang harus menanggung musibah ini? Dosa apalagi yang dilakukan bangsa ini sehingga Tuhan tega timpakan bencana yang maha dahsyat? Ataukah ini sebagai manifestasi dari Kasih dan Sayang-Nya? Aku semakin bingung dan tidak mengerti maksud-Mu, Tuhan!
Andai aku seperti Nabi Musa, mungkin aku akan langsung bertandang ke gunung Sinai, meminta jadwal pertemuan dengan Tuhan, lantas bertanya langsung kepada-Nya: “Kenapa Kau jatuhkan musibah ini, ya Rabb?”. Atau jika aku jadi Nabi Muhammad, aku akan minta di Mi’raj kan yang kedua kalinya, meminta klarifikasi dan menanyakan kepada-Nya prihal musibah ini. Tapi, aku bukanlah seorang Nabi atau Rasul. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak punya kuasa untuk itu. Aku tidak bisa berkomunikasi langsung dengan creator-ku, apalagi menanyakan langsung kepada-Nya. Jika aku bertanya kepada manusia, niscaya mereka akan menjawab berdasarkan asumsi dan interpretasinya sendiri. Aku semakin tidak puas!
Namun, kendatipun demikian, akal manusia setidaknya bisa memahami— sejauh kemampuan akal setiap gejala yang terjadi di alam ini. Karena Tuhan sudah memberikan sunnatullah-Nya (hukum alam) kepada manusia untuk diketahui, dipahami, dipelajari, dan selanjutnya ditundukkan guna kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan di dunia ini. Kosmos adalah teka-teki sekaligus misteri Tuhan yang harus dipecahkan oleh manusia.
Dalam QS. 02 [Al-baqarah]: 164, Allah SWT. menegaskan bahwa semesta alam (kosmos) adalah “ayat-ayat-Nya” yang diperlihatkan kepada manusia. Dia ingin menunjukkan eksistensinya pada manusia lewat sebuah “tanda” (sign), sebagai petunjuk atas adanya “Penanda” (yang menandai). Karena itu, Tuhan menciptakan alam agar eksistensinya dapat diketahui oleh manusia. Seorang sufi dari Persia, Ibnu Arabi, menyebut bahwa alam adalah "cermin" sekaligus "bayangan" Tuhan. Lewat alam ini, Tuhan sebetulnya ingin memperlihatkan, mengenalkan, sekaligus melihat dirinya sendirinya lewat pantulan dalam "cermin" itu. Dalam terminologi tasawuf Allah ber-tajalli lewat alam.
Oleh karena itu, ayat Alqur’an yang pertama kali turun dan dibacakan kepada Nabi Muhammad saw. adalah surat Al ‘Alaq. Dalam ayat 4-5 surat itu disebutkan: “Iqra’ warabbuk al akram (3) Alladzi allama bi al qalam (4) Allama al insana ma lam ya’lam (5)” (Bacalah, dan Tuhanmulah Yang paling Pemurah [3] Yang mengajari [manusia] dengan perantaraan qalam [4] Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya). Pada ayat 4 dan 5 di sebutkan bahwa Allah SWT. mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui dengan perantaraan qalam. Qalam adalah “tanda” yang bisa membuka cakrawala pengetahuan manusia, termasuk pengetahuannya tentang Tuhan. Secara umum qalam adalah alam ini. Jadi, berdasarkan ayat itu, Tuhan sebetulnya ingin memperkenalkan sekaligus mengajarkan manusia lewat sebuah “tanda”. Ia menginginkan “tanda”-Nya dipahami dan dipelajari. Karena dengan memahaminya, tersingkaplah rahasia-rahasia-Nya. Dengan ini, memahami dan mempelajari alam sama halnya mempelajari dan memahami (ilmu) Tuhan. Dan Mempelajari (ilmu) Tuhan tergolong amal ibadah yang sangat luhur dan bisa mendatangkan pahala yang berlimpah.
Jadi, kalau kita teliti lebih mendalam, sebetulnya tidak ada distingsi antara yang sakral dan yang profan, karena semuanya bersumber dari Tuhan sebagai Dzat yang sakral? Semuanya adalah ayat-ayat Tuhan yang secara umum mewujud kedalam dua bentuk: ayat al-maktubah (kitab suci) dan ayat al-kauniyyah (kosmos). Keduanya menuntut untuk dikaji, dipahami, dan dipelajari. Keduanya sama-sama istimewa, dan menerima adanya penandaan (pemaknaan).
Memahami rahasia Allah SWT. lewat (tanda) Alqur’an
Seperti yang tersebut di atas, bahwa semua yang ada di alam ini adalah “tanda” dari kesekian banyak “tanda-tanda” Tuhan, tak terkecuali Alqur’an. Ada banyak “tanda-tanda” Tuhan yang termanifestasikan dalam bentuk kitab suci, ayat al-maktubah (Taurat, Injil, Zabur, dan Al-qur'an). Dalam Alqur’an, misalnya, terkandung ayat-ayat (tanda-tanda) yang terkumpul dalam satu mushaf. Dari sekian “tanda” menyatakan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan manusia, baik menyangkut hubungan vertikal (transendental) maupun horisontal (imanen). Itu semua adalah rahasia Tuhan yang dibeberkan kepada manusia untuk dipahami dan dipelajari. Sebagaimana setiap tanda-tanda Tuhan mengharuskan untuk diteliti, dipahami dan dipelajari, jika ingin mengetahui segala rahasia yang terkandung di dalamnya.
Dalam QS. 02 (Al-Baqarah):155 disebutkan, bahwa Allah akan menguji manusia dengan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, lenyapnya jiwa dan buah-buahan (makanan). Kesemuanya adalah ujian atau cobaan (tanda) dari-Nya. Kalau kita sempitkan arti dari ayat itu, dan kita sesuaikan dengan konteks gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah, kira-kira artinya begini: “Sesungguhnya Allah akan menguji masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan gempa bumi, sehingga menyebabkan mereka marasakan takut, terancam kelaparan, kehilangan harta benda, orang tua, anak, saudara dan tetangga karena semuanya telah mati. Dan informasikan kepada mereka [orang-orang sabar] bahwa semua itu adalah “tanda” dari Allah dan [tanda-tanda itu] akan kembali [merujuk] kepada-Nya).
Kata kunci (keywords) dari ayat di atas adalah “sabar”. Pengertian “sabar” dijelaskan oleh ayat setelahnya (156), yaitu: “Orang-orang yang ketika tertimpa musibah maka akan berkata: ‘Sesungguhnya semua milik (tanda) Tuhan dan akan kembali kepada-Nya’”. Artinya, ketika kita terkena cobaan atau ujian dari Tuhan, yang pertama kali kita tanamkan dalam hati adalah kesadaran bahwa semua yang ada di alam ini, termasuk harta dan jiwa kita, adalah milik (tanda-tanda) Tuhan yang merujuk kepada-Nya. Orang yang sabar dalam menerima cobaan adalah mereka yang bersikap kritis, aktif dan produktif atas apa yang dialaminya. Ia akan selalu bersikap optimis dan berpandangan positif dalam menilai dan menghadapi apapun yang datang dari Allah SWT.
Maka, membaca dan memahami gempa bumi berarti mempelajari gejala-gejala berikut kemungkinan yang ditimbulkannya, setelah itu dicarikan solusi yang tepat untuk menanggulanginya, dan bila perlu mencegahnya. Gempa bumi adalah tanda dari sekian tanda-tanda Tuhan yang diperlihatkan kepada manusia. Semuanya untuk diketahui, dipahami dan dipelajari. Sebab, pada ghalibnya, orang akan tertarik kepada sesuatu setelah ia melihat, merasakan atau mendengarnya. Bagi orang yang kritis, ia akan mengamati dan mencoba untuk memahaminya, tidak serta merta hanya dilihat dan dinilai sebagai fenomena alam biasa, apalagi sampai “menghakimi” dan “menuduh” Tuhan sebagai pihak yang paling “bersalah” dan bertanggung jawab.
Penutup
Gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah tanda yang diberikan Allah SWT. untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini, khususnya bangsa Indonesia. Tujuannya agar bangsa ini memiliki kecerdasan dalam memahami seluruh fenomena alam berikut misteri yang terkandung di dalamnya. Dengan memahaminya, diharapkan manusia akan tergerak untuk selalu meneliti, mempelajari, dan menemukan sebab-sebabnya. Mudah-mudahan di masa yang akan datang kita akan bisa mengetahui/memprediksikan terjadinya gempa atau tsunami yang sehingga bisa diantisipasi atau dihindari sedini mungkin. Gempa bumi merupakan salah satu medium Allah SWT. untuk berkomunikasi dengan makhluk-Nya. Allah SWT. memiliki banyak cara untuk menyatakan “kalamnya”, baik melalui ayat al-maktubah maupun ayat al-kauniyyah. Inilah hikmah dari cobaan yang diberikan-Nya. Fa’tabiru ya ulil al-baab!.
dipublikasikan di www.islamemansipatoris.com pada 18/07/2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar