Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin adalah salah satu pesantren tertua di Jawa yang didirikan pada 1715 M/1127 H. oleh Kyai Hasanuddin atau lebih dikenal dengan Kyai Jatira. Di samping sebagai ulama pemimpin pesantren, beliau juga termasuk salah satu pahlawan perjuangan melawan kolonialisme Belanda pada Perang Kedongdong atau disebut juga Perang Cirebon yang terjadi pada 1816-1818.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan dan pengabdian Kyai Jatira diteruskan oleh keturunan-keturunan beliau, yang mengembangkan dan memajukan pondok pesantren yang sudah berdiri lebih dari dua abad ini. Kini, sudah ribuan bahkan ratusan ribu alumni yang tersebar di pelbagai pelosok negeri bahkan sampai luar negeri.
Namun sayang, saat ini keberadaan Pesantren Babakan terusik oleh rencana pembangunan jalan tol yang melintasi areal pondok pesantren. Akibatnya, tidak sedikit tanah-tanah milik pesantren dan masyarakat sekitar akan tergusur oleh rencana pemerintah tersebut.
Peristiwa serupa pernah terjadi pada masa kolonialisme Belanda. Pada 1808 seorang Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1762-1818) membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer, Jawa Barat, sampai Panarukan, Jawa Timur.
Pada waktu itu, rute jalan yang dibangun Daendels akan mengenai lahan pesantren dan tanah masyarakat Babakan Ciwaringin Cirebon. Tentu saja rencana tersebut ditentang oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira bersama masyarakat dan santri-santrinya memindah patok-patok pengukur jalan agar tidak mengenai tanah masyarakat dan pesantren yang dirintisnya.
Bagi Kyai Jatira, Daendels tidak hanya mengambil tanah rakyat secara paksa, berupaya menghambat dan membunuh pendidikan, melainkan sudah merenggut hak-hak dan kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri. Karena itu, ia bersama para santri dan masyarakat melakukan pembelaan, perlawanan, dan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya itu.
Namun, setelah Indonesia lepas dari genggaman penjajah, eksistensi Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin kembali terusik oleh rencana pembangunan jalan tol Cikapali (Cikampek-Palimanan) ¾ salah satu mega proyek tol trans java yang meniru proyek Daendels.
Tentu saja rencana tersebut mendapat penolakan luar biasa dari para ulama, santri, dan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran (26/8/2007, 30/11/2007, dan 29/1/2008) menentang proyek yang diperkirakan menghabiskan Rp 4,5 triliun itu.
Kyai, para santri, dan masyarakat meyakini perjuangan mereka saat ini pararel dengan apa yang dilakukan Kyai Jatira dulu ketika melawan Daendeles. Para kyai keberatan karena tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf), yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan.
Di sekelingnya terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan. Di samping itu, para kyai dan masyarakat memiliki ikatan emosional dan sejarah yang kuat terhadap tanah tersebut, sehingga tidak mungkin digantikan dengan tanah lain.
Oleh karena itu, kami selaku warga, tokoh masyarakat, pemimpin dan pengasuh, serta keluarga besar Pesantren Babakan menolak keberadaan jalan tol yang melintasi pesantren dengan pelbagai pertimbangan:
[1] Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu
[2] Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan konstribusi pembangunan kepada negara.
[3] Para kyai dan sesepuh Pondok Pesantren Babakan ikut andil dalam perjuangan melawan Belanda dan Jepang guna merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia
Adapun alasan penolakan Kami sebagai berikut:
[1] Pembanguan dan aktifitas jalan tol akan mengganggu kegiatan pendidikan dan aktifitas lain, seperti istighatsah, tahlil, hadiyu, pengajian, dll, yang sudah menjadi tradisi turun temurun semenjak ratusan tahun yang silam.
[2] Tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf) yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan.
[3] Di bumi Babakan Ciwaringin terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan.
[4] Pendidikan pesantren merupakan aset Negara yang memberikan konstribusi besar terhadap perkembangan Sumber Daya Manusia.
[5] Pendidikan lebih penting dan lebih mahal dari pembangunan jalan tol
[6] Keberadaan tol akan membelah keutuhan pesantren yang sudah ada semenjak 1715 M.
[7] Proses dan perencanaan pembangunan jalan tol tidak pernah melibatkan masyarakat pondok pesantren dan lembaga pendidikan yang ada di Babakan.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan dan pengabdian Kyai Jatira diteruskan oleh keturunan-keturunan beliau, yang mengembangkan dan memajukan pondok pesantren yang sudah berdiri lebih dari dua abad ini. Kini, sudah ribuan bahkan ratusan ribu alumni yang tersebar di pelbagai pelosok negeri bahkan sampai luar negeri.
Namun sayang, saat ini keberadaan Pesantren Babakan terusik oleh rencana pembangunan jalan tol yang melintasi areal pondok pesantren. Akibatnya, tidak sedikit tanah-tanah milik pesantren dan masyarakat sekitar akan tergusur oleh rencana pemerintah tersebut.
Peristiwa serupa pernah terjadi pada masa kolonialisme Belanda. Pada 1808 seorang Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1762-1818) membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer, Jawa Barat, sampai Panarukan, Jawa Timur.
Pada waktu itu, rute jalan yang dibangun Daendels akan mengenai lahan pesantren dan tanah masyarakat Babakan Ciwaringin Cirebon. Tentu saja rencana tersebut ditentang oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira bersama masyarakat dan santri-santrinya memindah patok-patok pengukur jalan agar tidak mengenai tanah masyarakat dan pesantren yang dirintisnya.
Bagi Kyai Jatira, Daendels tidak hanya mengambil tanah rakyat secara paksa, berupaya menghambat dan membunuh pendidikan, melainkan sudah merenggut hak-hak dan kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri. Karena itu, ia bersama para santri dan masyarakat melakukan pembelaan, perlawanan, dan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya itu.
Namun, setelah Indonesia lepas dari genggaman penjajah, eksistensi Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin kembali terusik oleh rencana pembangunan jalan tol Cikapali (Cikampek-Palimanan) ¾ salah satu mega proyek tol trans java yang meniru proyek Daendels.
Tentu saja rencana tersebut mendapat penolakan luar biasa dari para ulama, santri, dan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran (26/8/2007, 30/11/2007, dan 29/1/2008) menentang proyek yang diperkirakan menghabiskan Rp 4,5 triliun itu.
Kyai, para santri, dan masyarakat meyakini perjuangan mereka saat ini pararel dengan apa yang dilakukan Kyai Jatira dulu ketika melawan Daendeles. Para kyai keberatan karena tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf), yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan.
Di sekelingnya terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan. Di samping itu, para kyai dan masyarakat memiliki ikatan emosional dan sejarah yang kuat terhadap tanah tersebut, sehingga tidak mungkin digantikan dengan tanah lain.
Oleh karena itu, kami selaku warga, tokoh masyarakat, pemimpin dan pengasuh, serta keluarga besar Pesantren Babakan menolak keberadaan jalan tol yang melintasi pesantren dengan pelbagai pertimbangan:
[1] Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu
[2] Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan konstribusi pembangunan kepada negara.
[3] Para kyai dan sesepuh Pondok Pesantren Babakan ikut andil dalam perjuangan melawan Belanda dan Jepang guna merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia
Adapun alasan penolakan Kami sebagai berikut:
[1] Pembanguan dan aktifitas jalan tol akan mengganggu kegiatan pendidikan dan aktifitas lain, seperti istighatsah, tahlil, hadiyu, pengajian, dll, yang sudah menjadi tradisi turun temurun semenjak ratusan tahun yang silam.
[2] Tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf) yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan.
[3] Di bumi Babakan Ciwaringin terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan.
[4] Pendidikan pesantren merupakan aset Negara yang memberikan konstribusi besar terhadap perkembangan Sumber Daya Manusia.
[5] Pendidikan lebih penting dan lebih mahal dari pembangunan jalan tol
[6] Keberadaan tol akan membelah keutuhan pesantren yang sudah ada semenjak 1715 M.
[7] Proses dan perencanaan pembangunan jalan tol tidak pernah melibatkan masyarakat pondok pesantren dan lembaga pendidikan yang ada di Babakan.
Oleh karena itu, Kami selaku pengasuh pesantren, santri, alumni, mahasiswa dan masyarakat yang masih peduli terhadap masa depan pendidikan MENOLAK KERAS JALAN TOL MELEWATI PESANTREN dan MENUNTUT AGAR SEGERA DIPINDAHKAN. Kami siap ber-JIHAD membela PONDOK PESANTREN, masa depan pendidikan Islam, dan memperjuangkan nasib masyarakat lemah dan terpinggirkan. ALLAHU AKBAR...!!! ALLAHU AKBAR...!!! ALLAHU AKBAR...!!!