Oleh: Jamaluddin Mohammad
"Masyarakat kita mewarisi seksualitas zaman Victoria yang bercirikan menahan diri, diam, munafik, dan malu-malu"
[Michel Foucault]
Ariel, Luna, dan Cut Tari akhirnya menjadi tersangka. Dalam minggu-minggu terakhir media kita tak habis-habisnya mengekspos berita video panas yang diduga dilakukan ketiga artis tersebut. Pemberitaan tentang video syur itu mampu menyedot perhatian publik, bahkan menggeser isu-isu “seksi” lainnya yang sudah sekian minggu bertengger di papan atas tangga pemberitaan media, khususnya media televisi. Sampai-sampai, kasus-kasus besar seperti Century, KPK, Gayus Tambunan, yang nyata-nyata berdampak langsung dan merugikan negara juga ikut terlibas habis.
Sungguh dahsyat peran yang dimainkan dan dampak realitas yang disuguhkan media. Ariel, Luna dan Cut Tari adalah tokoh (publik figur) yang “diciptakan” media. Namun, sekarang ini citra ketiganya tengah dihabisi melalui pemberitaan yang tak habis-habisnya, sehingga menimbulkan ragam tanggapan dan persepsi masyarakat (opini publik).
Yang penasan dengan video itu langsung mencari atau mendownload dari internet. Yang merasa paling bertanggung jawab mengawal persoalan moral, semisal FPI, langsung bereaksi, mencaci, mencekal, hingga memboikot ketiganya. Pihak kepolisian sibuk mengusut tuntas kebenaran dan keaslian pelaku dalam video, sekaligus menangkap orang-orang yang diduga menyebarkan (mengupload) video tersebut ke internet. Bahkan, yang terakhir, menyeruak kembali wacana pentingnya memperketat UU Pornografi-Pornoaksi.
Jika melihat maraknya protes dan reaksi masyarakat terhadap video tersebut, agaknya masyarakat kita masih betul-betul menganggap penting dan menjungjung tinggi nilai-nilai moralitas. Namun, sayangnya, moralitas yang dipahami adalah moralitas yang sudah dikebiri dan direduksi. Buktinya, persoalan-persoalan lain, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, tindakan pemerintah mencaplok tanah rakyat untuk pembangunan, misalnya, seolah-olah bukan bagian dari problem moralitas.
Pertanyaannya, mengapa “polisi moral” seperti FPI tak berteriak lantang dan tak berani memboikot atau mencekal Anggodo dan Gayus yang jelas-jelas merampok uang negara triliunan rupiah? Apakah mereka berani memboikot aset-aset Abu Rizal Bakri yang nyata-nyayat telah mengubur nasib ribuan orang dengan lumpur Lapindo? Why?
Dari sini, saya kira penting “merubah” paradigma masyarakat dalam melihat, membaca, dan mencerna persoalan. Sebetulnya, kalau masyarakat mau bersikap kritis terhadap media, tidak ada yang perlu diributkan soal video mesum itu. Sayangnya, selama ini pemberitaan media terhadap ketiganya tidak adil. Ketiganya hanya diperlakukan sebagai objek. Polisi hanya sibuk mengusut kebenaran dan keaslian pelaku dalam video tersebut. Juga sibuk mencari siapa yang pertama kali menyebarkan video mesum itu. Laskar-laskar “moral” seperti FPI hanya bisa menuduh, mengutuk, dan mencaci meskipun belum terbukti kebenarannya.
Saya kira, di sinilah pentingnya bersikap kritis dalam membaca, menilai, dan memilah pemberitaan media; sanggup membedakan antara relitas yang diciptakan media (imajiner) dan realitas sesungguhnya (kongkrit), sehingga kita tidak mudah terjebak, apalagi sekadar menjadi konsumen dan mesin yang diciptakan media. Singkatnya, membiasakan tabayyun (klarifikasi) sebelum menjatuhkan pilihan dan penilaian.
Sayangnya, yang sering kali terjadi adalah sebaliknya: penilaian mendahului kenyataan. Seperti yang terjadi pada kasus Ariel dan video panasnya. Selama ini, respon, persepis, dan penilaian masyarakat terhadap video itu sebelumnya sudah dibentuk, diwarnai, dan diciptakan oleh media.
Akibatnya, muncullah tuduhan-tuduhan yang belum pasti kebenarannya. Padahal, menuduh zina juga hukumannya tidak kalah hebat dengan zina itu sendiri. Mari kita renungkan surat An-Nur 4-5 di bawah ini:
“Dan orang-orang yang menuduh (zina) wanita-wanita yang baik, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka adalah orang-orang fasik. Kecuali setelah itu orang-orang tersebut bertaubat dan mau memperbaiki kesalahannya. Maka sesuangguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Konon, ayat itu turun barkaitan dengan kebiasaan buruk masyarakat Arab yang mudah sekali menjatuhkan tuduhan zina kepada laki-laki atau perempuan yang duduk berdua meskipun sebetulnya hanya sekadar ngobrol atau berkenalan. Mereka juga kerap kali menuduh istrinya berzina jika anak yang dilahirkan tidak mirip suaminya.
Ayat ini memberikan semacam peringatan kepada siapapun untuk tidak gampang menuduh zina terhadap orang lain. Al-Quran memberikan syarat-syarat tertentu, seperti syarat harus menghadirkan empat orang saksi yang keempat-empatnya melihat secara kasat mata perbuatan tersebut. Apabila tidak dapat menunjukkan empat orang saksi, maka harus dihukum cambuk sebanyak 80 kali.
Menurut salah satu riwayat, ayat ini turun berkaitan dengan Hilal bin Umayyah, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, yang mengadu kepada Nabi SAW bahwa istrinya berselingkuh. Nabi tidak langsung percaya. Sebelumnya, Nabi mengkroscek kebenaran tuduhan tersebut. Kemudian turunlah Jibril membawa ayat ini.
Artinya, sebelum mendapatkan kepastian, sebaiknya menahan diri untuk tidak memberikan penilaian dan keputusan. Dan, menurut saya, kepastian itu hanya diperoleh dari pengakuan atau kesaksian langsung dari orang yang melihat perbuatan tersebut, bukan dari “keaslian” yang didasarkan pada kemiripan (video aseli belum tentu orangnya juga aseli).
Seandainya video itu betul-betul aseli dan pelakunya adalah Ariel, Luna, dan Cut Tari, saya kira ketiganya tidak harus membeberkan, membuat kesaksian, atau bahkan tidak perlu meminta maaf di depan publik. Biarlah disimpan rapat-rapat, menjadi rahasia terbesar dalam kehidupan mereka bertiga. Kesaksian dan permohonan maaf itu hanya cukup untuk Tuhan, dengan cara bertaubat dengan sebenar-benarnya bertaubat dan berbuat baik. Saya yakin Tuhan akan mengampuninya.