Agama Islam tidak lahir dari kesunyian. Islam senantiasa
bersentuhan dengan kultur dan budaya tempat ia (di)muncul(kan). Karena itu, tak perlu dirisaukan
ketika terjadi ketegangan dan benturan antar Islam dan Budaya; “langit” dan
“bumi”. Di sinilah perlunya mendamaikan keduanya melalui “pribumisasi Islam”.
Gagasan pribumisasi Islam pertama kali dimunculkan Gus
Dur setelah melihat realitas keberagamaan umat Islam di setiap kawasan yang
tidak seragam. Kita boleh mengatakan bahwa Islam muncul dan berpusat di Arab,
tempat Nabi Muhammad SAW lahir dan mendakwahkan Islam. Karena itu, Islam
identik dengan Arab. Warna Arab begitu kental dan mendominasi pelbagai bentuk ajaran
Islam: al-Quran berbahasa Arab, salat lima waktu pakai Arab dan harus menghadap
ke Negara Arab (Ka’bah), haji juga harus datang ke sana, dan masih banyak lagi.
Namun, kita juga tak bisa menutup mata bahwa setelah Islam menyebar,
berkembang, dan berbaur dengan bangsa-bangsa non-Arab, warna Islam tak lagi
tunggal. Warna Arabnya tak lagi dominan karena sudah berbaur dan bahkan berganti
rupa menjadi warna lokal. Islamnya (substansinya) tetap utuh, tetapi
“bungkusnya” berbeda. Ibarat Bunglon yang berganti dan menyesuaikan warna
kulitnya ketika ia berada di tempat-tempat tertentu. Bunglonnya tetap bunglon
meski warna kulitnya berganti-ganti.
Begitu juga dengan Islam. Islam mengalami akulturasi,
asimilasi, dan inkulturasi dengan budaya setempat di mana Islam (di)hadir(kan). Ketika Islam
(di)datang(kan)
ke Nusantra, masyarakat di sini sudah mengenal ajaran dan kepercayaan purba:
Kapitayan, Hindu dan Budha. Artinya, ketika Islam dikenalkan di sini,
masyarakat di sini sudah berbudaya. Mereka sudah memiliki kepercayaan, sistem
nilai, standar moral, tradisi, norma dan
budaya yang sudah dikenalkan oleh nenek moyang mereka.
Lantas, kenapa mereka begitu mudahnya menerima Islam? Penting
dicatat: konversi Islam di Nusantara tanpa melalui sejarah berdarah-darah tak
seperti di negara asalnya. Bayangkan, kita tak pernah mengenal dan bertemu Nabi
SAW, tapi begitu mudahnya percaya kepadanya: sebuah kepercayaan tanpa reserve.
Sementara banyak orang yang hidup dan mengenal Nabi SAW tetap tak menaruh simpati,
kepercayaan, bahkan malah memusuhi dan memeranginya.
Di sinilah hebatnya para Wali Songo dalam mendakwahkan
dan melakukan islamisasi di sini. Para wali
tak melakukan resistensi terhadap budaya dan tradisi lokal, melainkan tetap
memeliharanya dan menjadikannya sebagai alat Islamisasi.
Tradisi yang sudah berurat-berakar berabad-abad lamanya,
seperti mitung dina, matangpuluh, nyatus dina, tingkepan, sesajen, dll tetap
dipelihara tetapi “maknanya” dirubah. Misalnya, kalau dulu orang sesajen
ditunjukkan kepada arwah nenek moyang mereka, setelah “diislamkan” maknanya
berubah. sesajen dianggap sebagai bagian dari sedekah yang (pahalanya)
ditunjukkan kepada Allah SWT. Hal ini mirip dengan ritual Kurban sebagai
warisan agama Ibrahim AS. Dengan demikian Islam mudah diterima
masyarakat lokal karena mereka tak merasa terasing oleh kehadiran Islam. Mereka
malah memahami Islam sebagai “masa lalu”, “sekarang”, dan “masa yang akan
datang”. Strategi dakwah model seperti ini, menurut istilah Gus Dur, disebut “Pribumisasi
Islam”.
Pribumisasi Islam, kata kata Gus Dur, bukanlah “jawanisasi”
atau sinkretisasi, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan
lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.
Dengan demikian, ritual salat tetap berbahasa Arab, haji tetap ke Makkah, tapi
ketika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, Islam bisa
bersinergi dan melakukan akomodasi terhadap kebudayaan tersebut.
Contoh kongkritnya, ketika kita hendak menolak pagelaran
konser Lady Gaga karena dianggap terlalu vulgar mempertontontkan erotika dan
sensualitasnya yang bertolak belakang dengan agama dan budaya ketimuran, kita
tak perlu teriak-teriak, ngajak perang, atau sesumbar dan mengancam siapapun
(panitia atau pihak kepolisian), tapi cukup melawan dan meredamnya dengan
budaya ketimuran yang selaras dengan budaya keislaman, seperti malu (al-haya’),
sopan santun, menghormati orang lain, tenggang rasa, dll. Jadi, saya yakin,
ketika orang Indonesia ini masih konsisten memegang nilai-nilai budaya timur yang
bersinergi dengan nilai-nilai keislaman, tiket konser Lady Gaga tak bakalan
laku dan kita tak merasa risau apalagi terganggu dengan kedatangan Mother
Monster itu.
Namun, pertanyaan yang kemudian muncul, masihkan budaya Timur
itu? Buktinya, kita tak bisa “melawan” lewat kebudayaan karena kita mengalami
krisis identitas. Kita merasa sebagai orang Timur tapi ke-Timur-an kita sudah
hilang. Kita juga tak bisa melawan menggunakan agama (Islam), karena ke-islam-an
kita lebih dekat dengan Arab yang berwatak keras, barbar, tak santun, dan tak
mengenal kompromi. Akibatnya, kita kehilangan diri kita sendiri, tak memiliki
pijakan dan akar yang kuat, sehingga mudah diombang-ambing oleh arus dan
kekuatan luar yang setiap saat datang mengepung kita. Wallahu a’lam