Kiai Sahal Makhfudz dalam Pembukaan Rapat Pleno PBNU di
Wonosobo (7/80) memberikan tausiah agar NU bermain politik tingkat tinggi. Rais
Am Syuriah PBNU ini prihatin atas kondisi NU akhir-akhir ini yang secara pelan-pelan tapi pasti mulai bergeser dari
garis yang diperjuangkan pendiri-pendirinya. Gerakan dan perjuangan NU tidak
lagi diarahkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat melainkan sudah terseret
ke dalam kepentingan politik sesaat.
Sejak NU
mengikrarkan diri untuk tidak terlibat dalam politik praktis (khittah 1926),
justeru banyak elit-elit NU yang memanfaatkan organisasi ini sebagai gerbong
untuk memenangkan salah satu calon atau partai politik tertentu. Bahkan, tidak
sedikit tokoh-tokoh NU yang terjun ke politik praktis, baik dengan mencalonkan
diri sebagai peserta pilkada maupun menjadi tim sukses dari calon tertentu.
Kondisi “kurang
sehat” yang dialami NU saat ini menunjukkan ketidakberdayaan tokoh NU dalam
menahan diri dari godaan politik praktis yang sesungguhnya menjadi domain
partai politik. Kalau terus dibiarkan, dikhawatirkan NU akan melupakan gagasan
dasar atau khittahnya sebagai organisasi sosial keagamaan dan keumatan. Pada
akhirnya, NU akan semakin jauh dan dijauhi umatnya.
Belakangan ini dalam
tubuh NU sendiri terjadi semacam krisis kepemimpinan ulama. Banyak ulama yang tidak
lagi menjadi panutan masyarakat. Di zaman semakin modern seperti sekarang ini
“kiai panutan” justeru semain sulit dicari. Kalau dulu banyak ulama jadi
panutan masyarakat, pejabat, pengusaha, bahkan politisi. Sekarang kondisinya
malah terbalik, banyak ulama yang “manut” (mengikuti), terutama kepada pejabat
atau penguasa. Akhirnya masyarakat kesulitan membedakan antara ulama “panutan”
dan ulama “manutan”.
Ulama panutan
berkarakter, berprinsip kuat (tidak mudah tergoda politik praktis), konsisten,
dan punya keberpihakan, terutama kepada masyarakat. Ia bisa membedakan antara
kepentingan sempit dan sesaat dan kepentingan yang lebih besar (maslahah
al-amah).
Berbeda dengan ulama
manutan yang biasanya bergerak tergantung arah mata angin: angin ke utara ikut
ke utara, selatan ikut ke selatan (oportunis). Hatinya rapuh dan mudah tergoda
rayuan politik,tidak memiliki prinsip kuat, inkonsisten, dan tidak punya
keberpihakan. Matanya rabun sehingga tidak mampu membedakan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan golongan.
Ulama seperti ini
tumbuh sebur di masyarakat, bercokol di banyak institusi NU, dan mulai banyak
menulari ulama-ulama yang lain. Model ulama seperti ini yang banyak membodohi
warga NU terutama saat-saat Pilkada, baik mengatasnamanakan individu maupun
institusi. Dia akan memanfaatkan pengaruh dan jabatannya untuk menipu
masyarakat dengan menawarkan mimpi-mimpi yang indah.
GARIS POLITIK NU: Politik Kenegaraan, Politik Kerakyatan,
dan Politik Etika
Pernyataan Kiai Sahal di atas sebetulnya ingin kembali
mengangkat derajat ulama di mata masyarakat. Ulama harus bisa bermain politik
dalam skala yang lebih luas. Bukan pemain lapangan, melainkan sebagai konseptor
dan penentu lapangan. Singkatnya bukan sebagai “pengamen politik” yang hobinya
mencari recehan.
Dalam konteks kenegaraan, ulama NU harus mampu dan
berkomitmen menjaga NKRI, Pancasila dan UUD 45. Ini adalah khittah dasar Bangsa
dan Negara Indonesia .
Tak dapat diragukan bahwa NU memiliki saham besar bagi terbentuknya NKRI. Ulama-ulama
NU ikut merumuskan dasar-dasar Negara (Pancasila dan UUD 45). Sehingga, sudah sewajarnya
ulama NU ikut menjaga dan mengawal negeri ini agar tidak keluar dari garis
khittahnya.
Salah satunya dengan mengawasi dan membendung gerakan Islam
trans nasional yang secara terang-terangan akan meruntuhkan bangunan dasar
NKRI: menghapus Pancasila dan UUD 45.mPolitik kebangsaan seperti ini secara
konsisten menjadi garis politik NU sepanjang perjalanan Negara Indonesia
Merdeka. Ketika menghadapi gerakan-gerakan sparatis berbau agama seperti DI/TII
di Jawa Barat, PRRI/Permesta maupun Pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi
Selatan, pada 1950an hingga 1960an, NU selalu berada di pihak Republik.
Dalam hal politik kerakyatan, ulama NU harus punya
keberpihakan terhadap hak-hak dan kemaslahatan rakyat. Karena itu, ulama NU
sudah sepatutnya mengawasi dan ikut membantu program-program pemerintah yang
langsung bersentuhan dengan rakyat kebanyakan. Prinsipnya, sebagaimana disebut dalam
kaidah fiqh, tasharruful imam ala al-raiyyah mautun bimaslahati al-mariyyah
(kebijakan pemimpin atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan).
Termasuk bagian dari politik kerakyatan, ulama NU wajib
menolak segala bentuk impor yang merugikan masyarakat bawah, seperti impor
beras, daging, kedelai, garam, dll. Impor menyebabkan petani dalam negeri
merugi. Menolak Mall atau mini market yang dapat mematikan perekonomian rakyat
kecil (toko, warung, dan pasar tradisional) dan hanya menyuburkan kartel-kartel
besar.
Dalam soal etika politik, sudah sepatutnya ulama menjaga dan
merawat norma-norma, nilai, dan etika politik.
Ulama NU pantasnya menjadi penasihat politik, bukan politisi. Penasihat
politik kerjaannya memberi pengawasan, arahan dan nasihat kepada politisi agar
berjuang membela kepentingan rakyat. Ulama adalah brahmana, bukan kesatria (birokrat).
Tentu drajatnya lebih tinggi dan lebih terhormat.
Penutup
Berpolitik (terjun dalam politik praktis) adalah hak setiap
orang. Namun, dalam setiap organisasi punya aturan main sendiri-sendiri. Dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU secara eksplisit menyebut bahwa
orang pertama dalam struktur kepengurusan NU dan badan otonom di bawah NU
dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) atau
perebutan jabatan politik lainnya.
Sehingga, ketika ada Ketua NU (tanfidz/syuriah) mencalonkan
diri menjadi wakil rakyat, misalnya, ia harus mengundurkan diri atau non aktif.
Peraturan ini dibentuk agar tidak terjadi tumpang tindih antara kepentingan
pribadi dan organisasi.
Idealnya, peraturan seperti ini tidak hanya berlaku bagi
orang nomor satu (ketua), melainkan seluruh jajaran kepengurusan di NU. Tujuannya
untuk menyelamatkan organisasi ini agar tidak terseret-seret dalam
dukung-mendukung. Bayangkan jika seluruh jajaran kepengurusan NU menjadi tim
sukses salah satu calon bupati atau wakil rakyat. Lantas, apa bedanya dengan
partai politik?
NU sebagai partai politik cukup di tahun 1955 saja. Sekarang
ini kader NU terdiaspora di semua partai politik. Biarlah syahwat politik kader
dan aspirasi warga NU bisa tersalurkan lewat beberapa partai politik itu. Sebagai
organisasi social-keagamaan, NU harus bisa menjaga dan mengayomi semua kepentingan
warganya. Karena itu, seluruh pengurus NU harus netral. Meskipun
mengatasnamakan kepentingan pribadi, ketika sudah terlibat dalam politik
praktis dan ikut aksi dukung mendukung dalam Pilkada, mereka harus rela
menanggalkan jabatannya. NU tidak butuh orang-orang bermental oportunis yang
hobinya menjual NU untuk kepentingan pribadinya. Wallahu a’lam bi sawab
Radar Cirebon (28/09)
Radar Cirebon (28/09)