Oleh: Jamaluddin Mohammad
Suhu politik Kabupaten Cirebon mulai memanas. Seluruh bakal calon dari pelbagai partai politik mulai pasang muka. Sepanjang jalanan, pelosok-pelosok desa, hingga gang-gang sempit disulap menjadi semacam galeri photo-photo calon. Koran, radio, televisi disesaki iklan-iklan politik
Bagaimana masa depan politik Kabupaten Cirebon? Suka-tidak suka akan ditentukan oleh salah satu (bakal) calon-calon tersebut. Karena itu, sudah kewajiban bersama mengawal proses Pemilihan Kepala Daerah ini (Pilkada), agar nantinya menghasilkan pemimpin berkualitas yang bisa membawa Kabupaten Cirebon lebih baik.
Tentunya, calon yang akan dipilih nanti bukan hanya berkualitas secara pribadi (punya integritas, kapabilitas, moralitas, dll), melainkan juga harus memiliki rekam jejak (track record) yang baik. Oleh karena itu, pengetahuan tentang kandidat (calon) harus utuh dan menyeluruh, tidak setenga-setengah, apalagi dipenuhi dengan kepalsuan.
Sayangnya, selama ini masyarakat tidak pernah diberikan informasi yang cukup tentang calon-calon tersebut. Mereka hanya mengetahui lewat iklan (pencitraan) dan pemasaran politik (brand image) yang tersebar di koran, radio, televisi, baliho, spanduk, dll. Yang mereka ketahui hanyalah citra atau gambaran tentang calon yang disuguhkan melalui rekayasa iklan. Masyarakat tak tahu persis, apakah citra dalam iklan tersebut sesuai atau mewakili sesuatu yang dicitrakan? Apakah betul, misalnya, calon A adalah seorang yang jujur, peduli, dan amanah? Di sinilah dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian dalam membaca dan memahami iklan politik.
Iklan Politik
Pemilihan langsung identik dengan popular vote: mengandalkan popularitas kandidat. Karena itu dibutuhkan politik pencitraan (imagology politic). Politik pencitraan dibangun dari citra (image). Citra adalah cermin, gambaran, atau representasi dari realitas. Namun, citra juga terkadang tidak merujuk pada realitas (kenyataan). Ia disebut simulasi atau pos realitas.
Untuk memahami citra, dibutuhkan sebuah ilmu tentang citra (imagologi). Imagologi adalah ilmu tentang citra atau imaji, serta bagaimana peran teknologi pencitraan dalam membentuknya. Imagologi berkaitan dengan perkembangan teknologi pencitraan mutakhir, seperti televisi, video, internet, koran, dll yang menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya eksistensi setiap orang sangat bergantung pada dunia pencitraan. Imagologi menggunakan citra-citra tertentu dalam rangka menciptakan sebuah imaji tentang realitas. Pada titik tertentu, ia dianggap sebagai realitas itu sendiri. Padahal, semuanya tak lebih hanya sebagai fatamorgana (Yasraf, 2004)
Dalam dunia politik, politik pencitraan adalah bagian dari politik itu sendiri. Tujuannya mencari simpati, dukungan, popularitas, serta elektabilitas masyarakat. Terlepas apakah tokoh yang dicitrakan sesuai dengan kenyataan (realitas) atau tidak. Yang terpenting tujuannya tercapai, yakni kekuasaan!
Pembodohan Publik
Realitas politik yang terjadi saat ini, masyarakat baru mengenal calon-calon melalui citra, baik citra yang dibentuk partai politik maupun tim sukses. Citra-citra itulah yang memenuhi kepala dan yang akan mengarahkan prilaku pemilih. Padahal, belum tentu citra-citra itu berbanding lurus dengan kenyataan yang dibangunnya.
Bagi masyarakat yang tingkat kritisismenya rendah, iklan-iklan politik sangat membahayakan, bahkan merupakan pembodohan terhadap masyarakat. Dalam konteks Pilkada Kabupaten Cirebon, misalnya, iklan politik masih sebatas jargon-jargon, baik yang dikemas dalam bentuk baliho atau spanduk, maupun dalam bentuk hiburan, seperti lagu-lagu. Sehingga, kesan yang muncul adalah: Pilbup sekadar seremonial atau panggung hiburan tahunan. Tujuan atau substansi Pilbup sendiri, yaitu terpilihnya pemimpin yang bisa membawa perbaikan dan kesejahteraan masyarakat, terabaikan.
Yang perlu dipertegas adalah, bagaimana agar pencitraan (brand image) yang selama ini dibangun oleh calon (Cabup) dapat diwujudkan dalam kenyataan. Sebab, dalam dunia iklan dan politik pencitraan, citra selalu mendahului kenyataan, bukan sebaliknya. Idealnya, yang dibutuhkan sekarang adalah (calon) pemimpin yang menarik simpati masyarakat melalui kerja-kerja nyata (action). Sehingga, ketika terpilih nanti, ia akan meneruskan apapun yang telah dilakukannya.
Oleh karena itu, dalam rangka membendung dan mengantisipasi banjirnya iklan politik yang tidak mendidik itu, dibutuhkan pendidikan politik di masyarakat. Masyarakat harus disadarkan bahwa masa depan politik ada di tangan rakyat. Sehingga, tidak mudah tertipu oleh iklan-iklan politik. Caranya dengan melakukan negasi (penyangkalan) terhadap apapun yang disampaikan iklan. Intinya, tidak mudah percaya, harus kritis, dan selalu mempertanyakan “kebenaran” iklan dengan mencari sendiri informasi yang cukup dan komprehensif prihal calon-calon yang diiklankan itu.
Dengan demikian, masyarakat tak mudah terhasut oleh tipu daya, ajakan, serta bujuk rayu iklan politik murahan itu. Karena kecerdasan pemilih akan menentukan kualitas pilihannya. Wallahu a’lam bi sawab.
Suhu politik Kabupaten Cirebon mulai memanas. Seluruh bakal calon dari pelbagai partai politik mulai pasang muka. Sepanjang jalanan, pelosok-pelosok desa, hingga gang-gang sempit disulap menjadi semacam galeri photo-photo calon. Koran, radio, televisi disesaki iklan-iklan politik
Bagaimana masa depan politik Kabupaten Cirebon? Suka-tidak suka akan ditentukan oleh salah satu (bakal) calon-calon tersebut. Karena itu, sudah kewajiban bersama mengawal proses Pemilihan Kepala Daerah ini (Pilkada), agar nantinya menghasilkan pemimpin berkualitas yang bisa membawa Kabupaten Cirebon lebih baik.
Tentunya, calon yang akan dipilih nanti bukan hanya berkualitas secara pribadi (punya integritas, kapabilitas, moralitas, dll), melainkan juga harus memiliki rekam jejak (track record) yang baik. Oleh karena itu, pengetahuan tentang kandidat (calon) harus utuh dan menyeluruh, tidak setenga-setengah, apalagi dipenuhi dengan kepalsuan.
Sayangnya, selama ini masyarakat tidak pernah diberikan informasi yang cukup tentang calon-calon tersebut. Mereka hanya mengetahui lewat iklan (pencitraan) dan pemasaran politik (brand image) yang tersebar di koran, radio, televisi, baliho, spanduk, dll. Yang mereka ketahui hanyalah citra atau gambaran tentang calon yang disuguhkan melalui rekayasa iklan. Masyarakat tak tahu persis, apakah citra dalam iklan tersebut sesuai atau mewakili sesuatu yang dicitrakan? Apakah betul, misalnya, calon A adalah seorang yang jujur, peduli, dan amanah? Di sinilah dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian dalam membaca dan memahami iklan politik.
Iklan Politik
Pemilihan langsung identik dengan popular vote: mengandalkan popularitas kandidat. Karena itu dibutuhkan politik pencitraan (imagology politic). Politik pencitraan dibangun dari citra (image). Citra adalah cermin, gambaran, atau representasi dari realitas. Namun, citra juga terkadang tidak merujuk pada realitas (kenyataan). Ia disebut simulasi atau pos realitas.
Untuk memahami citra, dibutuhkan sebuah ilmu tentang citra (imagologi). Imagologi adalah ilmu tentang citra atau imaji, serta bagaimana peran teknologi pencitraan dalam membentuknya. Imagologi berkaitan dengan perkembangan teknologi pencitraan mutakhir, seperti televisi, video, internet, koran, dll yang menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya eksistensi setiap orang sangat bergantung pada dunia pencitraan. Imagologi menggunakan citra-citra tertentu dalam rangka menciptakan sebuah imaji tentang realitas. Pada titik tertentu, ia dianggap sebagai realitas itu sendiri. Padahal, semuanya tak lebih hanya sebagai fatamorgana (Yasraf, 2004)
Dalam dunia politik, politik pencitraan adalah bagian dari politik itu sendiri. Tujuannya mencari simpati, dukungan, popularitas, serta elektabilitas masyarakat. Terlepas apakah tokoh yang dicitrakan sesuai dengan kenyataan (realitas) atau tidak. Yang terpenting tujuannya tercapai, yakni kekuasaan!
Pembodohan Publik
Realitas politik yang terjadi saat ini, masyarakat baru mengenal calon-calon melalui citra, baik citra yang dibentuk partai politik maupun tim sukses. Citra-citra itulah yang memenuhi kepala dan yang akan mengarahkan prilaku pemilih. Padahal, belum tentu citra-citra itu berbanding lurus dengan kenyataan yang dibangunnya.
Bagi masyarakat yang tingkat kritisismenya rendah, iklan-iklan politik sangat membahayakan, bahkan merupakan pembodohan terhadap masyarakat. Dalam konteks Pilkada Kabupaten Cirebon, misalnya, iklan politik masih sebatas jargon-jargon, baik yang dikemas dalam bentuk baliho atau spanduk, maupun dalam bentuk hiburan, seperti lagu-lagu. Sehingga, kesan yang muncul adalah: Pilbup sekadar seremonial atau panggung hiburan tahunan. Tujuan atau substansi Pilbup sendiri, yaitu terpilihnya pemimpin yang bisa membawa perbaikan dan kesejahteraan masyarakat, terabaikan.
Yang perlu dipertegas adalah, bagaimana agar pencitraan (brand image) yang selama ini dibangun oleh calon (Cabup) dapat diwujudkan dalam kenyataan. Sebab, dalam dunia iklan dan politik pencitraan, citra selalu mendahului kenyataan, bukan sebaliknya. Idealnya, yang dibutuhkan sekarang adalah (calon) pemimpin yang menarik simpati masyarakat melalui kerja-kerja nyata (action). Sehingga, ketika terpilih nanti, ia akan meneruskan apapun yang telah dilakukannya.
Oleh karena itu, dalam rangka membendung dan mengantisipasi banjirnya iklan politik yang tidak mendidik itu, dibutuhkan pendidikan politik di masyarakat. Masyarakat harus disadarkan bahwa masa depan politik ada di tangan rakyat. Sehingga, tidak mudah tertipu oleh iklan-iklan politik. Caranya dengan melakukan negasi (penyangkalan) terhadap apapun yang disampaikan iklan. Intinya, tidak mudah percaya, harus kritis, dan selalu mempertanyakan “kebenaran” iklan dengan mencari sendiri informasi yang cukup dan komprehensif prihal calon-calon yang diiklankan itu.
Dengan demikian, masyarakat tak mudah terhasut oleh tipu daya, ajakan, serta bujuk rayu iklan politik murahan itu. Karena kecerdasan pemilih akan menentukan kualitas pilihannya. Wallahu a’lam bi sawab.