Setiap
kali menjelang Natal selalu muncul perdebatan: bolehkan mengucapkan Selamat
Natal kepada umat Kristiani? Belakangan malah muncul kontroversi menggunakan
Topi Santo bagi umat Islam.
Benarkah
Islam melarang pengucapan "selamat natal" kepada umat kristiani dan
menyebabkan keluar dari Islam (murtad, kafir, opstate)? Jawaban
pertanyaan ini tergantung pada sejauh mana pemahaman seseorang terhadap
agamanya.
Tulisan
ini akan menghadirkan diskursus ulama klasik dan kontemporer terkait bagaimana
hukumnya mengucapakan "selamat natal" bagi umat Islam? Ibnu Qayyum
al-Jauzi dalam bukunya Ahkam Ahlu al-Dzimah menyatakan: haram
mengucapkan selamat (tahniah) atas hari raya umat agama lain.
Alasannya,
sebagaimana yang kembali ditegaskan oleh Qasim Hibbatullah bin al-Hasan bin
Mansur al-Tabari, Natal adalah perbuatan Munkar. Umat Islam tak boleh
menghadiri "pesta kemungkaran". Mengucapkan selamat sama halnya
dengan meridloi perbuatan munkar yang mereka lakukan, sehingga dapat memancing
kamarahan Tuhan. (Ibnu Qayyum, Ahkam Ahlul al-Dzimmah, vol I, hal. 442)
Sementara
al-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa pergaulan dengan non muslim dibolehkan
asalkan sebatas hubungan sosial dan kemanusiaan, tidak menyangkut akidah dan
kepercayaan.
Dengan
demikian, mengucapkan "selamat natal" jika didasarkan pada asas
kemanusiaan, pergaulan sesama anak bangsa dan demi menjaga kerukunan antar umat
beragama tidak bermasalah, karena mengandung kemaslahatan. Yaitu menjaga
ukhuwah insaniyyah (persaudaraan atas dasar kemanusiaan) dan ukhuwah
wathaniyyah (persaudaraan atas dasar kebangsaan).
Yusuf
al-Qardhawi, ulama kontemporer dari Mesir, menganggap ucapan natal adalah hal
biasa yang diucapkan oleh sesama umat manusia, apalagi atas dasar hubungan
emosional, seperti ikatan kekerabatan, tetangga, teman kerja, atau kawan
sekolah.
Hal senada
dikatakan Musthapa al-Zurqa, pakar fiqh terkemuka. Menurutnya, "ucapan
natal" adalah "basa-basi" sebagai bagian dari interaksi sosial
dan etika pergaulan sosial. Apalagi, sebagaimana yang dikatakan KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Islam sendiri sebetulnya mengakui natal (QS. Maryam)
Toleransi
Nabi
Dalam soal
menjaga keyakinan dan pergaulan agama, Nabi Muhammad SAW sangat toleran dan
mengakui keyakinan agama lain.
Salah satu
cerita ini (asbab al-nuzul QS al-Kafirun) membuktikan sikap toleransi
Nabi SAW terhadap keyakinan agama lain:
Suatu hari
ketika Nabi Muhammad SAW sedang tawaf di Ka'bah, datanglah beberapa pemuka
Arab. Mereka mengajak Nabi Muhammad SAW untuk "berdamai" dan
"berkompromi" dalam beragama. Mereka siap mengikuti ritual agama yang
dilakukan Nabi Muhammad SAW, asalkan Nabi Muhammad SAW juga melakukan ritual
ibadah yang mereka jalankan.
Dengan
tegas Nabi Muhammad SAW menolak ajakan tersebut. Soal ibadah dan keyakinan,
Islam tak mengenal kompromi.
"Biarlah
aku tetap menyembah Tuhanku, sebagaimana kalian tetap menyembah Tuhan kalian.
Bagiku agamaku, bagimu agamamu," kata Nabi Muhammad SAW (QS al-Kafirun
1-6)
Nabi
Muhammad SAW tetap menghormati dan menghargai keyakinan agama lain tanpa merasa
sedikitpun terganggu dengan kehadiran mereka. Karena itu tak aneh ketika di
Madinah umat Islam hidup damai dan berdampingan dengan Yahudi, Nasrani, Masjusi
dan kepercayaan lainnya.
Dari
Teologi ke Antropologi
Selama ini
problem-problem keagamaan selalu dikaitkan dengan persoalan ketuhanan (teologi)
dan sedikit sekali dikaitkan dengan persoalan kemanusiaan (antropologi):
bagaimana tanggung jawab manusia kepada Tuhannya saat ini (di dunia) dan nanti
(di akhirat)?
Padahal,
selain bertanggung jawab kepada Tuhan, pada saat bersamaan manusia dituntut
bertanggung jawab kepada sesama dan lingkungan sekitarnya. Tanggung jawab
inilah yang seharusnya lebih didahulukan.
Dalam
Islam dikenal dengan dua tanggung jawab. Pertama tanggung jawab kepada Tuhan (Haqqu
Allah). Kedua tanggung jawab kepada sesama (Haqqu al-Adami). Yang
pertama didasarkan pada kemurahan/toleransi Tuhan (mabni ala al-musamahah).
Sementara yang kedua bergantung pada "kesepakatan" antar manusia (mabni
ala al-musyahah).
Para ulama
berpendapat, ketika terjadi benturan (ta'arud) antara Haqqu Allah dan
Haqqu al-Adami, maka yang dimenangkan adalah Haqqu al-Adami.
Jadi,
ketika sebagian ulama mengaitkan "ucapan selamat natal" dengan
persoalan akidah dan keyakinan, sementara pada sisi lain dibutuhkan toleransi
antar umat beragama, maka yang diunggulkan adalah alasan dan pertimbangan yang
kedua. Biarlah persoalan akidah dan keimanan menjadi urusan Tuhan dengan
hambanya.
Saya yakin
Tuhan memaklumi dan mengetahui kalau sekadar mengucapkan selamat natal dan
memakai simbol-simbol keagamaan tidaklah sampai melunturkan akidah dan
memalingkan keimanan. Wallahu A'lam bi Sawab