Rabu, 14 November 2007

Biksu, Agama dan Praksis Revolusioner



Oleh Jamaluddin Mohammad

Ternyata, di era modern seperti sekarang ini, agama masih memiliki cukup energi untuk melakukan pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas. Agama mampu mempelopori gerakan perlawanan terhadap penindasan, kekerasan, ketidakadilan dan eksploitasi yang dilakukan negara.


Aksi Protes yang dilakukan Biksu di Burma adalah contoh kongkrit betapa agama mampu melakukan praksis revolusioner, membela hak-hak kaum lemah, dan berjuangbersama mereka, demi terciptanya tatanan dunia baru yang berkeadilan.


Baru-baru ini dunia internasional dikejutkan oleh aksi protes ratusan ribu biksu dan warga sipil Myanmar terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dirasakan sebagian besar rakyat di sana mencekik leher. Namun, aksi demo berangsur-angsur mengarah pada perlawanan terhadap rezim junta militer yang sudah berkuasa selama 45 tahun itu.

Ternyata, di era modern seperti sekarang ini, agama masih memiliki cukup energi untuk melakukan pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas. Agama mampu mempelopori gerakan perlawanan terhadap penindasan, kekerasan, ketidakadilan dan eksploitasi yang dilakukan negara.

Aksi ini membawa memori kita pada revolusi Iran 1979 yang menumbangkan rezim otoritarian Syah Pehlevi dengan menggunakan kekuatan agama. Ini juga mengingatkan kita pada Gustavo Gutierez, pencetus dan pelopor Teologi Pembebasan asal Guatemala, yang memaknai teologi sebagai pembebasan spiritual dan sosio-kultural golongan yang dimarjinalkan oleh ‘pembangunan’.

Apa yang dilakukan para biksu juga dalam rangka bagaimana agar agama mampu memberikan empowering kepada ‘yang tertindas’ untuk melakukan perlawanan. Seperti yang kita ketahui, unjuk rasa dipicu oleh kenaikan BBM yang mencapai 500%. Tentu saja ini sangat memberatkan rakyat miskin yang ada di sana. Sehingga, para biksu merasa terpanggil untuk melakukan protes atas kebijakan yang tidak pro-rakyat tersebut. “Kami unjuk rasa untuk rakyat,” tutur seorang biksu dari Aliansi Seluruh Biksu Burma.

Aksi protes para biksu ini tentu saja sangat menarik tidak hanya karena dilakukan oleh ‘pemuka agama’, melainkan isu yang diangkat pun berkenaan dengan ‘isu-isu kerakyatan’ yang biasanya tidak pernah dihubungkan dengan persoalan agama. Umumnya, aksi yang melibatkan kaum agamawan adalah ketika berkenaan dengan simbol dan sentimen-sentimen keagamaan.

Karena itu, agama tidak boleh dipisahkan dari realitas sosial yang melahirkannya. Semenjak awal kelahirannya, agama selalu berangkat dari problem-problem sosial dan selalu berorientasi pada kemanusiaan. Ketika agama tidak lagi berjangkar pada realitas, agama akan mandul dan tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih ketika dihadapkan pada ketimpangan-ketimpangan, baik sosial, ekonomi maupun politik, yang terjadi di tengah masyarakat.

Agama dan praksis revolusioner

Realitas masyarakat dunia saat ini terbagi menjadi dua: penguasa/yang dikuasai, kaya/miskin, kuat/lemah, dan seterusnya. Relasi keduanya acap kali diwarnai ketidakadilan. Kerena itu, selaku pembawa misi keadilan, agama harus berpihak dan berada pada posisi yang kedua. Agama harus bisa meredam ketegangan-ketegangan dan konflik yang menyertai keduanya.

Dalam Islam, keadilan bertolak dari ‘pandangan dunia tauhid’. Artinya, semuaberasal dan kembali kepada Allah swt. Tauhid, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, bukan dalam arti yang umum dipahami umat Islam, yakni pengingkaran terhadap politeisme. Tauhid di sini dimaknai sebagai ‘totalitas kehidupan’. Karena itu, dalam masyarakat tauhid, tidak dibenarkan diskriminasi atau penindasan atas nama ras, agama, kasta, maupun kelas, bahkan tidak ada perbedaan antara spiritual dan material (Shimogaki, 2004).

Berangkat dari pandangan dunia tauhid seperti di atas, agama akan kembali memperoleh kekuatannya. Agama tidak lagi dimonopoli hanya dan kembali pada ‘kepentingan’ Tuhan, seperti yang terjadi dalam teologi skolastik. Agama justeru akan menemukan momentumnya dalam gerakan dan perjuangan rakyat melawan ketidakadilan, penindasan, kekerasan, eksploitasi dan sebagainya, karena secara prinsipil berlawanan dengan semangat tauhid.

Tauhid dalam maknanya yang ‘baru’ ini bisa dijadikan inspirasi dan spirit untuk melakukan tranformasi sosial yang berkeadilan, kemaslahatan, kebebasan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Di sini agama tampil dan ikut terlibat dalam kehidupan sosial dan politik, dengan tauhid sebagai inspirasi dan sepirit utamanya.


Kita bisa belajar dari aksi para biksu yang melakukan protes dan melawan ketidakadilan kendatipun harus dibayar dengan darah dan nyawa. Aksi ini sebetulnya membawa pesan sekaligus kritik terhadap mayoritas agama-agama yang lebih memilih ‘posisi aman’ di tengah situasi sosial-kultur yang timpang dan korup.

Agama yang membiarkan situasi ketidakadilan dan penindasan adalah agama kaum elit (agama pro status quo). Agama seperti ini tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat untuk membius, membodohi dengan janji-janji eskatalogis, melanggengkan situasi penindasaan, dan ‘candu’ masyarakat.

Sebaliknya, agama rakyat tumbuh bersama-sama rakyat untuk melakukan perubahan, melawan ketidakadilan, penindasan, dan membongkar kepercayaan-kepercayaan semu (janji-janji eskatalogis), sebagaimana yang tengah dilakukan oleh para biksu di Myanmar melawan rezim junta militer pimpinan jenderal besar Than Shwe. Selamat berjuang, pahlawan rakyat!

Tidak ada komentar: