Oleh Jamaluddin Mohammad
Akhir-akhir ini kita disuguhi fenomena “kebangkitan Islam” melalui upaya formalisasi Islam. Misalnya, dengan alasan Undang-Undang Otonomi Daerah, sejumlah daerah berlomba-lomba menerapkan peraturan daerah (Perda) syariat atau yang bernuansa syariat. Upaya pemerintah daerah ini, alih-alih menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi umat manusia), justru memunculkan Islam yang statis, hipokrasi keberagamaan, dan ketakutan.
Menurut penulis, fenomena tersebut bukanlah fenomena kebangkitan Islam. Sebab, Islam sudah mengakar kuat di Indonesia semenjak berabad-abad silam. Islam yang dibawa Walisongo dan ulama-ulama terdahulu ditangkap masyarakat Indonesia secara utuh, bahkan sudah menjadi bagian dari diri dan budaya mereka. Semenjak kehadirannya, Islam Indonesia tidak melalui bantuan negara untuk mendakwakan dan membakukan ajaran-ajarannya. Islam menghujam kuat dalam hati pemeluknya, dijaga dan disebarkan oleh ulama-ulama yang ikhlas dan para pedagang yang jujur.
Namun, Islam model perda syariat ini adalah Islam yang tidak ramah terhadap budaya lokal; Islam yang bercita-cita pada kekuasaan; dan mengaku sebagai Islam yang “paling benar” dan “otentik”. Untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, Islam model ini mengkampanyekan bahwa Islam adalah solusi (al-Islam hua al-hallu) yang bisa menyelesaikan segala persoalan hidup; Islam agama paripurna (QS Al-Maidah [05]: 03). Padahal Islam yang dimaksud adalah Islam yang diimpor secara telanjang dari Arab. Islam model ini tidak bisa membedakan antara ajaran Islam dan budaya Arab; antara nilai-nilai universal Islam dan partikularitas implementasi nilai-nilai universal itu.
Islam tidak lahir dari kesunyian. Ia senantiasa bersentuhan dengan tradisi-tradisi lokal tempat Islam hadir. Islam adalah agama yang mengalami historisasi. Islam datang guna menjawab realitas, sehingga sama sekali tidak bertentangan dengan realitas. Ini bisa dibuktikan dengan pilihan bahasa yang digunakan Al-Qur’an. Al-Qur’an turun dan dibacakan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab (QS Yusuf [12]: 02) karena nabi dan komunitasnya adalah orang Arab.
Pemilihan bahasa Arab bukan faktor kebetulan belaka. Juga bukan karena bahasa Arab dianggap superior dibanding bahasa lainnya. Sebab, setiap bahasa pada hakikatnya sama, dihasilkan dari konvensi manusia. Bahasa merepresentasikan budaya, di samping menandakan ciri dan karakteristik budaya itu sendiri. Ini menunjukkan Islam tidak lepas dari faktor budaya. Islam dibentuk sekaligus membentuk budaya. Bukankah Allah SWT tidak akan mengutus seorang rasul melainkan dengan bahasa kaumnya? (QS Ibrahim [14]: 04).
Karena itu, kita tidak bisa menyeragamkan penafsiran atau cara pandang seseorang terhadap agamanya. Kerja-kerja penafsiran selalu terkait dengan kondisi obyektif tempat penafsir hidup. Yang namanya penafsiran tidak bisa berlaku secara universal, tidak tersentuh oleh ruang dan waktu. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Makkah berbeda dengan ketika beliau berada di Madinah. Ini membuktikan elastisitas syariat Islam. Islam mampu berdialog dan beradaptasi dengan zaman, meskipun dengan corak dan warna berbeda-beda.
Disamping itu, setiap nabi atau rasul memiliki syariat, kitab suci, dan pengikut (kaum) masng-masing (QS Al-Maidah [05]: 48). Syariat yang di bawa Nabi Musa belum tentu sepenuhnya sama dengan syariat yang dimiliki Nabi Ibrahim, Nabi Isa, ataupun Nabi Muhammad SAW. Namun, secara prinsip, para nabi dan rasul akan bermuara pada titik ajaran sentral, yakni tauhid. Tauhid merupakan ajaran fundamental yang dibawa para nabi dan rasul. Syariat pra-Islam yang sekarang masih berlaku adalah puasa (QS Al-Baqarah [02]: 183), haji, kurban, dan lain-lain. Disamping itu, ada syariat yang sudah tidak berlaku lagi, seperti syariat Nabi Musa yang mewajibkan bunuh diri bagi orang yang melakukan dosa (Abdul Wahab Khalaf, 1978:93). Perubahan ini membuktikan elastisitas syariat. Di sini Islam mampu merespon dan berdialog dengan zaman sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pada masanya tanpa harus kehilangan nilai dan spirit dari ajaran-ajarannya.
Pada prinsipnya, substansi syariat Islam adalah kemaslahatan dan keadilan. Keduanya ajaran universal Islam. Sebab, kehadiran Islam bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam, melainkan untuk umat manusia secara keseluruhan (QS Al-Anbiya [21]: 107). Dan ini harus dibuktikan dengan membumikan syariat Islam yang humanistis, inklusif, toleran, dan menghargai segala bentuk perbedaan sebagai sunatullah yang tidak mungkin kita tolak.
Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh menyebut bahwa tujuan syariat Islam (maqasid al-syar’iyyah) ada tiga (Abu Zahrah, 1958:364). Pertama, mengarahkan/mendidik individu (tahdzibu al-fardi) agar menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat. Wujud kongkritnya ada dalam ibadah. Ibadah dapat mengarahkan/mendidik jiwa (tahdzib al-nufus) serta mempererat hubungan sosial. Dengan membiasakan beribadah, hati kita akan terbebas dari sifat permusuhan yang selama ini mengeram dalam hati kita, sehingga terciptalah hubungan sosial yang harmonis. Karena itu, kita patut mempertanyakan keabsahan ibadah seseorang yang mengaku beribadah tapi berbasiskan kebencian, permusuhan, apalagi dengan aksi-aksi kekerasan.
Kedua, menegakkan keadilan (iqamah al-‘adalah). Untuk mewujudkan keadilan yang bersifat universal, kita harus berangkat dari praanggapan bahwa setiap orang diciptakan dari tanah, dari keturunan yang sama (Adam), dan dari satu Tuhan, sehingga tidak ada superioritas antara satu dan lainnya. Prinsip egalitarian ini juga berlaku dalam hukum. Di hadapan hukum, tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, penguasa dan yang dikuasai, yang kuat dan yang lemah. Ketentuan seperti ini berlaku baik bagi muslim maupun nonmuslim.
Ketiga, kemaslahatan. Ini sebetulnya hakikat dan tujuan sentral syariat Islam. Dalam mempertimbangkan kemaslahatan, kita tidak boleh membedakan antara muslim dan nonmuslim. Dan sejatinya kemaslahatan itu akan kembali pada lima hal, yaitu menjaga agama (hifdzu al-dien), jiwa (hifdzu al-nafs), harta (hifdzu al-mal), akal (hifdzu al-aql), dan fungsi reproduksi (hifdzu al-nasl).
Ketiga landasan syariat di atas sepatutnya dijadikan parameter dalam memahami dan menggali ajaran-ajaran Islam. Tanpa memahami ketiga landasan itu, kita akan kehilangan semangat dan spirit yang sebetulnya hendak disampaikan Islam itu sendiri, yakni sebagai rahmat bagi umat manusia. Rahmat tidak bisa dipahami secara sempit hanya milik dan dari Allah SWT. Rahmat juga bisa berasal dari diri kita sendiri, dengan cara menawarkan Islam yang berorientasi dan berwawasan kemanusiaan.
Sejatinya Islam Indonesia adalah Islam yang tetap mempertahankan warna lokal (tradisi lokal) yang selama ini sudah terbangun. Tradisi, sebagaimana yang dikatakan Martin van Bruinessen, merupakan bagian integral Islam Indonesia, bukan suatu alat yang melawan islamisasi. Hubungan keduanya bersifat adaptif dan akomodatif (Afkar, No. 14/2003). Sebagaimana yang pernah dipraktikkan Walisongo, di antaranya Sunan Bonang, yang mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transendental. Begitu pula dengan Sunan Kalijaga yang memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Islam tidak harus identik, misalnya, dengan Arab, karena yang kearab-araban belum tentu Islam. Arabisasi hanya akan menyebabkan tercerabutnya nilai-nilai lokal yang sejalan dengan Islam. Yang terpenting adalah bagaimana agar budaya Islam itu kemudian mampu melakukan transformasi sosial, politik, dan ekonomi berdasarkan universalisme nilai Islam, tanpa harus kehilangan jati diri kita yang sebenarnya. Karena itu, kita harus menampilkan citra Islam yang berwawasan kebangsaan, bercorak keindonesiaan, yang ter-cover dalam Pancasila.
Koran Tempo, 27 Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar