Kamis, 22 November 2007

Pernyataan Sikap Bersama

Pernyataan Sikap Himpunan Mahasiswa Cirebon-Jakarta (HIMA-CITA) Soal Dugaan Korupsi yang dilakukan Bupati Cirebon

Pada hari Senin, 19 Nopember 2007, puluhan mahasiswa Cirebon yang tergabung dalam HIMA-CITA (Himpunan Mahasiswa Cirebon-Jakarta) melakukan unjuk rasa mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas Dugaan penyimpangan dan penyelewengan dana APBD yang dilakukan Bupati Cirebon, Drs. Dedi Supardi, MM.

Ketika orasi di depan gedung KPK, kami mendesak kepada KPK untuk menindaklanjuti laporan masyarakat Cirebon terkait dugaan korupsi yang dilakukan orang nomor satu di Kabupaten Cirebon itu. Setelah berorasi di KPK, kami berangkat ke Mabes Polri untuk melakukan aksi yang sama. Kami tetap menyuarakan tuntutan agar dugaan korupsi yang dilakukan Dedi segera diusut tuntas. Supremasi hukum di Cirebon harus ditegakkan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Bupati Cirebon Dedi Supardi dilaporkan ke KPK dan Mabes Polri karena diduga terlibat korupsi miliaran rupiah. Dedi Supardi dilaporkan ke KPK dan Mabes Polri oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) Kab Cirebon. LSM ini menyampaikan pengaduan resminya ke KPK di Jakarta pada 30 Oktober 2007.

Dalam laporan itu, selama periode 2004-2005 Dedi telah menyelewengkan dana APBD sebesar 7 miliar. Sementara pada 2006, terdapat penyimpangan Rp 671 juta. Ini belum menghitung kasus-kasus lain, seperti dugaan penyelewengan dana bencana alam senilai 5 miliar, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang dianggap telah merugikan uang negara.

Tentu saja ini sangat menyesakkan rakyat Cirebon. Alih-alih dana tersebut dialokasikan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat Cirebon; meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan, membuka lapangan pekerjaan, Dedi malah menikmatinya untuk memperkaya diri sendiri. Ini harus dilawan karena telah melakukan penghianatan kepada rakyat!

Kami tetap berkeyakinan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang harus dihapuskan dari muka bumi ini. Korupsi tidak hanya menyengsarakan rakyat, melainkan telah membunuh harapan, impian, imajinasi, cita-cita, bahkan kehidupan jutaan orang, melebihi kejahatan perang.
Oleh karena itu, kami aliansi mahasiswa Cirebon yang tergabung dalam HIMA-CITA (Himpunan Mahasiswa Cirebon-Jakarta), dan seluruh elemen masyarakat Cirebon, meminta kepada pemerintah pusat, dalam hal ini KPK dan Mabes Polri untuk:

(1) Segera menindaklanjuti laporan masyarakat Cirebon terkait dugaan penyimpangan dan penyelewengan dana APBD yang dilakukan Bupati Cirebon, Drs. Dedi Supardi, MM.
(2) Mengusut tuntas dugaan korupsi yang dilakukan Drs. Dedi Supardi, MM
(3) Tegakkan supremasi hukum di Kabupaten Cirebon, khususnya, seluruh Indonesia pada umumnya.
(4) Tangkap dan adili pejabat-pejabat yang terbukti telah menyalahgunakan uang rakyat.


Ciputat, 19 Nopember 2007

Contact person:

Jamaluddin 081382505811
Akhwani 085281772031
Ahud 085219184443

Jumat, 16 November 2007

Perda Syariat dan Islam Kultural

Oleh Jamaluddin Mohammad

Akhir-akhir ini kita disuguhi fenomena “kebangkitan Islam” melalui upaya formalisasi Islam. Misalnya, dengan alasan Undang-Undang Otonomi Daerah, sejumlah daerah berlomba-lomba menerapkan peraturan daerah (Perda) syariat atau yang bernuansa syariat. Upaya pemerintah daerah ini, alih-alih menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi umat manusia), justru memunculkan Islam yang statis, hipokrasi keberagamaan, dan ketakutan.

Menurut penulis, fenomena tersebut bukanlah fenomena kebangkitan Islam. Sebab, Islam sudah mengakar kuat di Indonesia semenjak berabad-abad silam. Islam yang dibawa Walisongo dan ulama-ulama terdahulu ditangkap masyarakat Indonesia secara utuh, bahkan sudah menjadi bagian dari diri dan budaya mereka. Semenjak kehadirannya, Islam Indonesia tidak melalui bantuan negara untuk mendakwakan dan membakukan ajaran-ajarannya. Islam menghujam kuat dalam hati pemeluknya, dijaga dan disebarkan oleh ulama-ulama yang ikhlas dan para pedagang yang jujur.

Namun, Islam model perda syariat ini adalah Islam yang tidak ramah terhadap budaya lokal; Islam yang bercita-cita pada kekuasaan; dan mengaku sebagai Islam yang “paling benar” dan “otentik”. Untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, Islam model ini mengkampanyekan bahwa Islam adalah solusi (al-Islam hua al-hallu) yang bisa menyelesaikan segala persoalan hidup; Islam agama paripurna (QS Al-Maidah [05]: 03). Padahal Islam yang dimaksud adalah Islam yang diimpor secara telanjang dari Arab. Islam model ini tidak bisa membedakan antara ajaran Islam dan budaya Arab; antara nilai-nilai universal Islam dan partikularitas implementasi nilai-nilai universal itu.

Islam tidak lahir dari kesunyian. Ia senantiasa bersentuhan dengan tradisi-tradisi lokal tempat Islam hadir. Islam adalah agama yang mengalami historisasi. Islam datang guna menjawab realitas, sehingga sama sekali tidak bertentangan dengan realitas. Ini bisa dibuktikan dengan pilihan bahasa yang digunakan Al-Qur’an. Al-Qur’an turun dan dibacakan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab (QS Yusuf [12]: 02) karena nabi dan komunitasnya adalah orang Arab.

Pemilihan bahasa Arab bukan faktor kebetulan belaka. Juga bukan karena bahasa Arab dianggap superior dibanding bahasa lainnya. Sebab, setiap bahasa pada hakikatnya sama, dihasilkan dari konvensi manusia. Bahasa merepresentasikan budaya, di samping menandakan ciri dan karakteristik budaya itu sendiri. Ini menunjukkan Islam tidak lepas dari faktor budaya. Islam dibentuk sekaligus membentuk budaya. Bukankah Allah SWT tidak akan mengutus seorang rasul melainkan dengan bahasa kaumnya? (QS Ibrahim [14]: 04).

Karena itu, kita tidak bisa menyeragamkan penafsiran atau cara pandang seseorang terhadap agamanya. Kerja-kerja penafsiran selalu terkait dengan kondisi obyektif tempat penafsir hidup. Yang namanya penafsiran tidak bisa berlaku secara universal, tidak tersentuh oleh ruang dan waktu. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Makkah berbeda dengan ketika beliau berada di Madinah. Ini membuktikan elastisitas syariat Islam. Islam mampu berdialog dan beradaptasi dengan zaman, meskipun dengan corak dan warna berbeda-beda.

Disamping itu, setiap nabi atau rasul memiliki syariat, kitab suci, dan pengikut (kaum) masng-masing (QS Al-Maidah [05]: 48). Syariat yang di bawa Nabi Musa belum tentu sepenuhnya sama dengan syariat yang dimiliki Nabi Ibrahim, Nabi Isa, ataupun Nabi Muhammad SAW. Namun, secara prinsip, para nabi dan rasul akan bermuara pada titik ajaran sentral, yakni tauhid. Tauhid merupakan ajaran fundamental yang dibawa para nabi dan rasul. Syariat pra-Islam yang sekarang masih berlaku adalah puasa (QS Al-Baqarah [02]: 183), haji, kurban, dan lain-lain. Disamping itu, ada syariat yang sudah tidak berlaku lagi, seperti syariat Nabi Musa yang mewajibkan bunuh diri bagi orang yang melakukan dosa (Abdul Wahab Khalaf, 1978:93). Perubahan ini membuktikan elastisitas syariat. Di sini Islam mampu merespon dan berdialog dengan zaman sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pada masanya tanpa harus kehilangan nilai dan spirit dari ajaran-ajarannya.

Pada prinsipnya, substansi syariat Islam adalah kemaslahatan dan keadilan. Keduanya ajaran universal Islam. Sebab, kehadiran Islam bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam, melainkan untuk umat manusia secara keseluruhan (QS Al-Anbiya [21]: 107). Dan ini harus dibuktikan dengan membumikan syariat Islam yang humanistis, inklusif, toleran, dan menghargai segala bentuk perbedaan sebagai sunatullah yang tidak mungkin kita tolak.

Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh menyebut bahwa tujuan syariat Islam (maqasid al-syar’iyyah) ada tiga (Abu Zahrah, 1958:364). Pertama, mengarahkan/mendidik individu (tahdzibu al-fardi) agar menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat. Wujud kongkritnya ada dalam ibadah. Ibadah dapat mengarahkan/mendidik jiwa (tahdzib al-nufus) serta mempererat hubungan sosial. Dengan membiasakan beribadah, hati kita akan terbebas dari sifat permusuhan yang selama ini mengeram dalam hati kita, sehingga terciptalah hubungan sosial yang harmonis. Karena itu, kita patut mempertanyakan keabsahan ibadah seseorang yang mengaku beribadah tapi berbasiskan kebencian, permusuhan, apalagi dengan aksi-aksi kekerasan.

Kedua, menegakkan keadilan (iqamah al-‘adalah). Untuk mewujudkan keadilan yang bersifat universal, kita harus berangkat dari praanggapan bahwa setiap orang diciptakan dari tanah, dari keturunan yang sama (Adam), dan dari satu Tuhan, sehingga tidak ada superioritas antara satu dan lainnya. Prinsip egalitarian ini juga berlaku dalam hukum. Di hadapan hukum, tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, penguasa dan yang dikuasai, yang kuat dan yang lemah. Ketentuan seperti ini berlaku baik bagi muslim maupun nonmuslim.

Ketiga, kemaslahatan. Ini sebetulnya hakikat dan tujuan sentral syariat Islam. Dalam mempertimbangkan kemaslahatan, kita tidak boleh membedakan antara muslim dan nonmuslim. Dan sejatinya kemaslahatan itu akan kembali pada lima hal, yaitu menjaga agama (hifdzu al-dien), jiwa (hifdzu al-nafs), harta (hifdzu al-mal), akal (hifdzu al-aql), dan fungsi reproduksi (hifdzu al-nasl).

Ketiga landasan syariat di atas sepatutnya dijadikan parameter dalam memahami dan menggali ajaran-ajaran Islam. Tanpa memahami ketiga landasan itu, kita akan kehilangan semangat dan spirit yang sebetulnya hendak disampaikan Islam itu sendiri, yakni sebagai rahmat bagi umat manusia. Rahmat tidak bisa dipahami secara sempit hanya milik dan dari Allah SWT. Rahmat juga bisa berasal dari diri kita sendiri, dengan cara menawarkan Islam yang berorientasi dan berwawasan kemanusiaan.

Sejatinya Islam Indonesia adalah Islam yang tetap mempertahankan warna lokal (tradisi lokal) yang selama ini sudah terbangun. Tradisi, sebagaimana yang dikatakan Martin van Bruinessen, merupakan bagian integral Islam Indonesia, bukan suatu alat yang melawan islamisasi. Hubungan keduanya bersifat adaptif dan akomodatif (Afkar, No. 14/2003). Sebagaimana yang pernah dipraktikkan Walisongo, di antaranya Sunan Bonang, yang mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transendental. Begitu pula dengan Sunan Kalijaga yang memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Islam tidak harus identik, misalnya, dengan Arab, karena yang kearab-araban belum tentu Islam. Arabisasi hanya akan menyebabkan tercerabutnya nilai-nilai lokal yang sejalan dengan Islam. Yang terpenting adalah bagaimana agar budaya Islam itu kemudian mampu melakukan transformasi sosial, politik, dan ekonomi berdasarkan universalisme nilai Islam, tanpa harus kehilangan jati diri kita yang sebenarnya. Karena itu, kita harus menampilkan citra Islam yang berwawasan kebangsaan, bercorak keindonesiaan, yang ter-cover dalam Pancasila.


Koran Tempo, 27 Juli 2006

Rabu, 14 November 2007

Biksu, Agama dan Praksis Revolusioner



Oleh Jamaluddin Mohammad

Ternyata, di era modern seperti sekarang ini, agama masih memiliki cukup energi untuk melakukan pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas. Agama mampu mempelopori gerakan perlawanan terhadap penindasan, kekerasan, ketidakadilan dan eksploitasi yang dilakukan negara.


Aksi Protes yang dilakukan Biksu di Burma adalah contoh kongkrit betapa agama mampu melakukan praksis revolusioner, membela hak-hak kaum lemah, dan berjuangbersama mereka, demi terciptanya tatanan dunia baru yang berkeadilan.


Baru-baru ini dunia internasional dikejutkan oleh aksi protes ratusan ribu biksu dan warga sipil Myanmar terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dirasakan sebagian besar rakyat di sana mencekik leher. Namun, aksi demo berangsur-angsur mengarah pada perlawanan terhadap rezim junta militer yang sudah berkuasa selama 45 tahun itu.

Ternyata, di era modern seperti sekarang ini, agama masih memiliki cukup energi untuk melakukan pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas. Agama mampu mempelopori gerakan perlawanan terhadap penindasan, kekerasan, ketidakadilan dan eksploitasi yang dilakukan negara.

Aksi ini membawa memori kita pada revolusi Iran 1979 yang menumbangkan rezim otoritarian Syah Pehlevi dengan menggunakan kekuatan agama. Ini juga mengingatkan kita pada Gustavo Gutierez, pencetus dan pelopor Teologi Pembebasan asal Guatemala, yang memaknai teologi sebagai pembebasan spiritual dan sosio-kultural golongan yang dimarjinalkan oleh ‘pembangunan’.

Apa yang dilakukan para biksu juga dalam rangka bagaimana agar agama mampu memberikan empowering kepada ‘yang tertindas’ untuk melakukan perlawanan. Seperti yang kita ketahui, unjuk rasa dipicu oleh kenaikan BBM yang mencapai 500%. Tentu saja ini sangat memberatkan rakyat miskin yang ada di sana. Sehingga, para biksu merasa terpanggil untuk melakukan protes atas kebijakan yang tidak pro-rakyat tersebut. “Kami unjuk rasa untuk rakyat,” tutur seorang biksu dari Aliansi Seluruh Biksu Burma.

Aksi protes para biksu ini tentu saja sangat menarik tidak hanya karena dilakukan oleh ‘pemuka agama’, melainkan isu yang diangkat pun berkenaan dengan ‘isu-isu kerakyatan’ yang biasanya tidak pernah dihubungkan dengan persoalan agama. Umumnya, aksi yang melibatkan kaum agamawan adalah ketika berkenaan dengan simbol dan sentimen-sentimen keagamaan.

Karena itu, agama tidak boleh dipisahkan dari realitas sosial yang melahirkannya. Semenjak awal kelahirannya, agama selalu berangkat dari problem-problem sosial dan selalu berorientasi pada kemanusiaan. Ketika agama tidak lagi berjangkar pada realitas, agama akan mandul dan tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih ketika dihadapkan pada ketimpangan-ketimpangan, baik sosial, ekonomi maupun politik, yang terjadi di tengah masyarakat.

Agama dan praksis revolusioner

Realitas masyarakat dunia saat ini terbagi menjadi dua: penguasa/yang dikuasai, kaya/miskin, kuat/lemah, dan seterusnya. Relasi keduanya acap kali diwarnai ketidakadilan. Kerena itu, selaku pembawa misi keadilan, agama harus berpihak dan berada pada posisi yang kedua. Agama harus bisa meredam ketegangan-ketegangan dan konflik yang menyertai keduanya.

Dalam Islam, keadilan bertolak dari ‘pandangan dunia tauhid’. Artinya, semuaberasal dan kembali kepada Allah swt. Tauhid, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, bukan dalam arti yang umum dipahami umat Islam, yakni pengingkaran terhadap politeisme. Tauhid di sini dimaknai sebagai ‘totalitas kehidupan’. Karena itu, dalam masyarakat tauhid, tidak dibenarkan diskriminasi atau penindasan atas nama ras, agama, kasta, maupun kelas, bahkan tidak ada perbedaan antara spiritual dan material (Shimogaki, 2004).

Berangkat dari pandangan dunia tauhid seperti di atas, agama akan kembali memperoleh kekuatannya. Agama tidak lagi dimonopoli hanya dan kembali pada ‘kepentingan’ Tuhan, seperti yang terjadi dalam teologi skolastik. Agama justeru akan menemukan momentumnya dalam gerakan dan perjuangan rakyat melawan ketidakadilan, penindasan, kekerasan, eksploitasi dan sebagainya, karena secara prinsipil berlawanan dengan semangat tauhid.

Tauhid dalam maknanya yang ‘baru’ ini bisa dijadikan inspirasi dan spirit untuk melakukan tranformasi sosial yang berkeadilan, kemaslahatan, kebebasan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Di sini agama tampil dan ikut terlibat dalam kehidupan sosial dan politik, dengan tauhid sebagai inspirasi dan sepirit utamanya.


Kita bisa belajar dari aksi para biksu yang melakukan protes dan melawan ketidakadilan kendatipun harus dibayar dengan darah dan nyawa. Aksi ini sebetulnya membawa pesan sekaligus kritik terhadap mayoritas agama-agama yang lebih memilih ‘posisi aman’ di tengah situasi sosial-kultur yang timpang dan korup.

Agama yang membiarkan situasi ketidakadilan dan penindasan adalah agama kaum elit (agama pro status quo). Agama seperti ini tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat untuk membius, membodohi dengan janji-janji eskatalogis, melanggengkan situasi penindasaan, dan ‘candu’ masyarakat.

Sebaliknya, agama rakyat tumbuh bersama-sama rakyat untuk melakukan perubahan, melawan ketidakadilan, penindasan, dan membongkar kepercayaan-kepercayaan semu (janji-janji eskatalogis), sebagaimana yang tengah dilakukan oleh para biksu di Myanmar melawan rezim junta militer pimpinan jenderal besar Than Shwe. Selamat berjuang, pahlawan rakyat!