Oleh: Jamaluddin Mohammad
Baru-baru ini kekerasan atas nama “agama” kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh Negara (Kejaksaan Agung). Ahmadiyah dicap “sesat” oleh Negara sehingga tidak boleh hidup di Indonesia.
Nampaknya, beberapa tahun terkahir ini Indonesia menjadi lahan subur bagi tumbuhnya aliran-aliran “sesat”. Setelah Ahmadiayah, komunitas Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, entah aliran apalagi yang akan diadili Negara.
Ternyata, agama tidak hanya berputar-putar pada wilayah penafsiran, melainkan sudah masuk ke lingkaran kekuasaan. Sehingga, yang terjadi adalah perebutan “makna agama”. Antara satu dan lainnya saling menghegemoni, mendominasi, dan mendzalimi.
Ini yang terjadi di Indonesia: ada Islam versi Negara dan Islam versi masyarakat awam (rakyat). Masing-masing meyakini “kebenaran” yang dipeluknya. Dalam Islam, perbedaan “kebenaran” adalah keniscayaan. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak membawa satu “kebenaran”.
Islam merupakan kumpulan “kebenaran” yang sudah ada sebelumnya. “Kebenaran-kebenaran” itu dirawat dan dikumpulkan dalam satu “mangkuk” bernama Islam, namun unsur-unsur perbedaanya tetap dibiarkan dan dipelihara. Karena itu, Islam sangat-sangat menghargai perbedaan.
Yang menjadi problem adalah, apabila “kebenaran” itu dikontrol, diawasi, didisiplinkan oleh regim yang berkuasa. Maka, yang terjadi adalah “kanonisasi kebenaran”, pemusatan kebenaran. “Kebenaran” akan berubah menjadi “pembenaran”. Sebagaimana fatwa “sesat” yang dikeluarkan MUI. Dengan fatwa itu, MUI berubah menjadi semacam “melting pot” (panci pelebur) yang mencoba menyeragamkan “Islam” sesuai penafsiran mereka.
Fatwa MUI sangat berbahaya mengingat realitas masyarakat kita adalah multikultural. Kita tidak bisa menunggalkan cara pandang (penafsiran), penghayatan, dan pengamalan orang terhadap “Islam”. Terbukti, setelah “Islam” dikonsumsi oleh publik, warna dan tampilannya berbeda-beda, sesuai dengan pemahaman dan pengalaman orang maupun kelompok masing-masing. Ada Komunitas Lia Eden, Jakarta, Komunitas Nurul Yaqin, Banten, Islam Sejati di Jember, Jawa Timur, dll.
Begitu juga ketika “agama” dipahami oleh masyarakat pedalaman, maka akan melahirkan Agama Kaharingan di Kalimantan, Agama Parmalim di Sumatera Utara, Agama Djawi Sunda di Cigugur, Jawa Barat, dan masih banyak lagi. Kita tidak bisa menafikan eksistensi mereka. Apalagi mengeluarkan fatwa “sesat” untuk menghakimi mereka. Ini tidak adil!
Apakah agama perlu diresmikan Negara?
Negara sebaiknya tidak usah ikut campur dalam urusan agama. Ketika Negara ikut mengutak-atik agama, agama tidak netral lagi. Ia menjadi alat kuasa Negara.
Agaknya ini yang menjadi kekhawatiran orang seperti Soekarno ketika merumuskan dasar Negara Republik Indonesia. Dalam sidang BPUPKI Soekarno mengusulkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila kelima, dan bukan sebagai sumber moral bagi sila-sila lainnya. Bahkan Soekarno dapat memeras 5 sila menjadi 2 sila, yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Atau hanya menjadi ekasila yaitu Gotong Royong (Syafii Maarif, 1987:104).
Soekarno bukan berarti alergi terhadap agama. Agama tetap penting dan tetap menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Namun, ketika ditarik dalam wilayah publik, simbol-simbol dan institusi-institusi keagamaan harus dilucuti. Tujuannya, agar tercipta kesetaraan dan keadilan, terlepas dari diskriminasi dan kekerasan atas nama agama, seperti yang dialami Jamaah Ahmadiyyah akhir-akhir ini.
Setiap orang atau kelompok punya pemahaman dan pengamalan keagaamaan berdasarkan konteks budaya dan sejarahnya sendiri-sendiri. Pendek kata, beragama bukanlah melalui sesuatu yang berada di luar diri manusia, tapi berasal dari dalam manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, (ber)agama tidak butuh pengakuan, pengabsahan, dan penertiban dari institusi keagamaan apalagi Negara. Karena itu, instiusi-institusi keagamaan seperti MUI mutlak tidak diperlukan lagi.
Butuh dialog dan rekonsiliasi
Untuk mengendurkan ketegangan yang terjadi antar paham keagamaan, maka perlu ditanamkan pemahaman multikulturalisme. Multikulturalisme berbeda dengan pluralime yang hanya sekadar mengakui dan meniscayakan tentang keanekaragaman, kemajemukan atau kebhinekaan (Ahmad Baso, 2002:97).
Oleh karena itu, untuk mendudukkan semua aliran-aliran yang tersebar di Indonesia, dibutuhkan dialog dan rekonsiliasi. Namun sebelum itu, Negara harus bisa menjamin hak-hak kultural masyarakat lokal, melindungi dan memposisikan secara sejajar, tanpa berpretensi untuk menghukumi atau menghakimi. Dengan kata lain, Negara harus mengakui kenyataan multikultural yang ada di masyarakat sekaligus menjamin hak-hak dan kebebasan yang ada di dalamnya.
Tanpa ada perlindungan dan jaminan kebebasan dari Negara, dialog dan rekonsiliasi antar aliran/agama tidak akan bisa terwujud. Akibatnya, fenomena kekerasan atas nama “agama” akan terus mewarnai bangsa ini. Kita akan gagal menjadi bangsa yang besar, yang menghargai perbedaan sebagai kenyataan bukan ancaman.
Minggu, 20 Januari 2008
Rabu, 02 Januari 2008
Takdir Manusia
Refleksi Tahun Baru
Oleh Jamaluddin Mohammad
Ada beberapa persoalan yang mengendap dalam pikiran saya selama setahun belakangan. Terutama yang terkait dengan kepemimpinan SBY-JK. Sepanjang pemerintahan SBY-JK, Indonesia di dera pelbagai macam musibah dan bencana:tsunami dan gempa bumi, kecelakaan kapal terbang, kereta api, kapal laut, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, gunung meletus, sampai lumpur lapindo.
Pemerintahan SBY-JK juga masih mewarisi patalogi kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan segudang penyakit bangsa lainnya. Nampaknya, di bawah kendali SBY-JK, Indonesia masih belum beranjak dari posisi semula. Problem yang menghimpit bangsa ini masih berputar-putar dalam pusaran yang sama.
Ada dua sudut pandang teologis untuk membaca problem bangsa Indonesia. Pertama, pandangan Jabariyah yang mengatakan bahwa problem yang mengepung bangsa Indonesia adalah “takdir Tuhan”. Sejak permulaan waktu yang tidak dapat dipastikan (zaman azali), Tuhan punya rencana dan sekenario untuk bangsa Indonesia. Manusia Indonesia hanya bisa bergerak dan mengikuti berdasarkan rencana dan sekenario itu. Kita tidak boleh usul, protes, apalagi berkeinginan untuk merubahnya.
Sudut pandang kedua berkebalikan dengan yang pertama. Mereka menyebut bahwa Tuhan tidak ikut campur dengan persoalan yang menimpa bangsa Indonesia. Manusia Indonesia sendiri yang menyusun rencana, berbuat dan bertindak. Apa yang dialami bangsa Indonesia saat ini merupakan buah dari rencana, tindakan, dan perbuatan itu. Dengan kata lain, problem bangsa Indonesia bukanlah “takdir Tuhan”, melainkan “takdir manusia”. Mereka disebut Qadariyah.
Dari kedua sudut pandang (cara berpikir) di atas melahirkan tindakan dan penyelesaian yang berbeda-beda. Yang pertama cenderung statis, menunggu dan menerima segala tantangan-tantangan dan kejadian-kejadian yang datang dari luar. Sangking besarnya perhatian mereka terhadap “kekuasaan Tuhan”, sehingga tidak menyisihkan sedikitpun, bahkan menafikan “kekuasaan manusia”. Cara berpikir seperti ini menghinggapi banyak orang Indonesia.
Sementara yang kedua cenderung aktif, progresif, dan menganggap segala sesuatu sebagai “kemungkinan-kemungkinan” yang harus terus dihadapi dan diperbaharui. Apa yang disebut orang sebagai “takdir Tuhan” sebetulnya hanya bagian dari hukum alam yang diciptakan Tuhan. Dengan belajar dan mempelajari hukum alam, manusia bisa menciptakan takdirnya sendiri.
Karena itu, menurut pandangan Qadariyah, musibah dan bencana yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini bukanlah muncul secara tiba-tiba dan tanpa sebab sama sekali. Ia diakibatkan oleh keserakahan manusia ketika berhadapan dengan alam. Begitu juga ketika menghadapi problem-problem kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, adalah diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam mendesain sekenario yang tepat untuk bangsa Indonesia.
Lantas, apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia di tahun 2008 ini? Indonesia butuh manusia-manusia yang bisa menciptakan takdirnya sendiri: orang-orang yang kreatif, inovatif, progresif, dan berani menghadapi kenyataan sebagai sebuah kemungkinan yang menuntut untuk terus dihadapi dan diperbaharui. Wallahu a’lam bi sawab.
Oleh Jamaluddin Mohammad
Ada beberapa persoalan yang mengendap dalam pikiran saya selama setahun belakangan. Terutama yang terkait dengan kepemimpinan SBY-JK. Sepanjang pemerintahan SBY-JK, Indonesia di dera pelbagai macam musibah dan bencana:tsunami dan gempa bumi, kecelakaan kapal terbang, kereta api, kapal laut, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, gunung meletus, sampai lumpur lapindo.
Pemerintahan SBY-JK juga masih mewarisi patalogi kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan segudang penyakit bangsa lainnya. Nampaknya, di bawah kendali SBY-JK, Indonesia masih belum beranjak dari posisi semula. Problem yang menghimpit bangsa ini masih berputar-putar dalam pusaran yang sama.
Ada dua sudut pandang teologis untuk membaca problem bangsa Indonesia. Pertama, pandangan Jabariyah yang mengatakan bahwa problem yang mengepung bangsa Indonesia adalah “takdir Tuhan”. Sejak permulaan waktu yang tidak dapat dipastikan (zaman azali), Tuhan punya rencana dan sekenario untuk bangsa Indonesia. Manusia Indonesia hanya bisa bergerak dan mengikuti berdasarkan rencana dan sekenario itu. Kita tidak boleh usul, protes, apalagi berkeinginan untuk merubahnya.
Sudut pandang kedua berkebalikan dengan yang pertama. Mereka menyebut bahwa Tuhan tidak ikut campur dengan persoalan yang menimpa bangsa Indonesia. Manusia Indonesia sendiri yang menyusun rencana, berbuat dan bertindak. Apa yang dialami bangsa Indonesia saat ini merupakan buah dari rencana, tindakan, dan perbuatan itu. Dengan kata lain, problem bangsa Indonesia bukanlah “takdir Tuhan”, melainkan “takdir manusia”. Mereka disebut Qadariyah.
Dari kedua sudut pandang (cara berpikir) di atas melahirkan tindakan dan penyelesaian yang berbeda-beda. Yang pertama cenderung statis, menunggu dan menerima segala tantangan-tantangan dan kejadian-kejadian yang datang dari luar. Sangking besarnya perhatian mereka terhadap “kekuasaan Tuhan”, sehingga tidak menyisihkan sedikitpun, bahkan menafikan “kekuasaan manusia”. Cara berpikir seperti ini menghinggapi banyak orang Indonesia.
Sementara yang kedua cenderung aktif, progresif, dan menganggap segala sesuatu sebagai “kemungkinan-kemungkinan” yang harus terus dihadapi dan diperbaharui. Apa yang disebut orang sebagai “takdir Tuhan” sebetulnya hanya bagian dari hukum alam yang diciptakan Tuhan. Dengan belajar dan mempelajari hukum alam, manusia bisa menciptakan takdirnya sendiri.
Karena itu, menurut pandangan Qadariyah, musibah dan bencana yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini bukanlah muncul secara tiba-tiba dan tanpa sebab sama sekali. Ia diakibatkan oleh keserakahan manusia ketika berhadapan dengan alam. Begitu juga ketika menghadapi problem-problem kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, adalah diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam mendesain sekenario yang tepat untuk bangsa Indonesia.
Lantas, apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia di tahun 2008 ini? Indonesia butuh manusia-manusia yang bisa menciptakan takdirnya sendiri: orang-orang yang kreatif, inovatif, progresif, dan berani menghadapi kenyataan sebagai sebuah kemungkinan yang menuntut untuk terus dihadapi dan diperbaharui. Wallahu a’lam bi sawab.
Langganan:
Postingan (Atom)