Rabu, 12 November 2014

Belajar Menghargai (ke)Pahlawan(an) Santri

“Jika tidak karena sikap kaum pesantren, maka gerakan patriotisme kita tak sehebat seperti sekarang” (Douwes Dekker)

Sejak zaman kolonial bibit-bibit nasionalisme sudah ditanamkann ke dalam dada-dada para santri. Salah satunya, kiai melarang santrinya meniru (tasyabbuh) budaya Eropa yang dibawa Belanda, seperti memakai dasi dan celana panjang. Seluruh keluarga kiai menolak sekolah di sekolahan Belanda. Sarung dan kopiah, waktu itu, adalah simbol perlawanan.

Karena itu, pesantren menjadi basis perjuangan dan perlawanan terhadap kolonialisme-imperialisme. Begitu memasuki revolusi kemerdekaan, pesantren-pesantren secara serentak bergerak melawan, seperti yang ditunjukkan dalam 10 Nopember 45. Sumbu perlawanannya sudah dipasang. Tinggal dinyalakan saja.

Kiai Saefuddin Zuhri, pejuang dan mantan menteri agama di era Sukarno, menulis kesaksian sejarah di bukunya “Guruku Orang-Orang Pesantren”:

“Sejak Proklamasi 17 Agustus 45, pondok pesantren menjadi markas-markas ‘Hizbullah-Sabililah’. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian tentang caranya menggunakan karaben, mortir, dan cara bertempur dalam medan-medan pertempuran”.

Pucaknya terjadi pada 10 Nopember 45. Laskar santri yang tergabung dalam “Hizbullah-Sabilillah”, dipompa oleh semangat Jihad membela NKRI, berangkat berperang melawan sekutu, mempertahankan Surabaya.

Fakta menarik di balik pertempuran 10 Nopember 45, bahwa sekutu (Inggris dkk) adalah pemenang perang dunia ke-II, tetapi dua jenderal terbaiknya tewas di Surabaya (Brigadir Jenderal Mallaby dan Mayor Jenderal Robert Mansergh). Janji sekutu akan menguasai Surabaya dalam tiga hari, ternyata dalam sebulan Surabaya belum bisa ditaklukkan.

Mengapa dan ada apa? Jawabnya adalah “Resolusi Jihad” kaum santri. Tanpa Resolusi Jihad, perang 10 Nopember yang menyita perhatian dunia itu mungkin takkan sedahsyat yang sudah terjadi. Tentara sekutu yang didukung prajurit terlatih, peralatan dan persenjataan militer canggih itu tak akan menganggap remeh bangsa dan rakyat Indonesia yang hanya bermodal senjata rampasan perang. (Bayangkan jika tentara Indonesia sudah didukung peralatan militer canggih?)

Sayangnya, pasca kemerdekaan, jasa besar santri memerdekakan negeri ini tak diapresiasi dengan baik. Buku-buku “sejarah resmi” yang diajarkan di sekolah-sekolah tak banyak menyebut keterlibatan tokoh-tokoh santri. Pengaburan sejarah secara halus dan pelan-pelan ditanamkan kepada generasi muda kita yang tak tahu sejarah.

Penghargaan negara terhadap pondok pesantren pun seolah sepi-sepi saja. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren baru diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional pada tahun 2003 (UU Sisdiknas).

Dalam Kementrian Agama, pondok pesantren baru masuk di era Gus Dur dan sampai sekarang pun masih berada di pojokkan sempit (Subdit Pontren). Anggaran negera untuk pengelolaan pesantren nol koma persen dibanding lembaga-lembaga pendidikan warisan Belanda.

Dibutuhkan political will pemerintah untuk memperhatikan lembaga pendidikan khas nusantara ini. Jika Indonesia ingin maju dan bermartabat, perhatikan dan kelola pondok pesantren. Insya Allah jaya!

Twitter @Jamal_Moh

Tidak ada komentar: