gambar Bendera Macan Ali (Simbol Kejayaan Cirebon)
Oleh: Jamaluddin Mohammad
Cirebon pernah menjadi pusat peradaban Islam. Berawal dari kota ini Islam menyebar di tanah Jawa, khususnya Jawa Barat. Di kota ini pula pernah berdiri kerajaan Islam yang dipimpin oleh salah satu wali sembilan (Wali Songo) bernama Syarif Hidayatullah. Atas jasa Sunan Gunung Jati—begitu orang Cirebon menyebut—Cirebon berhasil menjadi salah satu Kerajaan Islam yang memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam.
Tulisan ini akan sedikit memaparkan metode dan model dakwah yang dipakai Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam. Ini penting kita munculkan kembali sebab akhir-akhir ini banyak bermunculan “Islam puritan” yang menolak model Islam yang di bawa Wali Songo. Islam purritan menganggap bahwa Islam yang ada di Indonesia masih dipenuhi nilai-nilai dan ajaran yang datang bukan dari "Islam". Sehingga mereka berambisi untuk "mengislamkan" kembali.
Padahal sukses besar Wali Songo dalam mengislamkan tanah Jawa tidak lepas dari ketepatan metode dan model dakwah yang mereka gunakan, di samping kedalaman pemahaman keislaman mereka tentunya. Para wali juga berhasil menyajikan Islam "khas Indonesia" yang menghujam kuat dalam hati pemeluk-pemeluknya. Bukan Islam yang sarat dan khas dengan simbol-simbol kearaban tetapi kering dengan nilai-nilai dan penghayatan. Lantas, apa sebetulnya kunci keberhasilan Wali Songo—dalam hal ini Gunung Jati—sehingga Islam mudah diterima masyarakat dan menyebar dengan sangat cepat?
Pola dan metode dakwah Sunan Gunung Jati
Cirebon pernah menjadi pusat peradaban Islam. Berawal dari kota ini Islam menyebar di tanah Jawa, khususnya Jawa Barat. Di kota ini pula pernah berdiri kerajaan Islam yang dipimpin oleh salah satu wali sembilan (Wali Songo) bernama Syarif Hidayatullah. Atas jasa Sunan Gunung Jati—begitu orang Cirebon menyebut—Cirebon berhasil menjadi salah satu Kerajaan Islam yang memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam.
Tulisan ini akan sedikit memaparkan metode dan model dakwah yang dipakai Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam. Ini penting kita munculkan kembali sebab akhir-akhir ini banyak bermunculan “Islam puritan” yang menolak model Islam yang di bawa Wali Songo. Islam purritan menganggap bahwa Islam yang ada di Indonesia masih dipenuhi nilai-nilai dan ajaran yang datang bukan dari "Islam". Sehingga mereka berambisi untuk "mengislamkan" kembali.
Padahal sukses besar Wali Songo dalam mengislamkan tanah Jawa tidak lepas dari ketepatan metode dan model dakwah yang mereka gunakan, di samping kedalaman pemahaman keislaman mereka tentunya. Para wali juga berhasil menyajikan Islam "khas Indonesia" yang menghujam kuat dalam hati pemeluk-pemeluknya. Bukan Islam yang sarat dan khas dengan simbol-simbol kearaban tetapi kering dengan nilai-nilai dan penghayatan. Lantas, apa sebetulnya kunci keberhasilan Wali Songo—dalam hal ini Gunung Jati—sehingga Islam mudah diterima masyarakat dan menyebar dengan sangat cepat?
Pola dan metode dakwah Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati memiliki jasa besar dalam mengislamkan tanah Jawa, khususnya Pasundan. Ini terkait dengan metode dan model dakwah Kanjeng Sunan yang berhasil memadukan antara Agama, tradisi Islam, dan budaya lokal. Unsur-unsur budaya Islam disesuaikan dan dipadukan dengan unsur-unsur budaya lokal (wisdom lokal), sehingga masyarakat dapat menerima agama Islam tanpa merasakan adanya perubahan kebudayaan.
Corak kerajaan dan konsep kekuasaan yang dibangun Kanjeng Sunan pun merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang memang lebih dulu hadir di Nusantara. Dalam tradisi Hindu-Budha, seseorang akan mendapat kepercayaan rakyat untuk menjadi seorang raja apabila ia mempunyai kekuatan suci atau gaib serta memiliki kedekatan dengan Tuhan melalui wahyu (ilham) atau cahaya. Cahaya tersebut berbentuk pulung keraton. Seseorang akan berkuasa selama ia memiliki pulung tersebut. Jika pulung tersebut pindah atau hilang, dinasti akan runtuh.
Selain itu, untuk melegitimasi kekuasaannya, seorang raja akan menggunakan gelar-gelar yang menunjukkan kebesarannya, seperti sunan atau susuhan (yang dijunjung tinggi), mengangkat dirinya sebagai khalifah, dan memiliki lambang-lambang kekuasaan, seperti benda-benda pusaka.
Kepercayaan yang sudah berurat berakar di masyarakat itu dimanfaatkan oleh Kanjeng Sunan dalam mengemban misi keagamaan. Islam yang di bawa Kanjeng Sunan tidak serta merta membabat habis warisan dan kebudayaan yang sudah mengakar di masyarakat. Justeru Islam mampu mendamaikan dan mengharmoniskan antara dua kekuatan itu (tradisi lokal dan tradisi Islam), yang selanjutnya dijadikan modal dalam melakukan islamisasi.
Model dakwah seperti ini adalah karakteristik dakwah yang dilakukan wali songo. Para wali seringkali melakukan kegiatan dakwah dengan menyesuaikan ajarannya dengan keadaan masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku. Unsur-unsur Islam dipadukan dengan unsur-unsur budaya yang sebelumnya telah ada. Tujuannya agar agama Islam mudah diterima masyarakat.
Contoh adanya proses asimilasi dan akulturasi itu adalah penggunaan wayang kulit sebagai media dakwah, penggunaan gamelan yang merupakan alat musik khas Jawa untuk mengiringi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW., berlangsung tradisi berziarah ke makam orang tua atau nenek moyang. Tradisi ini oleh kebudayaan Indonesia lama dan kebudayaan Hindu berupa tradisi pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
Model Islam yang ditawarkan kanjeng syeh adalah Islam yang menghendaki perbaikan dan perubahan umat manusia, bukan Islam yang berhenti hanya sebatas pada simbol dan terjebak pada formalisasi agama. Islam diabdikan untuk kepentingan rakyat bukan penguasa; Islam yang tidak berbaju politik melainkan Islam yang senantiasa bersentuhan dengan kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Dalam urusan kenegaraan, kebijakan pemerintahan yang dipimpin kanjeng syeh lebih berpihak pada golongan lemah (mustad’afien) dengan berlandaskan pada agama sebagai sumber sekaligus kekuatan transformasi sosial. Dalam berdakwah, kanjeng syeh lebih mengedepankan nilai dan substansi syariat Islam, yakni kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Isi wasiat kanjeng syeh yang terkenal “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin” (saya titip mushola dan fakir miskin) semakin menegaskan bahwa beliau merupakan sosok pemimpin yang peduli, memiliki keberpihakan serta bertanggung jawab terhadap nasib kaum lemah dan terpinggirkan
Nah, untuk mengenang dan membumikan apa yang sudah dilakukan Sunan Gunung Jati, orang menyebut Cirebon sebagai Kota Wali. “Cirebon Kota Wali” merupakan cita-cita dan harapan besar masyarakat Cirebon dalam membumikan semangat dan nilai-nilai dakwah yang di kembangkan para wali, khususnya kanjeng syeh Syarif Hidayatullah. Dalam dirinya terkandung falsafah untuk membangun dan mencita-citakan Cirebon yang berkeseusuaian dengan visi dan misi kenabian dan ke-wali-an, yakni menebar rahmat begi seluruh umat manusia. Cita-cita seperti itu akan terus hidup dalam alam bawah sadar mayarakat Cirebon sehingga mewujud dalam alam nyata. Wallahu a’lam bi sawab
Corak kerajaan dan konsep kekuasaan yang dibangun Kanjeng Sunan pun merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang memang lebih dulu hadir di Nusantara. Dalam tradisi Hindu-Budha, seseorang akan mendapat kepercayaan rakyat untuk menjadi seorang raja apabila ia mempunyai kekuatan suci atau gaib serta memiliki kedekatan dengan Tuhan melalui wahyu (ilham) atau cahaya. Cahaya tersebut berbentuk pulung keraton. Seseorang akan berkuasa selama ia memiliki pulung tersebut. Jika pulung tersebut pindah atau hilang, dinasti akan runtuh.
Selain itu, untuk melegitimasi kekuasaannya, seorang raja akan menggunakan gelar-gelar yang menunjukkan kebesarannya, seperti sunan atau susuhan (yang dijunjung tinggi), mengangkat dirinya sebagai khalifah, dan memiliki lambang-lambang kekuasaan, seperti benda-benda pusaka.
Kepercayaan yang sudah berurat berakar di masyarakat itu dimanfaatkan oleh Kanjeng Sunan dalam mengemban misi keagamaan. Islam yang di bawa Kanjeng Sunan tidak serta merta membabat habis warisan dan kebudayaan yang sudah mengakar di masyarakat. Justeru Islam mampu mendamaikan dan mengharmoniskan antara dua kekuatan itu (tradisi lokal dan tradisi Islam), yang selanjutnya dijadikan modal dalam melakukan islamisasi.
Model dakwah seperti ini adalah karakteristik dakwah yang dilakukan wali songo. Para wali seringkali melakukan kegiatan dakwah dengan menyesuaikan ajarannya dengan keadaan masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku. Unsur-unsur Islam dipadukan dengan unsur-unsur budaya yang sebelumnya telah ada. Tujuannya agar agama Islam mudah diterima masyarakat.
Contoh adanya proses asimilasi dan akulturasi itu adalah penggunaan wayang kulit sebagai media dakwah, penggunaan gamelan yang merupakan alat musik khas Jawa untuk mengiringi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW., berlangsung tradisi berziarah ke makam orang tua atau nenek moyang. Tradisi ini oleh kebudayaan Indonesia lama dan kebudayaan Hindu berupa tradisi pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
Model Islam yang ditawarkan kanjeng syeh adalah Islam yang menghendaki perbaikan dan perubahan umat manusia, bukan Islam yang berhenti hanya sebatas pada simbol dan terjebak pada formalisasi agama. Islam diabdikan untuk kepentingan rakyat bukan penguasa; Islam yang tidak berbaju politik melainkan Islam yang senantiasa bersentuhan dengan kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Dalam urusan kenegaraan, kebijakan pemerintahan yang dipimpin kanjeng syeh lebih berpihak pada golongan lemah (mustad’afien) dengan berlandaskan pada agama sebagai sumber sekaligus kekuatan transformasi sosial. Dalam berdakwah, kanjeng syeh lebih mengedepankan nilai dan substansi syariat Islam, yakni kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Isi wasiat kanjeng syeh yang terkenal “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin” (saya titip mushola dan fakir miskin) semakin menegaskan bahwa beliau merupakan sosok pemimpin yang peduli, memiliki keberpihakan serta bertanggung jawab terhadap nasib kaum lemah dan terpinggirkan
Nah, untuk mengenang dan membumikan apa yang sudah dilakukan Sunan Gunung Jati, orang menyebut Cirebon sebagai Kota Wali. “Cirebon Kota Wali” merupakan cita-cita dan harapan besar masyarakat Cirebon dalam membumikan semangat dan nilai-nilai dakwah yang di kembangkan para wali, khususnya kanjeng syeh Syarif Hidayatullah. Dalam dirinya terkandung falsafah untuk membangun dan mencita-citakan Cirebon yang berkeseusuaian dengan visi dan misi kenabian dan ke-wali-an, yakni menebar rahmat begi seluruh umat manusia. Cita-cita seperti itu akan terus hidup dalam alam bawah sadar mayarakat Cirebon sehingga mewujud dalam alam nyata. Wallahu a’lam bi sawab
1 komentar:
Terus berjuang saudaraku. Gunakan FAST sebagai metode, yaitu: Fathonah, Amanah, Shiddiq, dan Tabligh.
Untuk sharing silahkan klik http://sosiologidakwah.blogspot.com
Posting Komentar