Oleh Jamaluddin Mohammad
"Masyarakat kita mewarisi seksualitas zaman Victoria yang bercirikan menahan diri, diam, munafik, dan malu-malu"
[Michel Faucault]
"Masyarakat kita mewarisi seksualitas zaman Victoria yang bercirikan menahan diri, diam, munafik, dan malu-malu"
[Michel Faucault]
Ibarat anggur lama yang berganti botol, diskursus RUU APP [Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi] yang pertama kali muncul pada 1999, kini mencuat kembali. Hampir setiap media massa, baik cetak maupun elektronik, memuat pro-kontra penerapan undang-undang yang masih digodog itu. Sampai tulisan ini dibuat, RUU APP masih menjadi bahan perdebatan; apakah diundangkan atau tidak. RUU APP tidak hanya menyedot perhatian agamawan, para seniman, artis, penyanyi, bahkan dinas pariwisata pun ikut terlibat dalam perdebatan itu.
Sebelum kita menelisik lebih jauh, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu definisi pornografi dan pornoaksi yang tertulis dalam RUU tersebut, karena menurut saya disinilah titik persoalan yang sesunggugnya. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan: "Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika". Sedangkan definisi pornoaksi menurut pasal 1 ayat 2 adalah: "Perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Kita bisa mendekati RUU APP dari pelbagai perspektif, baik agama, sosial, politik, bahkan budaya. Pembacaan terhadap RUU itu pun multitafsir. Sebab, RUU APP berhubungan dan erat kaitannya dengan hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau saja RUU itu jadi diundangkan, hampir seluruh aktifitas kehidupan kita mendapat sensor ketat negara, seakan tidak ada celah untuk menghindar apalagi bersembunyi.
Kita ibarat hidup di dalam barak penjara, dan RUU itu sebagai menara yang selalu mengawasi dan memperhatikan segala aktifitas orang yang ada di dalamnya. Hak dan otonomi tubuh kita hampir-hampir tidak memiliki kebebasan sama sekali. Dan celakanya, yang dipenjarakan oleh RUU tersebut adalah tubuh dan pikiran kita, sehingga bukan humanisasi, melainkan dehumanisasi.
Untuk memperkaya kajian kita tentang RUU tersebut, alangkah baiknya kita kutip sejarah seksualitas yang pernah ditulis Michael Foucault. Sebab, menurut filsuf asal Prancis itu, pandangan tentang seksualitas mengalami pergulatan sejarah yang cukup panjang. Seksualitas tidak lepas dari perselingkuhan pengetahuan dan kekuasaan. Seksualitas, menurut Foucault, memiliki sejarahnya sendiri. Ia tidak muncul dari kesunyian dan ruang kosong. Seksualitas berbicara sekaligus dibicarakan lewat zamannya. Tetapi ia tidak berbicara sendiri melainkan dibicarakan, dikontrol dan diatur oleh kekuasaan pada saat itu.
Pada zaman Yunani-Romawi, persepsi tentang seksualitas memiliki ciri tersendiri. Dan saya kira perlu dicatat bahwa prilaku masyarakat Yunani-Romawi didasarkan pada sebuah etika yang tidak bersumber dari agama atau keyakinan-keyakinan tertentu yang bersifat transendental. Menurut Foucault, substansi etika di masa itu tercermin dalam istilah epimelia heautau, yakni suatu kewaspadaan seseorang akan penjagaan diri sendiri. Atau suatu sikap mawas diri atau mawas tingkah laku dan penuh perhatian seseorang terhadap sesuatu yang dikerjakannya.
Jadi, parameter yang digunakan masyarakat Yunani-Romawi dalam hal etika adalah epimelia heautau. Dalam mencapai kondisi epimelia heautau ini masyarakat Yunani-Romawi tidak mengenal adanya suatu sistem moral baku yang mengharuskan mereka bertingkah laku sama. Tidak ada koodifikasi pakem-pakem tingkah laku yang mengatur atau memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan dalam tindakan-tindakan mereka. Semua aturan itu tertanam pada diri individu atas dasar kesadaran dan tidak ada unsur paksaan dari luar.
Hidup sehari-hari masyarakat Yunani-Romawi disini pada hakikatnya didasarkan seni; seni untuk membentuk diri sendiri; seni mengolah hidup menjadi hidup proporsional dan bermoral. Aturan-aturan seperti ini juga berlaku pada aktifitas seksual mereka dan cara pandang mereka terhadap seksualitas.
Cara pandang seksualitas Eropa mengalami pergeseran penting setelah menginjak abad pertengahan. Pemahaman seksualitas tidak lagi digali dari pengalaman individual melainkan berganti pada cara pandang pastoral yang melihat seks berdasarkan hukum-hukum yang ditentukan gereja. Pergeseran ini, menurut Foucault, disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran antara Eropa dalam cakrawala kultur Yunani dengan Eropa dalam cakrawala kultur pasroral mengenai hakikat tubuh beserta hasrat kenikmatan seksual. Masyarakat Yunani-Romawi tidak memandang bahwa hasrat kenkmatan seksual pada dirinya sendiri mengandung semacam kejahatan. Ia hanya butuh diolah dan diatur demi kebaikan mental dan agar tidak membahayakan tubuh.
Sedangkan pandangan pastoral terhadap hasrat kenikmatan sebagai sesuatu yang pada dirinya sendiri mengandung unsur-unsur jahat. Manusia dianggap sebagai mahluk lemah yang mudah diombang-ambing oleh kekuatan syahwati. Oleh karena itu, segala pikiran-pikiran atau ilusi-ilusi erotisme harus dikontrol melalui mekanisme confession (pengakuan). Pada waktu itu, di setiap gereja terdapat bilik-bilik yang disediakan untuk orang-orang tertentu yang melakukan ritual. Dalam bilik-bilik itu, setiap orang yang datang membeberkan rahasia yang disembunyikannya termasuk rahasia seksual. Seseorang secara halus akan dipaksa untuk menceritakan seluruh bayangan-bayangan erotik yang dimilikinya sampai bayangan yang terkecil dan terlupakan sekalipun. Dimulai dari sini, kata Foucault, proses insinuasi dan pendeskreditan tubuh berlangsung.
Setelah mamasuki abad pencerahan, kontrol seksual tidak lagi berada di bawah otoritas pastoral melainkan berpindah ke tangan ahli-ahli mendis. Tekniknya pun sebetulnya tidak jauh berbeda dengan confession bahkan lebih canggih dan jauh menukik ke dalam. Kontrol seksual di pertengahan abad 18 ini adalah kontrol seksual yang tujuan utamanya adalah untuk pengendalian populasi dan pencetakan mutu penduduk demi menghasilkan sumber daya warga yang sehat. Seks dipahami pada waktu itu sebagai sumber dari segala bentuk sikap anomi manusia atau pelacakan terhadap seks adalah hal yang dapat menjelaskan serba serbi penyimpangan tingkah laku seorang individu. Karena itu, fantasi-fantasi dan hasrat-hasrat erotik dengan setatusnya sebagai penyimpangan ini dianggap sebagai hal membahayakan yang memunculkan tingkah laku-tingkah laku anomik atau destruktf dalam diri manusia.
***
Pergeseran pengertian seksualitas dari yang natural given seperti yang dipahami masyarakat Yunani-Romawi sampai pada "politik tubuh" sebagaimana yang diungkapkan Foucault membuktikan bahwa seksualitas pada awalnya adalah netral. Ia tidak sepatutnya "dibicarakan" tetapi biarkan ia "berbicara" dengan sendirinya. Seksualitas bukan untuk dipilah-pilah, dikategorsasi, atau didefinisikan. Seksualitas erat kaitannya dengan pengalaman individual. Pengobjektifikasian seksual hanya akan mereduksi kekayaan makna yang dikandungnya. Apalagi sampai diundang-undangkan.Sehingga saya sendiri tidak habis pikir mengapa harus ada RUU APP. Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang "Berketuhanan Yang Maha Esa", bangsa yang beragama dan memiliki aturan-aturan moral sendiri berdasarkan ajaran agama yang dianutnya? Sudah seberapa parah "moral" bangsa kita sehingga harus ada "undang-undang moral"? Bukankah kebejatan moral justeru tanggung jawab "penjaga-penjaga agama?" Bukan malah diserahkan kepada negara. Apakah ini bentuk "ketidakberdayaan" mereka terhadap serbuan-serbuan "perusak-perusak moral"? pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya dijawab oleh mereka yang giat dan gigih memperjuangkan RUU APP agar segera di sahkan.
Atau ini hanya strategi pemerintah untuk mengalihkan opini publik berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa yang kian semerawut dan tanpa kendali, seperti dampak kenaikan BBM, penanganan korupsi, hutang negara yang semakin menggelembung yang sebentar lagi meledak, kemiskinan, dll. Sayang, kita hanya berpikir bagaimana supaya negara kita "beragama", sementara prilaku-prilaku pemimpin kita yang "tidak beragama" hampir “tak terpikirkan”. Ini potret bangsa kita yang sebenarnya. Coba pikirkan!